Tedak Siten, atau upacara turun tanah, adalah salah satu tradisi Jawa yang penuh makna dan sarat dengan simbolisme. Upacara ini biasanya dilakukan ketika seorang anak menginjak usia tujuh atau delapan bulan dalam kalender Jawa, sebagai simbol peralihan dari masa bayi ke masa balita yang mulai belajar berjalan. Meski penuh dengan nilai-nilai budaya dan filosofi, sayangnya tradisi ini mulai jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa modern.
Tedak Siten berasal dari kata “tedak” yang berarti turun atau menginjak, dan “siten” yang berasal dari kata “siti” yang berarti tanah. Secara harfiah, Tedak Siten berarti menginjak tanah. Upacara ini melambangkan perkenalan pertama kali seorang anak dengan bumi atau tanah sebagai tempatnya berpijak dan hidup.
Prosesi Tedak Siten biasanya melibatkan beberapa tahapan, antara lain: Pertama, Pembersihan Anak: Dimulai dengan memandikan anak menggunakan air yang dicampur dengan kembang tujuh rupa, yang melambangkan penyucian dan pembersihan dari segala hal negatif. Kedua, Mengenakan Pakaian: Anak dipakaikan baju baru yang indah, melambangkan harapan agar anak tumbuh dengan baik dan memiliki masa depan yang cerah. Ketiga, Turun Tangga: Anak dibimbing turun dari tangga yang terbuat dari tebu, simbol perjalanan hidup yang penuh dengan manis dan pahitnya kehidupan. Keempat, Menginjak Tanah: Anak kemudian diletakkan di atas tanah atau pasir yang telah disiapkan, melambangkan kedekatan dengan alam dan bumi. Kelima, Pencarian Rejeki: Di akhir prosesi, anak dihadapkan pada berbagai benda seperti uang, alat tulis, mainan, dan lainnya. Benda yang dipilih pertama kali oleh anak diyakini akan mencerminkan minat dan bakatnya di masa depan.
Aras kebudayaan yang bergerak cukup cepat, memberikan daya tawarnya masing-masing. Budaya Eropa, Arab dsb, dapat kita tilik dengan mudah dalam relung kehidupan kiwari. Kendati demikian tradisi Tedak Siten riskan dilupakan. Beberapa aspek yang berpengaruh riskan dilupakannya tradisi Tedak Siten antara lain;
Pertama, perubahan gaya hidup modern dan urbanisasi menyebabkan banyak keluarga jawa yang pindah ke kota-kota besar, di mana pelaksanaan tradisi ini menjadi sulit Kedua, Kurangnya Pengetahuan yang menyebabkan generasi muda Jawa semakin sedikit yang mengetahui makna dan tata cara pelaksanaan Tedak Siten. Pengetahuan ini sering tidak diwariskan dari generasi ke generasi.
Ketiga, Praktis dan Efisiensi membikin kehidupan modern yang serba cepat dan praktis membuat banyak orang merasa bahwa melaksanakan upacara tradisional memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Keempat, Pengaruh Budaya Luar dengan masuknya budaya luar dan globalisasi membuat banyak orang lebih tertarik pada perayaan-perayaan modern yang dianggap lebih kekinian dan bergengsi.
Ada beberapa upaya untuk dapat melestarikan budaya tersebut meskipun mulai jarang dilakukan, beberapa komunitas dan individu masih berusaha melestarikan tradisi Tedak Siten. Edukasi dan Sosialisasi dengan mengadakan workshop, seminar, dan diskusi tentang Tedak Siten untuk generasi muda, sehingga mereka dapat memahami dan menghargai nilai-nilai tradisi ini bisa menjadi strategi untuk menangani ritus Tedak Sinten yang riskan luntur. Kemuduan ada proses dokumentasi dengan cara mengaplikasikan komponen pendukung seperti video, kamera dlsb untuk membranding tradisi. Setelah itu, ada kolaborasi media sosial dan platform digital lainnya untuk memperkenalkan kembali Tedak Siten kepada masyarakat luas. Terakhir pelaksanaan upacara di beberapa keluarga dan komunitas masih secara rutin melaksanakan upacara Tedak Siten sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Tedak Siten bukan sekadar seremonial turun tanah; ia adalah warisan budaya yang penuh dengan pesan moral dan filosofis. Dengan memahami dan melestarikan tradisi ini, kita tidak hanya menjaga keberagaman budaya, tetapi juga memperkaya kehidupan spiritual dan sosial kita. Semoga dengan upaya pelestarian yang terus dilakukan, Tedak Siten dapat tetap hidup dan dikenal oleh generasi-generasi mendatang. []
Umar Januardi Harahap – Head Cook rambak.co