Kelaparan dan Makanan Sisa (Food Waste)

Oleh rambak.co
14 Juli 2024, 19:00 WIB

Pasar tradisional sering kita lihat tempat sampah yang penuh dengan sampah bahan makanan. Jika kita lihat lebih teliti, bahan makanan yang dibuang secara kasat mata masih layak konsumsi. Lantas mengapa pedagang membuangnya? Kenapa tidak dijual dengan harga murah saja? Kendati demikian, banyak konsumen mengeluh harga bahan makanan yang terus melonjak.

Dan juga beberapa restoran menerapkan aturan larangan terhadap karyawan memakan makanan sisa  restoran atau tempat makan. Seperti yang terjadi pada sebuah restoran Medan, diduga memecat karyawan restoran karena makan nasi sisa untuk sahur.

Dikutip dari National Geographic Maret 2016, “sepertiga makanan seantero dunia terbuang”. Dalam pelbagai kebudayaan, pembuangan makanan dianggap melanggar moral. Lagi pula, terdapat hampir 800 juta jiwa yang menderita keparan menghantui dunia.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyampaikan bahwa kurang lebih 1,3 miliar ton makanan atau senilai 1 triliun dolar terbuang percuma tersebar seantero dunia.

Infografis terbitan Barilla Center for Food and Nutrition juga menggarisbawahi kenyataan bahwa Negara kaya membuang dan menghilangkan makanan karena beberapa hal.  Pertama, mereka memproduksi sudah cukup banyak, namun pelabelan masa berlaku makanan yang tidak memadai. Hal ini membuat mereka tidak bisa merencanakan konsumsi makanan sesuai dengan rencana.  Kedua, aspek budaya. Kita memasak dan mengambilnya terlalu banyak, kendati perut manusia terbatas ukurannya, alhasil manusia membuang makanan lantaran terlalu banyak.

Sementara, Negara miskin juga membuang makanan karena bahan makanan terlanjur busuk yang menyebabkan oleh transportasi yang buruk dan proses yang belum memadai. Artinya, baik di Negara kayak dan Negara miskin, persoalan membuang dan menghilangkan makanan dengan percuma terjadi.

Jumlah mencengangkan ini belum mencakup pembuangan dari peternakan, kapal nelayan dan penjagalan. Adanya upaya untuk mengurangi pembuangan makanan layak makan bukan hanya mengurangi kerugian materi tetapi juga mengurangi potensi perningkatan dampak perubahan iklim yang menyebabkan proses pengomposan makanan itu.

Cara Penyelesaian Makanan Sisa

Dalam hal konsep, apakah makanan yang terbuang atau food waste adalah makanan yang terpaksa harus masuk tong sampah.  Sementara makanan yang hilang atau food loss adalah buruknya pengelolaan dan fungsi produksi dan konsumsi makanan. Lalu apa yang terjadi ketika food waste dan food loss tinggi?

Terdapat satu miliar orang kelaparan, dan kita terus membuang dan menghilangkan makanan.  Jumlah penduduk Indonesia yang berada pada garis kemiskinan pada tahun 2018 mencapai 9,82 persen. Walaupun prosentase ini telah menurun atas perbandingan prosentase pada tahun sebelumnya sebesar 10,2 persen, angka 25,95 juta orang adalah angka yang tinggi. Dan kita juga terus membuang dan menghilangkan makanan. Ini soal serius.

Bagaimana tidak? Semua agenda pembangunan seperti the Millenium Development Goals (MDG) dan Sustainable Development Goals (SDGs) membincang soal masih banyaknya masyarakat dunia yang kelaparan. Juga kita membincang produksi pangan yang harus terus naik. Pada prakteknya kita terus membuang dan menhilangkan makanan. Jadi, apa yang salah?

Untuk Indonesia, saya kira konteksnya perlu kita pahami. Persoalan budaya sangatlah kritikal. Kita memiliki budaya yang mengatakan ‘lebih baik sisa daripada kurang’ di antara orang yang punya hajatan. Bagi kalangan orang Indonesia, khususnya orang Jawa, menyuguhkan makanan dengan ala kadarnya pada perhelatan pekawinan dan pertemuan galibnya kurang pantas dan kurang menghargai orang yang kita suguhi.

