Waktu adalah konsep dasar yang berkaitan dengan terjadinya peristiwa. Dengan kata lain, ada urutan yang pasti di mana dua peristiwa secara tak serentak (non-simultan) terjadi. Oleh karena itu, diantara dua kejadian nonsimultan ada selang interval waktu. Dalam hal ini siang dan malam merupakan fenomena non-simultan berulang yang terjadinya paling banyak dan dengan demikian dapat menunjukkan selang waktu.
Penyebab mendasar fenomena ini adalah rotasi Bumi pada porosnya yang telah memberi kita satuan waktu yang paling dasar, yaitu hari. Nantinya, hal ini menghasilkan unit lebih besar seperti bulan dan tahun dan unit lebih pendek seperti jam, menit, dan detik. Dalam pengertian umum sehari-hari, 1 hari adalah 24 jam, 1 jam adalah 60 menit, dan 1 menit adalah 60 detik.
Namun, jika melihat definisi waktu lebih spesifik, akan banyak definisi tentang waktu, tergantung dengan apa yang menjadi acuan untuk mendefinisikan waktu tersebut maka dikenal sistem waktu sebagai penghubung ukuran waktu sebagaimana yang biasa digunakan (tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detik).
Menurut Mohammad Ilyas, Astronomy of Islamic Times for The Twenty-first Century, Kuala Lumpur: AS Noordeen, tahun 1999 sistem waktu diperlukan untuk menghubungkan ukuran (durasi) waktu seperti yag biasa digunakan dengan fenomena yang dapat diukur atau diamati. Dalam sistem waktu dikenal istilah saat (epoch) dan selang waktu (interval). Saat (epoch) mendefinisikan secara presisi waktu kejadian suatu fenomena atau pengamatan. Sedangkan selang waktu (interval) adalah jumlah waktu yang terlewat antara dua saat.
Untuk menyatakan selang waktu digunakan skala waktu dengan satuan skala waktu tertentu. Untuk menyusun suatu skala waktu diperlukan suatu fenomena (peristiwa) yang dapat diamati, yang berlangsung berulang-ulang dengan periode yang konstan dan dapat dihitung atau diukur. Dalam buku K.J. Vilianueva, Pengantar ke dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, tahun 1978, periode-periode yang konstan itu menjadi dasar untuk menentukan satuan skala seperti detik, menit, jam, hari, tahun dan lain sebagainya,
Berdasarkan fenomena yang dipakai untuk menentukan skala waktu, maka dikenal sistem-sistem waktu berikut:
- Waktu Bintang yang didasarkan pada fenomena rotasi harian Bumi pada sumbunya.
- Waktu Matahari yang didasarkan pada fenomena rotasi Bumi pada sumbunya, dengan komponenen gerakan di bola langit, yaitu gerakan pada lingkaran ekliptika.
- Waktu Ephemeris yang didasarkan pada fenomena revolusi Bumi disekitar Matahari. hal.
- Waktu Atom yang didasarkan pada fenomena oskilasi elektromagnetik karena suatu transisi kuantum suatu atom.
Perubahan di lingkungan sangat nampak jelas. Sehingga lingkungan meyediakan sistem dan skala waktu. Masalah mendasar tentang waktu adalah rotasi Bumi pada sumbunya dan juga revolusi Bumi sekeliling Matahari. Meskipun rotasi maupun revolusi tidak konstan, tetapi para astronom telah meresmikan skala waktu dengan berbagai cara berdasarkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Maka banyak sekali skala waktu yang bermunculan dalam kurun beberapa tahun
Setiap hari, kita rutin mengalami pergantian siang dan malam. Aktivitas harian kita dipengaruhi oleh durasi satu hari di Bumi, di mana kita membagi waktu menjadi 24 jam. Tetapi, mengapa kita mempunyai 24 jam dalam sehari, dan apa yang memengaruhi panjangnya durasi satu hari?
Satu hari berdurasi 24 jam tidak terjadi begitu saja. Bumi harus melalui berbagai perubahan signifikan hingga akhirnya terjadi keseimbangan sementara antara gaya pasang surut gravitasi dari Bulan dan Matahari. Ketika Bulan terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, kemungkinan besar akibat tumbukan dahsyat, Bulan berada jauh lebih dekat dengan Bumi dibandingkan sekarang. Akibatnya planet kita berputar jauh lebih cepat, sehingga durasi satu hari kurang dari 10 jam. Sejak saat itu, Bulan perlahan bergerak ke arah luar, mencuri sebagian momentum sudut Bumi sehingga rotasi Bumi melambat. Saat ini, seperti kita ketahui, satu hari di Bumi berlangsung selama 24 jam.
Namun, dengan kecepatan Bulan menjauh dari Bumi sejauh 3,78 cm setiap tahun, yang diukur melalui eksperimen menggunakan reflektor laser yang ditinggalkan oleh astronaut Apollo di permukaan Bulan, seharusnya laju perlambatan rotasi Bumi mencapai sekitar 60 cm per tahun. Namun berdasarkan hasil pengamatan ilmuwan, laju perlambatannya kurang dari 60 cm per tahun. Pertanyaannya adalah, mengapa perlambatan ini tidak terjadi dengan tingkat yang diharapkan?
Sebuah tim astronomi dari University of Toronto dan University of Bordeaux, yang dipimpin oleh Hanbo Wu dari Toronto, telah menemukan jawabannya. Fenomena ini terhubung dengan keseimbangan torsi yang terbentuk akibat interaksi antara gelombang panas di atmosfer Bumi dan gelombang gravitasi yang berasal dari Bulan. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal Science Advances.
