Dor! Desing peluru membuat masa kocar-kacir menyebar mengamankan diri. Pentungan dan tameng menghajar habis-habisan masa yang bergerombol di titik-titik kota. Sambil menenteng pelbagai tuntutan, mahasiswa tetap menyigi menyauarakan keadilan agar rezim Soeharto segera turun dari jabatannya berani setangah ragu ketika terdengar mulai banyak korban berjatuhan.
Langit berubah jadi merah kirmizi ketika kelabu bercampur marah semakin membara, ketika kebebebasan demokrasi dibalas dengan selongsong timah panas. Pro dan kontra semakin kentara. Rakyat antar rakyat berbenturan satu sama lainnya, saling gebuk menyigi memperjuangkan kebenaran sesuai dengan pikiran mereka masing-masing.
Senyap sepi nampak lenggang di sudut-sudut kota. Hanya kendaraan militer yang beroperasi mondar-mandir dan demonstran yang masih berdiri kuat, untuk menertibkan penjarahan walaupaun alhasil banyak korban yang merana. Disamping itu, mahasiswa masih membuat pekik telinga penguasa. Surabaya, Solo, dan Jakarta jadi tempat pertempuran mahasiswa memperjuangakan narasinya itu.
Dua belas, tiga belas dan empat belas sampai enam belas Mei 1998 jadi saksi bisu bagaimana kekuatan masa masih jadi harapan untuk menggulingkan kuasa yang telah bercokol kurang lebih empat windu. Segala cara dilakukan untuk meredam pelik-pelik pergulatan sampai menyelesaikan secara hukum regulasi.
Pada saat kondisi pelik terjadi, Soeharto masih asik plesir ke Kairo, Mesir untuk komunikasi politik. Di samping itu para jendral masih sibuk ngoceh koordinasi dengan para prajruti di beberapa titik agar situasi tak semakin pelik. Dua belas mei dan beberapa demonstran lain yang tak tercatat, beberapa terkena timah panas penguasa. Rintihan sakit itu, terbesit sampai hari ini.
Banyak mengusulkan untuk mengusut tuntas pertemuan di Makostrad sebelum butiran timah panas itu menghujam habis-habisan para demonstran. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Wiranto yang disepakati launching rentang satu semester setelah mei, pada (03/11/1998). Tim itu tak kunjung mengetuk palu, siapa sahaja yang bersalah atas kasus tindak yang menyebabkan para demonstran harus menghembuskan nyawa.
Beberapa nama telah dikantongi. Antara lain, Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi, dan Kolonel Chairawan, selanjutnya jadi target bulan-bulanan masa. Informasi merah berdarah di Indonesia memekik sampai mancanegara. Bahkan W.S Rendra turun tangan karena getol mendengar pelatuk pistol yang menancap di tubuh demonstran dengan mudah terjadi. Ia meminta bantua Adnan Buyung Nasution untuk berkomunikasi secara langsung dengan Prabowo Subianto, berlanjut dengan pernyataan sikap Prabowo bersumpah pada langit dan tanah dengan selingan janji di bawah Al-Quran dari peristiwa Mei berdarah.
Buku gubahan Hendardi berjudul Penghilangan Paksa; Mengungkap Kebusukan Politik Orde Baru! (Grasindo, 1998) menuliskan kronik, bagaimana simbah darah tragedy trisakti, sampai penyiksaan terjadi secara terorganisir. Sumpah di bawah kitab dipertanyakan dari hasil reportasi Hendardi.Tak hanya mengirimkan demonstran ke surga melalui pelatuk timah panasnya itu, indikasi penghilangan hingga penangkapan masal terungkap begitu jelas.
Pius Lustrilanang (Sekjen Aliansi Demokrasi Rakyat), Budiman Sudjatmiko (Ketua Umum PRD) dan Andi Arif berkeluh kesah ketika gerombolan berambut cepak, yang meringkusnya itu. ketika Prabowo Subianto, Kolonel Chairawan, dan Mayjen Muchdi di pensiunkan dari ABRI atas beberapa fakta terkait pemberangkusan kebebesan demokrasi. Institusi ABRI sejak dahulu bersumpah untuk membawanya ke Mahkamah Militer. Namun, sahaja sampai usia reformasi sudah berkepala dua, tak kunjung digelar.
Pelik, kelam, juga menakutkan bila kita menyoal kuasa. Beberapa kali, berbincang mengenai kuasa, riskan timbul pertumpahan darah. Bulan Mei akan terus dikenang tetek bengek peralihan kuasa yang menimbulkan tetes tangis berujung ekstase semangat perjuangan akan terus dipupuk sampai sahaja nalar kritis gerakan mahasiswa masih muncul menyeruak. Lalu bagaimana dengan realitas gerakan hari ini? ()