Dalam hal tertentu, budaya makan bersama adalah sesuatu yang baik karena membangun silaturahmi dan kekeluargaan. Tersebar dalam berbagai wilayah Indonesia, budaya kendurian atau kenduren adalah umum. Kendurian atau kenduren ini sebagai ritual yang dilakukan oleh kelompok tertentu, misalnya karena kesamaan etnis atau agama. Sementara itu, Maluku mengenal budaya Patita. Budaya Patita adalah sebuah acara makan bersama dalam lingkup kekeluargaan dengan menyuguhkan berbagai makanan dan masakan tradisional khas daerah Maluku. Siapa pun yang hadir dalam acara Makan Patita itu boleh mencicipi segala makanan yang tersedia di situ dengan sesuka hatinya. Tradisi makan patita hingga saat ini masih terus dipelihara di kota dan di desa-desa di provinsi Maluku.

Jadi, makan bersama dan menyenangkan orang lain tentu sebagai bagian dari amalan dan sedekah. Beberapa kelompok, misalnya pada arisan dan pengajian, kita masih menerapkan membungkus makanan yang ada dan memberikannya kepada kawan terdekat yang hadir. Namun hal ini tidak akan merubah isu yang ada, yaitu kita mempersiapkan makanan dengan berlebihan, yang pada akhirnya juga berpotensi adanya makanan yang dibuang. Jadi, isunya adalah dampak atau ekses dari budaya itu.

Ramadhan adalah bulan suci. Persiapan makan untuk buka puasa dan sahur adalah penting. Tetapi kita cenderung mempersiapkan makanan dengan berlebih. Kita berbelanja begitu banyak makanan pembuka dan makanan utama, disamping camilan dengan ekstra. Ujung ujungnya, kita ribut dengan  inflasi meningkat pada bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran tiba. Tentu saja, permintaan barang, khususnya bahan makanan meningkat, melonjak dengan luar biasa.

Seluruh dunia nampaknya sudah mempersiapkan mengenai food waste. Upaya pelabelan makanan yang memadai, membagi makanan ‘food share‘, pendidikan pada produsen dan konsumen, dan upaya serius pada tingkat aksi menguragi hilangnya makanan adalah contoh usaha mengatasi food waste.

Sebut saja John VanDeusen Edwards, seorang Amerika yang tinggal di Austin. Ia mengembangkan kebun sayur seluas hanya 4×4 meter dan mempersilakan siapapun untuk menikmati sayur yang tumbuh di kebunnya. Ia berprinsip, makanan adalah hak semua. Dan masyarakat yang butuh dan tidak bisa bayar bisa mendapatkannya secara gratis. Edwards menghabiskan waktu hampir 3 tahun untuk memulai proyeknya. Upanya ia kampanyaken untuk menjawab sistem pertanian yang putus atau rusak “Broken Agriculture System“. Ia mengajarkan tentang bagaimana kita dapat membuat kebun di sekitar kita dan kita berbagi panen bersama lingkungan kita. Prinsip yang ia perkenalkan adalah makanan ada dan tersedia pada ruang sekitar kita adalah bagi kita semua. Persoalan sayur yang busuk yang tergeletak tidak lagi ada. Dan makanan yang berlebih kita bagi. Ia namakan proyeknya “Food is free‘.

Doug Rauch, mantan presiden Trader Joe’s membuka supermarket non profit di Dorchester, Massachusetts. Bernama Daily Table, supermarket ini menjual buah-buahan dan sayur hasil diskon yang akan terbuang karena sudah matang namun belum membusuk, tempat itu juga menjual surplus barang-barang berharga terjangkau dan menyiapkan makanan siap saji yang sehat. “Kelaparan dan makanan buangan,” kata Rauch, “adalah dua masalah yang hanya bisa menyelesaikannya  dengan satu solusi.” – National Geographic 2016.

Anak-anak negeri Jepang mendapatkan pengetahuan agar tidak meninggalkan sebutir nasi pun di mangkuk mereka.  Sebab, jika ini terjadi, maka orang tua atau orang yang memberikannya makan akan berkata Mottainai! Orang Jepang sudah mengajarkan Mottainai sejak kecil, sehingga mereka akan selalu menghabiskan makanan mereka.

