Problematika Kepolisian Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Oleh rambak.co
16 Agustus 2024, 11:27 WIB

Pada 1 April 1999, Presiden Habibie menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Di hari yang sama, diadakan serah terima di Markas Besar ABRI di Cilangkap. Letnan Jenderal Sugiono, Kepala Staf Umum ABRI, menyerahkan panji-panji Polri kepada Letnan Jenderal Fachrul Rozi, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan. Artinya kepolisian yang sudah tidak dalam lingkup ABRI, pindah dulu ke Dephankam, yang sebetulnya masih terkesan militeristik.

Pindahnya kepolisian dari ABRI ke Dephankam, seperti dicatat Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI (2013:154), tertuang dalam Keputusan Menhankam/Pangab nomor Kep/05/III/1999 tanggal 31 Maret 1999. Inilah yang disebut Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI Wiranto pada 1 Juli 1999 sebagai pemisahan dan pemandirian bertahap. Dari Fahrul Rozi, panji-panji itu lalu diserahkan kepada Kapolri Jenderal Roesmanhadi.

10 Juli 1999, Presiden Habibie menjelaskan pembagian tugas antara polisi dengan tentara. Ia bahkan mengemukakan bahwa ke depan, Kapolda bisa saja dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sementara Kapolri akan bertanggung jawab kepada presiden dengan anggaran yang dimasukkan dalam anggaran Departemen Dalam Negeri.

Setelah Polri berpisah dengan ABRI, tiga matra yang tersisa namanya berubah tak lagi ABRI, melainkan jadi TNI, sementara kepolisian pun lepas dari Departemen Pertahanan dan langsung berada di bawah presiden.

Peneliti Kajian Kepolisian dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Abdul Haris Fatgehipon menilai apabila Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) maka akan meningkatkan keamanan nasional, dilansir dari kantor berita Antara tanggal 2/8/2024.

“Polri berada di bawah Kemendagri adalah sesuatu yang tepat untuk menjaga stabilitas keamanan nasional saat ini”, kata Haris dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Ia mengungkapkan alasan utama dirinya mendukung wacana ini agar Polri lebih efektif dalam menjalankan tugas fungsinya dalam menjalankan peran keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Menurut dia, keberadaan Polri di bawah Presiden menyulitkan kepala daerah untuk bertindak cepat dalam menangani berbagai persoalan daerah, misalnya kasus konflik sosial seperti kerusuhan, dan kriminalitas lantaran tidak memiliki kewenangan dalam bidang keamanan.

Karena tidak memiliki kewenangan, menurut dia, seorang gubernur atau bupati pun membutuhkan waktu dalam berkoordinasi dengan kepolisian untuk meminta bantuan pengamanan apabila terjadi kasus konflik sosial di daerahnya.

Ia mencontohkan Kota Yogyakarta. Di kota yang dijuluki sebagai Kota Pendidikan itu, kata dia, sering terjadi kasus kejahatan jalanan atau klitih yang menimbulkan korban jiwa.

“Sulit diterima dengan akal sehat, Yogyakarta yang memiliki jumlah aparat kepolisian yang memadai, tetapi tidak bisa mengatasi berbagai kasus klitih. Pemda mengalami kesulitan dalam menciptakan keamanan di daerah yang dapat melindungi masyarakat,“ ujar dia.

Selain itu, ia juga menilai Polisi Pamong Praja menjadi kurang memiliki peran yang kuat dalam menjaga kamtibmas karena adanya Polri yang langsung berada di bawah presiden.

“Polisi Pamong Praja kadang berada pada posisi yang dilema saat melakukan operasi penegakan perda, penegakan ketertiban masyarakat, karena beririsan dengan kewenangan kepolisian, (sehingga) terjadi overlapping,” ucapnya.

Oleh karena itu, menurut dia, apabila Polri berada di bawah Kemendagri maka keberadaannya akan sangat membantu pemerintah daerah, utamanya daerah yang rawan konflik, dalam menjaga dan menciptakan kondisi keamanan yang kondusif.

(baca juga; Korupsi Kepala Daerah Semakin Meningkat, Kenapa?)

Di sisi lain, dikutip dari Krisnaptik, “Kedudukan Polisi dan Sistem Kepolisian di Era Demokrasi”, tanggal 7/10/2022, Kepolisian merupakan suatu lembaga pemerintahan yang dapat dikatakan memiliki peranan yang problematik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sesuai dengan fungsi dan peranannya bahwa kedudukannya harus ditempatkan di posisi yang independen. Polri dapat saja menjelma menjadi institusi yang super power karena tugas dan kewenangannya yang sangat luas apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan sistemnya. Ketidaksesuaian memposisikan lembaga kepolisian dalam ketatanegaraan bangsa Indonesia akan menciptakan problematika bagi lembaga kepolisian tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai kepolisian Negara.

Oleh karena itu dimana kedudukan kepolisian dalam menjalankan fungsi pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan paradigma baru polisi sipil dalam sistem pemerintahan di Indonesia, menurut  Jean Daryn Hendar Iskandar, 2018, Kedudukan Kepoisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, perlu dikaji secara ilmiah yang berlandaskan konsep Hukum Tata Negara dan konsep Hukum Administrasi, agar kedudukannya dapat ditentukan sesuai pada posisi yang ideal berdasarkan ketatanegaraan, sehingga kepolisian diharapkan dapat menjadi suatu lembaga yang mandiri, modern, proposional serta profesional dengan mencermati hukum positif di Indonesia.

Artikel Terkait