Sayup-sayup terdengar gumaman salah satu peserta di pojok lapangan, “Kita harus mencemooh politisi.” Kemudian ia mengeluarkan kata-kata dengan penuh percaya diri, “kong kali kong politis membuat rakyat jadi sengsara.” Pada gedung Mahasiswa Unversitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pepat dengan pengunjung. Gedung berkelir hijau, biru, kuning tanpa merah membikin nyaman para pengunjunga pada (17/10/2024).
Mereka berbondong-bondong sambil menyangking buku dan kertas selebaran guna menyaksikan film gubahan Social Movement Institute dan Watchdog berjudul Pesta Oligarki. Film kurang dari satu jam itu, menyuguhkan pelik-pelik republik di atas cengkraman politisi yang menarik banyak mata agar geram. Geram atas para politisi yang sibuk dengan perutnya sendiri. Dan menari-nari dibawah rakyat yang menderita.
Sebuah bagian belakang banner yang berkelir putih terbentang. Sorot kilat film dari mesin proyektor terpancar. Peserta yang didominasi oleh mahasiswa dan pengamat politik itu menancapkan matanya kemudian mengikuti alur yang disuguhkan film.
Salah satu pengunjung dan juga aktivis kemanusiaan Narendra Wicaksana hadir dalam acara itu. Kombatan satu itu yang menggenakan kaos bola Marseille begitu antusias. Beberapa kali ia mengumpat. Mengumpat untuk politisi. Bahkan ia mengusulkan untuk membuat sebuah kompetisi antar kota antar porvinsi bertema, ‘Lomba Mencemooh Politisi.’ Syahdan, Narendra pengamat yang jeli dan tabah. Dekat hari ‘Rendra’ sapaan akrab pria kekar kelahiran klaten itu, untuk menghelat lomba yang dia impikan.
Mahkamah Konstitusi digenjot, lahan-lahan tanah dikeruk oleh kepentingan modal dan para politis sibuk loby ke sana kemari. Film Pesta Oligarki begitu membuka mata anak-banak bangsa bahwa republik tidak baik-baik saja.

Pada film itu, menampilkan silang-sengkarut petani di Lampung yang memperjuangkan hidupnya malah ditekuk oleh bandit penguasa. Seorang mahasiswa Lampung tanahnya terancam. Atas nama pembangunan penguasa menutup mata. Tanah yang menghidupinya diperjuangkan. Walau cambuk siap membikin mereka luka.
Protes dan perlawanan dilakuakan dengan gembira. Meski, setitik luka terbesit mengingat, Pancasila sila kelima. Pasukan yang dibekali dengan martir, rotan keras dari Kalimantan untuk menyabet mereka yang menyuluh protes. Gemuruh umpatan jerit tangis menyeruak menyumpah penguasa lalim dan dzalim. Dalam film tersebut, tak hanya menyuguhkan lampung. Adalah Rempang, Kalimantan, dan beberapa wilayah lainnya juga dibuldozer oleh bandit-bandit penguasa pemeras rakyat.
Sorot cahaya proyektor yang menghantam layar, menyiratkan pelik-pelik republik. Goyangan jijay para politisi lebih diterima dibanding gagasan. “Remuk saja surat suara.” Narendra begitu kesal saat membisik-bisiki tim Rambak.co yang hanyut dirundung pilu kala setengah melamun menyaksikan film.
Dipertontonkan cukup jelas, bagaimana para politis sibuk berpindah-pindah partai, menebar benih kesejahteraan semu. “Mereka hadir bukan untuk mewakili suara rakyat, tetapi kepentingan mereka sendiri.” Tukas Herlambang P Wiratraman yang terekam dalam film.
Kemudian film itu memberi gabar kemegahan panggung kampanye: Sekuntum bunga untuk Gandjar, gemulai goyangan jijay Gibran dan Prabowo dan pidato manis-manis pahit Anies Baswedan. Meraka tampil berlomba merebut hati rakyat. Para pemilih yang begitu giras itu, ikut pula bahagia, berjingkrak ria serasa tak pernah menyadari. Bahwa para politisi itu akan tersenyum dan terabahak-bahak setelah sirkus selesai.
Setelah menonton film, acara dilanjutkan dengan diskusi bebas. Para pembicara menyuguhkan materi-materis segar memperkaya dari apa yang disuguhkan film tersebut. Adalah Eko Prasetyo founder Social Movement, Herlambang P. Wiratraman sebagi pengamat hukum dan keadilan UGM, Mariyana Ricky ketua Aliansi Jurnalis Independent Surkarat (AJI) dan satu lagi Muhammad Taufiq sebagai pegacara kondang yang sempat mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta melalui PDIP juga hadir dalam acara tersebut.
Mafhum, mereka berbincang cukup serius. Pelbagai jenis buku dan referensi beterbangan di arena diskusi. “Film ini mengundang kemarahan. Marah atas ketidakadilan yang hinggap di republik kita.” Tukas Mariyan menggebu-gebu. Mariyana mengingatkan kepada mahasiswa agar tetap menanamkan keberanian dan jiwa kritisnya.
“Kampus kehilangan jiwa oposisi kekritisannya. Kampus hanya mengekor. Maka kampus kehilangan kemerdekaannya.” Ucap Eko Prasetyo menyuluh pentingnya mahasiswa yang selalu membunyikan gendering perlawanan kepada panguasa yang semena-mena.
Mafhum, mahasiswa sebagai penyuluh peradaban masih bersandar ribuan kepala kepadanya. Bila mana situasi malah membikin mahasiswa pada bungkam maka kepicikan akan terus melanglang tanpa siapapun yang mengingatkannya.
Herlambang P. Wiratraman sebagai pengamat hukum dan keadilan UGM menyuluh kepada seluruh khalayak pengunjung agar tetap kritis. Di akhir babak, Muhammad Taufiq cukup serius menanggapi film tersebut. Ia akan mendukung segala bentuk inisiai mahasiswa pabila melancarkan kritik dan menyuluh keberpihakan. Mafhum, reaitas selalu melahirkan pesinggungan. Kendati demikian, Marx pernah bersabda, bahwa realitas sosial itu perjuang kelas. Sekian
Oleh: Khadafi