Netralitas Perangkat Desa Menjelang PILKADA 2024

Oleh rambak.co
11 Agustus 2024, 20:18 WIB

Indonesia saat ini sudah memasuki masa “Pesta Demokrasi” Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada bulan Februari lalu dan mendatang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November. Sebagai negara dengan keberagaman budaya, agama, dan suku, memiliki tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan selama proses pemilihan umum. Pemilu yang damai bukan hanya menjadi tugas pemerintah dan penyelenggara, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.

Terkait netralitas Perangkat Desa menjadi fokus perbincangan yang sensitif di masyarakat, menjadi tolok ukur akan harapan besar dan selayaknya Perangkat Desa terbebas dari intervensi politik praktis, tidak hanya menjadi pengurus bahkan menjadi simpatisan pun merupakan hal terlarang.

Netralitas Aparatur desa merupakan sebuah   kewajiban   yang   harus   dimiliki Aparatur  desa  karena  sifatnya  imperatif. Konsekuensi  dari  sifat  imperatif  adalah sanksi  dan  jika  ketentuan  tersebut  tidak dilakukan   atau   melakukan   apa   yang seharusnya   tidak   dilakukan,   ini   yang disebut    sebagai    pelanggaran    dalam konteks   pelanggaran   netralitas   dalam kegiatan    politik    yang    dilakukan    oleh aparatur  desa.

Pada  prinsipnya  walaupun aparatur desa memiliki hak untuk memilih, akan  tetapi  tidak  boleh  terafiliasi  dengan kelompok partai politik manapun. Pelanggaran     netralitas     aparatur desa  juga  bisa  dilihat  apabila  salah  satu calon kepala daerah mempunyai hubungan keluarga maupun ingin mempertahankan jabatan. Sehingga aturan-aturan   yang   seharusnya   ditaati menjadi  terbuang  dan  dilanggar  begitu saja.  Tidak  heran  jika  terjadinya  banyak pelanggaran   Pemilihan   Kepala   Daerah dirusak   dengan   aksi   keterlibatan   yang sengaja  dilakukan  baik  secara  langsung maupun   tidak   langsung   oleh   Aparatur desa  untuk  mendukung  salah  satu  calon kepala daerah.

Adapun beberapa permasalahan  terkait  sikap  dan  Tindakan serta    perilaku    aparatur    desa    yang mengarah pada keberpihakan pada salah bakal     calon     peserta     pilkada     serta timbulnya konflik-konflik kepentingan yang terjadi  dalam  lingkungan  bermasyarakat maupun  lingkungan  kerja  yang  dilakukan oleh  aparatur  desa  yang  mengarah  pada aktifitas pemerintahan.

Pemilihan   kepala   daerah   adalah  untuk  memilih  gubernur,  bupati  dan  wali kota   sebagai   pemimpin   daerah.   Oleh karena itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak   dapat   dilepaskan   dari   pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis yang dianut prinsip   kedaulatan   rakyat   (Demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi  prinsip  dasar  kehidupan kenegaraan    yang    demokratis    adalah setiap   warga   negara   berhak   ikut   aktif dalam   proses   politik.   Sebagai   bentuk realisasi  kedaulatan  rakyat  dalam  bingkai demokratisasi   adalah   terselanggaranya Pemilihan  Kepala Daerah  (Pilkada)   secara   regular   dengan   prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia.

Pilkada merupakan  mandat  dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini memastikan dan melindungi pelaksanaan   kedaulatan   rakyat   dalam menyalurkan   hak-hak   politiknya   dalam Pilkada. Pilkada  sebagai  salah  satu  praktek berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan  harus  berdasarkan  prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai   kemanfaatan.   Salah   satu   prinsip dasar   dari   negara   hukum   demokratis adalah  adanya  jaminan  yang  berkeadilan bagi    rakyat    dalam    mengekspresikan kedaulatanya.

(baca juga; Era Jokowi: Pembangunan Gacor Cyber Security Loyo)

Sebagai contoh, fenomena yang terjadi di lapangan  ialah  menjadi  perantara  untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan   orang   lain,   dan   hal-hal seharusnya  aparatur  desa  harus  hindari dalam  netralitas  ialah:

  • ikut serta  sebagai pelaksana   kampanye,
  • Menjadi peserta kampanye  dengan  menggunakan  atribut partai, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan  aparatur  desa  lain  sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas  negara;
  • Memberikan dukungan kepada  calon  kepala  derah  dengan  cara membuat   keputusan   dan/atau   tindakan yang   menguntungkan   atau   merugikan salah  satu  pasangan  calon  selama  masa kampanye.

Netralitas    yang    dimaksudkan adalah perilaku tidak memihak atau tidak terlibat yang ditunjukkan birokrasi pemerintahan   dalam   masa   kampanye kandidat kepala daerah di ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik secara diam-diam  maupun  terang-terangan.  Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur netralitas antara lain:

  1. Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses  calon  kandidat  pada  masa kampanye     atau     menjadi     peserta kampanye  baik  dengan  menggunakan atribut partai atau atribut PNS
  2. Tidak memihak, artinya tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah  satu  pasangan calon,   tidak   mengadakan   kegiatan yang  mengarah  kepada  keberpihakan terhadap  salah  satu  pasangan  calon KepalaDaerah/Wakil  Kepala  Daerah pada masa kampanye, meliputi pertemuan,  ajakan  himbauan,  seruan atau  pemberian  barang  kepada  PNS dalam  lingkup  unit  kerjanya,  anggota keluarga  dan  masyarakat  serta  tidak membantu dalam menggunakan fasilitas  negara  yang  terkait  dengan jabatan   dalam   rangka   pemenangan salah   satu   calon   pasangan   Kepala Daerah/Wakil   Kepala   Daerah   pada masa kampanye.

Undang Undang Pemilu mengatur sikap dan tindakan Kepala Desa, Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pemilu, termasuk Badan Usaha Milik Desa. Bila terbukti melakukan tindakan dengan sengaja menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu diberi sanksi pidana selama satu tahun penjara hingga denda belasan juta rupiah.

Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 490.

“Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta,” pasal 490 UU Pemilu

Selain itu dalam pasal 280 ayat (2) UU Pemilu juga mengatur Kepala Desa dilarang diikutsertakan sebagai pelaksana atau tim kampanye dalam Pemilu.

Dalam pasal 280 ayat (3) UU Pemilu juga disebut Kepala Desa, Perangkat Desa, Anggota Badan Permusyawaratan Desa, Badan Usaha Milik Desa dilarang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.

Selanjutnya Pasal 282 memuat aturan tentang larangan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Bukan hanya dalam UU Pemilu, Larangan Kepala Desa terlibat kampanye Pemilu juga diatur dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014.

Undang Undang Desa pun tegas melarang Kepala Desa menjabat sebagai pengurus parpol.

Sebagaimana disebut dalam pasal 29 UU Desa “Kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik, dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah”.

 

 

Artikel Terkait