Indonesia saat ini sudah memasuki masa “Pesta Demokrasi” Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada bulan Februari lalu dan mendatang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bulan November. Sebagai negara dengan keberagaman budaya, agama, dan suku, memiliki tantangan besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan selama proses pemilihan umum. Pemilu yang damai bukan hanya menjadi tugas pemerintah dan penyelenggara, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.
Terkait netralitas Perangkat Desa menjadi fokus perbincangan yang sensitif di masyarakat, menjadi tolok ukur akan harapan besar dan selayaknya Perangkat Desa terbebas dari intervensi politik praktis, tidak hanya menjadi pengurus bahkan menjadi simpatisan pun merupakan hal terlarang.
Netralitas Aparatur desa merupakan sebuah kewajiban yang harus dimiliki Aparatur desa karena sifatnya imperatif. Konsekuensi dari sifat imperatif adalah sanksi dan jika ketentuan tersebut tidak dilakukan atau melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan, ini yang disebut sebagai pelanggaran dalam konteks pelanggaran netralitas dalam kegiatan politik yang dilakukan oleh aparatur desa.
Pada prinsipnya walaupun aparatur desa memiliki hak untuk memilih, akan tetapi tidak boleh terafiliasi dengan kelompok partai politik manapun. Pelanggaran netralitas aparatur desa juga bisa dilihat apabila salah satu calon kepala daerah mempunyai hubungan keluarga maupun ingin mempertahankan jabatan. Sehingga aturan-aturan yang seharusnya ditaati menjadi terbuang dan dilanggar begitu saja. Tidak heran jika terjadinya banyak pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dirusak dengan aksi keterlibatan yang sengaja dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Aparatur desa untuk mendukung salah satu calon kepala daerah.
Adapun beberapa permasalahan terkait sikap dan Tindakan serta perilaku aparatur desa yang mengarah pada keberpihakan pada salah bakal calon peserta pilkada serta timbulnya konflik-konflik kepentingan yang terjadi dalam lingkungan bermasyarakat maupun lingkungan kerja yang dilakukan oleh aparatur desa yang mengarah pada aktifitas pemerintahan.
Pemilihan kepala daerah adalah untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota sebagai pemimpin daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis yang dianut prinsip kedaulatan rakyat (Demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik. Sebagai bentuk realisasi kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah terselanggaranya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara regular dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia.
Pilkada merupakan mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan hak-hak politiknya dalam Pilkada. Pilkada sebagai salah satu praktek berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatanya.
(baca juga; Era Jokowi: Pembangunan Gacor Cyber Security Loyo)
Sebagai contoh, fenomena yang terjadi di lapangan ialah menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain, dan hal-hal seharusnya aparatur desa harus hindari dalam netralitas ialah:
- ikut serta sebagai pelaksana kampanye,
- Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan aparatur desa lain sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
- Memberikan dukungan kepada calon kepala derah dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Netralitas yang dimaksudkan adalah perilaku tidak memihak atau tidak terlibat yang ditunjukkan birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur netralitas antara lain:
- Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye atau menjadi peserta kampanye baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS
- Tidak memihak, artinya tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon KepalaDaerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye, meliputi pertemuan, ajakan himbauan, seruan atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat serta tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu calon pasangan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye.
Undang Undang Pemilu mengatur sikap dan tindakan Kepala Desa, Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pemilu, termasuk Badan Usaha Milik Desa. Bila terbukti melakukan tindakan dengan sengaja menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu diberi sanksi pidana selama satu tahun penjara hingga denda belasan juta rupiah.
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 490.
“Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta,” pasal 490 UU Pemilu
Selain itu dalam pasal 280 ayat (2) UU Pemilu juga mengatur Kepala Desa dilarang diikutsertakan sebagai pelaksana atau tim kampanye dalam Pemilu.
Dalam pasal 280 ayat (3) UU Pemilu juga disebut Kepala Desa, Perangkat Desa, Anggota Badan Permusyawaratan Desa, Badan Usaha Milik Desa dilarang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Selanjutnya Pasal 282 memuat aturan tentang larangan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Bukan hanya dalam UU Pemilu, Larangan Kepala Desa terlibat kampanye Pemilu juga diatur dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014.
Undang Undang Desa pun tegas melarang Kepala Desa menjabat sebagai pengurus parpol.
Sebagaimana disebut dalam pasal 29 UU Desa “Kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik, dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah”.