Akankah Hutan Menjadi Sebuah Sejarah?

Oleh rambak.co
9 Agustus 2024, 08:32 WIB

Sejak tahun 2004, dikutip dari Suara Pembaruan, 28 Januari 2004, hal. 11, hutan Indonesia ada dalam situasi krisis dan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Pembalakan hutan, baik yang legal maupun ilegal, tidak terkontrol dan telah menyebabkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa tingkat deforestasi saat ini telah mencapai 3,8 juta hektare per tahun. Jumlah ini telah meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ini berarti Indonesia kehilangan hutannya seluas 7,2 hektare setiap menitnya. Dalam pembalakan hutan yang merusak ini, tidak saja telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumber daya Indonesia. Namun juga menghasilkan seri bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya.

Dikutip dari Buku Nasib Hutan Indonesia di Ujung Tanduk, Forest Watch Indonesia, 20/1/2024, becermin dari potret keadaan hutan Indonesia, deforestasi tahun 2017-2021 dengan nilai rata-rata 2,54 juta Ha/tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit, telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim. Situasi ini memperlihatkan bahwa hutan Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tingginya tingkat kerusakan sumber daya hutan terjadi hampir di setiap region. Region Kalimantan misalnya, masih menunjukan nilai rata-rata deforestasi sebesar 1,11 juta hektare per tahun, diikuti Papua 556 ribu hektare per tahun, Sumatera 428 ribu hektare per tahun, Sulawesi 290 ribu hektare per tahun, Maluku 89 ribu hektare per tahun, Bali Nusa 38 ribu hektare per tahun, dan Jawa 22 ribu hektare per tahun. Kerusakan hutan-hutan di Indonesia yang rupanya sangat masif ini terkuak dengan makin canggihnya teknologi penginderaan jauh yang mampu menghitung kerusakan hutan lebih detail.

Deforestasi menurut wikipedia, adalah kegiatan menebang hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan, seperti pertanian dan perkebunan, peternakan, atau permukiman. Hutan alam merupakan hutan yang tidak diciptakan manusia, bukan dalam bentuk hutan tanaman maupun dalam bentuk perkebunan. Hutan yang hilang merupakan sumber daya alam, yang dapat berupa ekosistem mangrove, ekosistem gambut, ekosistem karst, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, termasuk hutan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hilangnya tutupan hutan selalu diikuti dengan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim mikro, sumber pangan papan masyarakat adat-masyarakat lokal, konservasi air dan tanah, areal bernilai konservasi tinggi, biodiversitas, potensi obat-obatan, sumber pangan dan gizi dari hutan, energi, serta nilai sejarah kebudayaan, bahkan sebagai sumber pengetahuan yang belum tercatat.

Selain itu, menurut stranaspk.id tanggal 14 April 2023, Konsolidasi Data Perizinan Tambang dalam Kawasan Hutan menjadi Tahap Awal Penyelesaian Tumpang Tindih, terdapat 5,2 juta hektar Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam kawasan hutan, dan hanya 10% di antaranya yang statusnya tidak bermasalah, sementara sebanyak 90% sisanya, yaitu 4,7 juta hektar terindikasi bermasalah.

Kondisi tumpang tindih dalam penerbitan perizinan sektor pertambangan di Indonesia dengan kawasan hutan maupun tata ruang telah menyebabkan sejumlah permasalahan yang serius mulai dari ketidakpastian hukum, konflik lahan di lapangan, hingga potensi kerusakan ekologis. Sejak tahun 2019, Stranas PK terus mendorong implementasi One Map Policy (Kebijakan Satu Peta) untuk percepatan penyelesaian permasalahan tumpang tindih.

Berdasarkan Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial (PITTI) Ketidaksesuaian Perizinan Pertambangan yang diidentifikasi oleh Kemenko Perekonomian, yang ditetapkan oleh Keputusan Menko Perekonomian No. 164/2021 terdapat 5,2 juta hektar Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam kawasan hutan, dan hanya 10% di antaranya yang statusnya tidak bermasalah, sementara sebanyak 90% sisanya, yaitu 4,7 juta hektar terindikasi bermasalah. Oleh karena itu, Kemenko Perekonomian mengajak partisipasi aktif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong percepatan penyelesaiannya. Harapannya agar tidak terjadi lagi permasalahan serupa di kemudian harinya.

Ancaman Nyata Perubahan Iklim Di Pulau-Pulau Kecil

Perubahan iklim rupanya bukan hanya permasalahan untuk generasi mendatang, melainkan sudah terjadi hari ini. Tahun 2023 ditetapkan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat (WMO). Laju kenaikan rata-rata permukaan air laut global dalam sepuluh tahun terakhir (2013–2022) lebih dari dua kali lipat laju kenaikan permukaan laut pada dekade pertama pencatatan satelit (1993–2002). Analisis WHO dengan mempertimbangkan beberapa indikator kesehatan, memprediksi akan ada tambahan 250.000 kematian per tahun dalam beberapa dekade mendatang akibat perubahan iklim. Pulau-pulau kecil dan masyarakat yang tinggal di dalamnya merupakan yang paling rentan terdampak krisis iklim.