Dalam konteks gelombang gravitasi dari Bulan mempengaruhi lautan di Bumi, menciptakan fenomena pasang surut yang kita kenal. Ketika Bulan berada di suatu tempat, gravitasinya menarik air laut, menyebabkan pasang di satu sisi Bumi, dan surut di sisi berlawanan akibat gaya tarikannya. Ditambah lagi dengan gesekan antara air laut yang bergerak dan dasar laut, hasil akhirnya adalah perlambatan rotasi Bumi, sekitar 1,7 milidetik setiap abad. Secara sederhana, fenomena ini dapat dijelaskan sebagai interaksi kompleks antara gaya gravitasi Bulan, pergerakan air laut, dan efek gesekan di dalam lautan. Gelombang panas di atmosfer Bumi juga turut berperan dalam membentuk keseimbangan torsi yang memengaruhi rotasi planet kita.
Namun, ketika gelombang panas di atmosfer Bumi memiliki periode resonansi yang sejajar dengan rotasi planet, fenomena tersebut dapat mengatasi efek fluktuasi yang terjadi. Perlu dicatat bahwa periode resonansi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu sistem untuk kembali ke keadaan awalnya setelah menerima dorongan atau gangguan. Dalam konteks ini, suhu atmosfer memainkan peran kunci dalam mengendalikan kecepatan gelombang panas. Saat atmosfer mengalami pemanasan, maka atmosfer memuai, menciptakan tonjolan atmosfer yang berbeda. Norman Murray, seorang peneliti dari Canadian Institute for Theoretical Astrophysics di University of Toronto, menjelaskan bahwa gelombang atmosfer serupa juga dihasilkan oleh sinar matahari.
Secara lebih rinci, gaya gravitasi Matahari mempengaruhi tonjolan atmosfer ini, menciptakan torsi pada Bumi. Berbeda dengan Bulan yang memperlambat rotasi Bumi, efek gravitasi Matahari justru mempercepatnya. Sejarah Bumi mencatat bahwa selama sebagian besar waktu, pasang surut yang disebabkan oleh Bulan memiliki kekuatan sepuluh kali lipat dibandingkan dengan pasang surut termal, yang mengakibatkan perlambatan rotasi Bumi. Namun, model sirkulasi atmosfer global dan bukti geologis menunjukkan bahwa sekitar 2,2 miliar hingga 600 juta tahun yang lalu, terjadi perubahan signifikan.
Ketika atmosfer menghangat, yang dapat dilihat dari kurangnya glasiasi selama periode tersebut, gelombang panas menjadi lebih besar dan cepat, hingga mencapai frekuensi resonansi dengan rotasi Bumi. Resonansi dalam konteks ini dapat diibaratkan sebagai suatu bentuk amplifikasi, di mana atmosfer memberikan dorongan yang tepat pada waktu yang sesuai dengan putaran Bumi, mirip dengan cara seorang anak yang mendapat dorongan pada saat yang pas saat berayun, yang membuatnya bergerak lebih cepat dan lebih tinggi. Analogi ini membantu memahami bagaimana fenomena resonansi dapat memengaruhi dinamika alamiah planet kita.
Sebagai contoh, sekitar 2,2 miliar tahun yang lalu, gelombang panas mulai mengelilingi Bumi dalam periode hampir 10 jam, sedangkan lama hari di Bumi pada saat itu adalah 19,5 jam. Fenomena ini berarti gelombang panas mengelilingi Bumi dua kali untuk setiap rotasi Bumi pada porosnya, menciptakan suatu resonansi sebesar 2:1. Dalam istilah sederhana, resonansi ini menggambarkan hubungan yang teratur antara gelombang panas dan rotasi Bumi, di mana gelombang panas memperkuat dirinya sendiri karena sesuai dengan ritme rotasi planet.
Efek dari resonansi ini sangat mencolok, dengan tonjolan atmosfer menjadi lebih besar dan daya tarik Matahari menjadi cukup signifikan sehingga sebanding dengan daya tarik Bulan. Akibatnya, perlambatan rotasi Bumi yang disebabkan oleh pasang surut Bulan mulai diimbangi oleh percepatan pasang surut termal. Selama periode yang cukup panjang, antara 2,2 miliar tahun hingga 600 juta tahun yang lalu, panjang hari di Bumi tidak terus melambat, melainkan tetap pada angka 19,5 jam.
Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, gaya pasang surut Bulan dan pasang surut termal mulai bergerak tidak sinkron selama 600 juta tahun terakhir, menyebabkan rotasi Bumi kembali melambat. Saat ini, durasi satu hari adalah 24 jam, sedangkan gelombang panas membutuhkan waktu 22,8 jam untuk mengelilingi Bumi. Namun, situasi ini belum tentu statis. Meskipun pengukuran terkini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam rotasi Bumi, dalam jangka panjang, Bumi mungkin tidak akan kembali ke kondisi di mana gaya pasang surut saling menyeimbangkan. Sebaliknya, perubahan iklim dapat membuat gelombang panas semakin tidak sinkron dengan rotasi planet, meningkatkan dampak gelombang Bulan dalam memperlambat rotasi Bumi.
Dalam konteks perubahan iklim global, Norman Murray dari Canadian Institute for Theoretical Astrophysics di University of Toronto menjelaskan, “Seiring dengan peningkatan suhu Bumi akibat pemanasan global, kita juga membuat frekuensi resonansi ini semakin tinggi, kita membuat atmosfer kita semakin menjauh dari resonansi.” Dengan demikian, torsi Matahari berkurang, dan panjang hari dapat bertambah lebih cepat dibandingkan sebaliknya. Penjelasan ini mencoba membuka wawasan tentang bagaimana fenomena astronomi dapat berkaitan dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap rotasi Bumi.