Malioboro Dulu dan Sekarang: Mana yang Lebih Disukai dalam Upaya Menjadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO?

Oleh rambak.co
24 Juli 2024, 15:00 WIB

Malioboro, jalan ikonik di Yogyakarta, telah lama menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Jalan ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan beragam barang dagangan, mulai dari makanan khas hingga kerajinan tangan. Namun, belakangan ini, kebijakan pemerintah untuk menata ulang Malioboro dengan menghilangkan PKL dari trotoar telah mengubah wajah kawasan ini. Langkah ini dilakukan demi menjaga ketertiban dan menjadikan Malioboro lebih nyaman bagi pejalan kaki, serta untuk mendukung upaya menjadikan Malioboro sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Dalam tulisan aaini, kita akan membahas preferensi antara Malioboro yang lama dan yang baru, serta dampak perubahan ini dalam konteks pelestarian budaya.

Dikutip dari Tirto.id Ada yang berbeda dari Malioboro saat ini. Suasana pedestrian yang biasa ramai oleh pedagang kaki lima, kini lengang dan hanya menyisakan para pejalan kaki yang berjalan lalu-lalang.

Pedestrian ini menjadi sepi semenjak para pedagang kaki lima direlokasi ke 2 tempat: Teras Malioboro 1 dan 2. Teras Malioboro 1 berada di gedung eks Bioskop Indra dan Teras Malioboro 2 berada di bekas kantor Dinas Pariwisata DIY. Meski sempat menimbulkan pro dan kontra di antara para pedagang, tapi mereka akhirnya tidak punya pilihan lain, selain menuruti instruksi yang telah ditetapkan pemerintah Yogyakarta. Ketua Pedagang Kaki Lima Malioboro Ahmad Yani (Pelmani) Slamet Santoso mengatakan, sejatinya para pedagang tidak ada yang menolak mengenai relokasi tersebut. Mereka menyadari bahwa selama ini telah berjualan di lahan milik orang lain.

“Kami juga menyadari bahwa lahan yang kami tempati jualan selama ini bukan milik kami. Namun yang menjadi keluhan adalah waktu pemindahan yang dianggap terlalu cepat,” kata dia saat diwawancara reporter Tirto, Rabu (9/2/2022). https://tirto.id/wajah-baru-malioboro-tanpa-pkl-demi-meraih-predikat-warisan-dunia-goLv

Malioboro Dulu: Kemeriahan dan Kekhasan

Malioboro yang dulu dengan deretan PKL di kanan kirinya memiliki daya tarik tersendiri. Kemeriahan dan keramaian yang tercipta dari aktivitas para PKL memberikan atmosfer yang hidup dan dinamis. Pengunjung bisa merasakan langsung interaksi sosial yang hangat dengan para pedagang, mencicipi jajanan khas, dan membeli cenderamata unik.

PKL di Malioboro bukan hanya sekadar penjual, melainkan bagian integral dari pengalaman budaya. Mereka membawa cerita, sejarah, dan kearifan lokal yang terwujud dalam barang dagangan mereka. Misalnya, batik yang dijual di sepanjang jalan ini bukan hanya kain, tetapi juga warisan budaya yang mengandung filosofi mendalam. Interaksi antara penjual dan pembeli juga memperkaya pengalaman berkunjung ke Malioboro, menciptakan ikatan emosional yang kuat antara tempat dan pengunjungnya.

Namun, keberadaan PKL juga menimbulkan sejumlah permasalahan. Trotoar yang penuh sesak sering kali membuat pejalan kaki kesulitan melintas. Kebersihan dan ketertiban juga menjadi isu utama, karena banyaknya sampah yang berserakan dan tata letak yang tidak teratur. Keamanan juga menjadi perhatian, dengan adanya risiko pencopetan dan kecelakaan akibat lalu lintas yang padat.

Malioboro Sekarang: Tertata dan Nyaman

Perubahan yang dilakukan pemerintah dengan merelokasi PKL dari trotoar ke tempat yang lebih teratur bertujuan untuk menciptakan Malioboro yang lebih tertata dan nyaman bagi pengunjung. Trotoar yang lebih luas dan bersih membuat pejalan kaki bisa menikmati berjalan kaki tanpa hambatan. Ruang terbuka yang lebih lapang juga memberikan kesempatan untuk menikmati arsitektur bangunan bersejarah di sepanjang jalan ini.

Dengan penataan ulang ini, Malioboro kini tampak lebih modern dan terorganisir. Kebijakan ini juga mendukung visi Malioboro sebagai destinasi wisata yang lebih profesional dan bersaing di kancah internasional. Selain itu, penataan ini juga diharapkan dapat mendukung upaya pelestarian Malioboro sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.

Namun, perubahan ini juga membawa konsekuensi. Banyak yang merasa bahwa hilangnya PKL dari trotoar mengurangi daya tarik budaya dan karakter khas Malioboro. Atmosfer kemeriahan yang dulu ada kini tergantikan dengan suasana yang lebih tenang dan teratur. Interaksi sosial antara penjual dan pembeli juga berkurang, sehingga pengalaman budaya yang ditawarkan Malioboro tidak lagi seintens dulu.

Upaya Menjadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

Dalam konteks upaya menjadikan Malioboro sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, ada sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan. UNESCO menilai warisan budaya tak benda berdasarkan keberlanjutan dan autentisitasnya. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar Malioboro tetap mencerminkan nilai-nilai budaya yang otentik dan berkelanjutan.

Kehadiran PKL merupakan bagian dari warisan budaya Malioboro yang mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, menjaga keberadaan PKL dengan penataan yang lebih baik bisa menjadi jalan tengah yang ideal. Dengan demikian, Malioboro bisa tetap mempertahankan karakter khasnya sambil memastikan kenyamanan dan ketertiban.

Selain itu, edukasi dan promosi tentang nilai-nilai budaya Malioboro perlu ditingkatkan. Pengunjung harus diajak untuk memahami sejarah dan makna di balik setiap elemen budaya yang ada, termasuk barang-barang yang dijual oleh PKL. Dengan cara ini, pengunjung tidak hanya menikmati pengalaman berbelanja, tetapi juga mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang warisan budaya Malioboro.

Dalam perdebatan antara Malioboro yang dulu dengan PKL yang ramai dan Malioboro yang sekarang tanpa PKL, kedua versi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Malioboro yang dulu menawarkan kemeriahan dan interaksi sosial yang kaya, sementara Malioboro yang sekarang memberikan kenyamanan dan ketertiban.

Dengan demikina untuk mencapai keseimbangan, pendekatan yang menggabungkan kedua aspek tersebut mungkin menjadi solusi terbaik. Menata ulang PKL tanpa menghilangkan mereka sepenuhnya dapat mempertahankan karakter budaya Malioboro sambil menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan tertata. Upaya ini juga akan mendukung Malioboro dalam mencapai status sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, dengan tetap menghormati dan merayakan warisan budaya yang ada.

 

Artikel Terkait