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dilansir dari fwi.or.id tanggal 24/1/2024, memiliki lebih dari 17.000 pulau dan sekitar 98% berupa pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia masih menggunakan pendekatan kegiatan ekstraktif sumber daya alam. Dari total luas pulau-pulau kecil Indonesia, ada sekitar 874 ribu hektare atau 13% dari total luas daratan pulau-pulau kecil yang telah dibebani izin industri ekstraktif SDA seperti penebangan hutan sekitar 310 ribu hektare ,tambang sekitar 245 ribu hektare, , hutan tanaman sekitar 94 ribu hektare, perkebunan sekitar 194 ribu hektare dan tumpang tindih sekitar 30 ribu hektare.

Aktivitas industri ekstraktif di pulau kecil terbukti telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat yang tinggal. FWI mencatat, antara tahun 2017-2021 nilai rata-rata laju deforestasi di pulau-pulau kecil mencapai 79 ribu hektare pertahun, atau setara 3 persen dari nilai laju deforestasi nasional. Hadirnya industri ekstraktif di pulau-pulau kecil ditengarai oleh kebijakan-kebijakan yang mendukungnya serta lemahnya perlindungan terhadap ekosistem yang khas seperti pulau kecil.

Studi FWI mengemukakan beberapa permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, antara lain belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil, pengelolaan pulau kecil masih bersifat sektoral (antar kementerian dan lembaga), serta kurangnya data dan informasi mengenai pulau-pulau kecil.

Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga hutannya berada di pulau-pulau. Hutannya tersebar di pulau besar dan pulau kecil. Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia saat ini menunjukkan seakan akan hutan di Indonesia itu berada di satu hamparan daratan yang luas. Hal ini tercermin mulai dari kebijakan kawasan hutan sampai dengan penataan ruang. Dalam prakteknya tidak terlalu mempertimbangkan kondisi geografis negara kepulauan. Salah satu contoh kasus adalah Pemerintah selalu mengklaim bahwa hutan hujan Indonesia salah satu yang terluas di dunia. Secara hitungan total klaim tersebut ada benarnya, tetapi faktanya hutan-hutan itu hanya berada di beberapa pulau saja. Disatu sisi kita selalu bilang hutan kita masih sangat luas, tetapi di sisi lain ada pulau-pulau atau daerah-daerah yang sudah sangat krisis akibat dari hilangnya hutan. Maka tidak heran jika Jawa, Kalimantan, dan Sumatera selalu diterjang bencana ekologi. Kasus yang lain adalah mengenai deforestasi, pemerintah selalu mengklaim penurunan deforestasi. Tetapi klaim itu menjadi tidak relevan jika rupanya sebagian besar deforestasi tersebut hanya terjadi di beberapa daerah saja.

(baca juga; Izin Tambang Tidak untuk Ormas Keagamaan)

Transisi Energi VS Deforestasi

Transisi energi menjadi istilah yang sedang ramai diperbincangkan di dunia sebagai respon dalam mengatasi krisis iklim di bumi. Sebagai negara yang kaya akan sumber energi, kebijakan transisi energi di Indonesia terkesan “gagap” dan belum memaksimalkan potensi energi yang ada di setiap daerah. Kebijakan transisi energi yang top to bottom terkesan tidak mau memaksimalkan ketersebaran potensi energi yang ada. Daerah-daerah dipaksa untuk melakukan transisi energi dengan mengikuti arahan dari pusat. Ini berdampak pada tidak tepatnya transisi energi di daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sumber energinya, kondisi geografis, dan kondisi sosial budaya. Bahkan, transisi energi di Indonesia berpotensi menyebabkan deforestasi. Atau dalam arti lain menyelesaikan permasalahan lingkungan dengan menghasilkan permasalahan lingkungan baru.

Menjelang pergantian rezim pemerintahan saat ini, kejadian pada masa-masa transisi antar rezim sebelumnya patut dicurigai akan terjadi kembali. Hal ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 70 tahun 2023 yang mengatur tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi. Peraturan ini seakan memperlihatkan bahwa Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan promosi terhadap sumberdaya hutan. Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk melalui perpres tersebut ditunjuk untuk mencari dan menawarkan sumberdaya hutan kepada para investor.

Dikutip dari Nasib Hutan Indonesia di Ujung Tanduk, 2024, meskipun 56,5 juta hektare wilayah Indonesia saat ini sudah diserahkan pengelolaannya kepada korporasi-korporasi di berbagai sektor. Diketahui, 27,9 juta hektare berada di sektor kehutanan, 17,3 juta hektare di sektor perkebunan, 5,5 juta hektare di sektor pertambangan dan sekitar 5,7 juta hektare berada di areal yang tumpang tindih antar konsesi. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keberadaan izin-izin tersebut berdampak pada kerusakan hutan dan lingkungan hidup serta mengancam kehidupan masyarakat. Hal ini bukan jadi pertimbangan serius bagi Pemerintah yang justru malah memberi “karpet merah” untuk izin-izin baru.

Dugaan bahwa transaksi izin sebagai bagian dari transaksi politik pada masa-masa krusial transisi pemerintahan semoga tidak benar adanya dan harapan besar ditunjukkan kepada Pemerintah saat ini untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti Pemerintah sebelumnya.

Jelas tertulis dalam undang-undang kita, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka apakah kalau kawasan tersebut dikuasai oleh satu pihak, apakah itu bisa memakmurkan rakyat. Bentang alam di Indonesia pada dasarnya berbasis hutan, dan ketika ada unsur penggunaan atau pemanfaatan, maka di sanalah harus ada unsur tanggung jawab yang berkelanjutan.

 

Artikel Terkait