SURAKARTA, Rambak.co— Malam belum larut saat gemertak langkah berderap menapaki pelataran Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Surakarta pada (21/05/2025). Malam itu berbeda dengan malam pada galibnya. Malam itu seolah berdenyut lebih hidup dari biasanya. Udara kemarau basah bulan Mei menyelimuti kota, namun semangat para pemuda yang memenuhi ruangan justru terasa membakar semesta kecil tempat itu.
Mereka datang dari pelbagai penjuru, mewakili 44 organisasi kepemudaan — atau yang kini lazim disebut OKP. Sebanyak 25 di antaranya memegang hak suara. Sisanya datang sebagai mata yang mengamati, telinga yang menyimak. Semua bersatu dalam satu harap: menentukan arah masa depan wadah besar yang bernama KNPI, Komite Nasional Pemuda Indonesia, cabang Solo.
Di atas panggung kecil yang dibalut sederhana, dua orang pemuda berdiri bergantian. Satu bernama Edo Johan, satunya lagi Muhammad Bilal. Keduanya mendaku sebagai pemuda, kemudian bergeming tentang yang silam dan esok yang penuh harap untuk pemuda Solo.
Baca juga: Siklus Guru Desa: Dari Madrasah ke Madrasah, Pendidikan Tak Berubah
Forum debat berlangsung, tanda-tanda menguar. Edo bukan pesohor, bukan pula tokoh partai atau pejabat pemerintah. Sedangkan Muhammad Bilal kini menjabat sebagai Wakil DPRD Surakarta. Mereka berdebat dan bertukar gagasan. Hadirin terkesiap merenungkan setiap ide yang meluncur bebas malam itu.
Pemuda Anak Zaman
Agus Riyanto, ketua KNPI Solo yang kini masih menjabat, berdiri tenang di sisi ruangan. Kepada kami ia berkata, “Forum malam ini bukan semata formalitas. Ini tempat mereka bicara, menawarkan arah, menyentuh nurani kawan-kawan muda Solo yang tengah gelisah mencari bentuk perjuangan di tengah zaman.”
Tema debat malam itu bukan hal remeh: Tantangan Pemuda Solo di Masa Mendatang. Sebuah frasa sederhana, namun menyimpan asa besar. Isu sosial, budaya, ekonomi, hingga keagamaan dan politik, mereka membedah dengan retorika yang tertata dan sesekali menggelora.
Baca juga: Masih Relevan Sejarah Nasional?
“Kami ingin KNPI dipimpin oleh sosok yang bukan hanya mampu berkata-kata, tetapi juga merangkul, menyatukan, dan melayani,” lanjut Agus, tatapannya menembus debur kalimat yang bersahut-sahutan dari panggung debat.
Di kursi terdepan, duduk seorang ibu dengan kerudung merah marun. Ia adalah Utik Sri Wahyuni, Kepala Bidang Kepemudaan Dispora Surakarta. Saat menyampaikan kata sambutan, suaranya bening namun tegas.
“KNPI punya posisi strategis dalam pembangunan Solo. Tapi kekuatan kita ada pada kolaborasi. Tanpa sinergi antar sektor, pemuda hanya akan jadi penonton dalam gerak zaman.”
Baca juga: Bukan Soal Percaya atau Tidak, Sains yang Menunjukkan Krisis Iklim itu Nyata
Ia berharap sang ketua terpilih kelak tak hanya piawai mengelola organisasi, tapi juga siap bersaing dan berkontribusi di kancah nasional. Malam kian larut, suara debat mulai mereda. Namun di antara cahaya lampu dan riuh tepuk tangan, terasa ada yang tumbuh: semangat. Semangat generasi muda yang tak ingin sekadar menjadi angka dalam statistik kepemudaan, melainkan menjadi pelaku sejarah di tanah kelahiran mereka.
Musyawarah Daerah (Musda) akan digelar pada akhir bulan ini, tepatnya 31 Mei 2025. Tapi malam debat itu telah menanamkan sesuatu yang lebih dari sekadar pilihan—ia menumbuhkan harapan.