Apa itu Mottainai? Budaya Mottainai pertama kali berkembang pada abad ke-19 di Jepang, tepatnya di Edo, pusat politik dan budaya Jepang. Orang-orang dari Edo pada kala itu hidup dengan kesadaran untuk melestarikan sumber daya alam seperti kayu, kertas, tekstil, dan porselen.

Menyadur dari japanobjects.com, Mottainai merupakan ungkapan yang akan keluar saat seseorang membuang makanan, membuang barang, dan menyia-nyiakan sesuatu.

Dalam bahasa Indonesia, ungkapan Mottainai ialah “sia-sia belaka!” atau “betapa sia-sia!”. Dalam bahasa Jepang, Mottainai terbentuk dari dua kata yaitu mottai (勿体) yang berarti kesucian atau suasana penting, dan nai (無い) yang berarti kekurangan sesuatu.

Makna ungkapan Jepang kuno ini yaitu menyampaikan terima kasih sekaligus rasa malu karena menerima sesuatu yang lebih besar daripada yang pantas.  Menurut mitos Jepang, jika ada anak-anak yang membuang makanan, maka roh jahat Mottainai akan datang dan menangkap anak tersebut.

Pada penerapannya, banyak sekali penyebab timbulnya sampah makanan. Terkadang kita tidak sadar akan seberapa banyak sampah yang kita buang dalam seharinya. Berawal dari ketidakpahaman inilah yang dapat menumbuhkan rasa ketidakpedulian terhadap sampah makanan.

Oleh karena itu, jika memang keadaan memungkinkan kita tidak dapat menghabiskan makanan, kita dapat menyimpan makanan tersebut dan tidak membiarkan berada diruang terbuka. Dengan begitu, makanan tidak cepat membusuk dan tidak akan berakhir pada tempat sampah. Kemudian jika makanan tersebut sudah untuk mengkonsumsinya, kita dapat memanfaatkan sisa makanan tersebut menjadi pupuk kompos. Selain dapat mengurangi potensi pembuangan sampah makanan, upaya tersebut juga mampu memberikan keuntungan dan manfaat baru jika pengelolaan sampah makanan tersebut benar-benar mengelolanya dengan baik.

Kini giliran kita untuk membangun kesadaran akan pentingnya melakukan perencanaan hingga pengelolaan sisa makanan yang berpotensi menimbulkan sampah makanan. Dengan membangun kebiasaan dan kesadaran baik tersebut, tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan sekitar, akan tetapi juga dapat mempengaruhi pola hidup kita agar dapat menjalani rutinitas yang sistematis serta terencana. Sehingga mampu menciptakan pola hidup yang bersih dan sehat.

Berikut terdapat beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk mengurangi potensi meningkatnya sampah makanan. Pada tahap awal, kita dapat memulai perencanaan makanan dengan cara melakukan beberapa persiapan seperti menyusun daftar menu atau meal plan yang kita inginkan. Setelah itu kita dapat mulai menyusun daftar belanja agar dapat membeli persediaan dan menu makanan yang penikmat butuhkan. Kemudian tak lupa untuk memeriksa persediaan makanan sebelum berbelanja. Dengan begitu maka kita dapat mengurangi potensi pembelian dan pembuangan sampah makanan yang berlebihan. Setelah itu jangan lupa untuk memastikan tempat penyimpanan persediaan makanan telah aman dan sesuai, baik dalam kualitas kemasan dan penyimpanan, penataan yang sesuai, serta penyesuaian suhu tempat penyimpanan persediaan makanan.

Tips selanjutnya yaitu memasak, semakin baik keterampilan memasak kita, maka dapat mengurangi porsi makanan yang terbuang. Dengan memasak, pertimbangan dalam konsumsi makanan dan dapat mengurangi pembuangan sisa makanan. Ada beberapa tips untuk menjalankan yaitu, kita tetap perlu memperhatikan serta memperbaiki kebiasaaan dan pola konsumsi kita, sebagai upaya mengurangi potensi penyumbang sampah makanan yang pada akhirnya akan terbuang dengan sia-sia.

Artikel Terkait