“Saya ingin mengenal Pemalang lebih dekat,” begitu yang terlintas di benak saya setelah tahu rasanya jadi anak rantau. Meski tujuh belas tahun tumbuh besar di Pemalang, saya menyadari bahwa ada semacam missing link di kota kelahiran sendiri.
Cerita tentang Pemalang semasa bersekolah, lebih banyak dihiasi kenangan tentang bermain dan belajar. Dulu, mana pernah saya kepikiran akan pergi merantau dan harus menjawab pertanyaan seperti, “Ceritain tentang kotamu, dong.” oleh beberapa orang saat pertama kali berkenalan.
Pada momen-momen seperti itulah, saya dibuat kelimpungan untuk menjelaskan. Ada kesulitan tersendiri yang saya alami untuk menjelaskan perihal kampung halaman. Apalagi, tidak semua orang mengerti dimana letak geografis Pemalang. Sebab nyatanya, sampai sekarang pun Pemalang masih terdengar asing bagi teman-teman saya yang berasal dari berbagai daerah.
Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kuliner adalah jembatan budaya. Tentu menyenangkan apabila saya bisa memperkenalkan Pemalang sebagai suatu daerah yang dilekatkan dengan hal-hal baik. Sebagaimana Pekalongan yang dikenal dengan nasi megono, misal. Atau, Surakarta dengan serabi dan tengklengnya. Mungkin, saya bisa memulainya dengan memperkenalkan nasi Grombyang.
Kuliner di Pemalang juga seharusnya tidak kalah saing dengan berbagai kuliner di kabupaten dan/atau kota lainnya. Ketika saya diminta untuk bercerita tentang tempat saya berasal, saya sudah tahu harus menjawab apa. Dengan semangatnya saya akan menjelaskan perihal betapa gurih dan enaknya nasi Grombyang.
Saya lupa kapan kali pertama mencoba nasi Grombyang. Ingatan itu samar-samar. Mungkin dulu sekali saat saya masih kanak-kanak. Sementara semasa remaja, saya lebih tertarik untuk menjajal berbagai macam makanan populer yang sedang ramai di Pemalang.
Tapi, saya masih ingat bagaimana ibu menjelaskan nasi Grombyang kepada saya–beliau bukan berasal dari Pemalang. Katanya, untuk beberapa orang yang baru pertama kali mencoba mungkin akan terasa aneh–sebagaimana ia dulu. Selebihnya, enak. Ia bukan makanan berkuah yang rasanya ringan di lidah. Rempahnya yang kaya membuat rasa itu terus menempel lama di indera perasa.
Dulu, saya sulit membayangkan apa maksud Ibu. Kini, saya sepenuhnya paham dengan apa yang dilontarkannya. Cerita-cerita itu kemudian terus bergulir. Kepada adik saya, saya bilang begini, “Minimal kamu harus mencoba Nasi Grombyang sekali seumur hidup.”
Nama Grombyang sendiri berasal dari bahasa Pemalang yang berarti mengapung di permukaan atau bergoyang-goyang. Nama itu tidak didapati di daerah lain. Pemalang saja yang punya.
Selain cita rasanya yang kaya hingga mampu menggoyangkan lidah setiap penikmatnya, proses pengolahan makanan satu ini sudah dipatenkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 29 Oktober 2021.
PR bagi saya berikutnya adalah bagaimana menjelaskannya kepada orang lain di tempat saya merantau. Jangankan membayangkan rasanya, membayangkan bagaimana wujudnya saja orang-orang belum tentu mengerti. Cara paling mudah dan cepat adalah dengan menggambarkannya seperti soto dan rawon, meski sebenarnya sangat berbeda dari keduanya.
Nasi Grombyang merupakan makanan berkuah yang disajikan dalam satu mangkuk kecil. Di dalamnya berisi nasi, potongan daging kerbau atau sapi yang dipotong besar-besar dan juga kenyal, atasnya ditaburi irisan daun bawang dan onclang sampai munjung.
Kuahnya yang sudah tercampur dengan kaldu daging diberi sangraian kelapa yang diparut kasar, warna kuahnya agak pekat karena mengandung kluwak dan tauco—tapi tidak sepekat rawon.
Bumbunya dari bermacam-macam rempah. Antara lain, seperti lengkuas, jahe, kunyit, daun salam, kemiri, dan pala. Rasanya jauh lebih nendang dibanding soto dan rawon yang ringan dan menyegarkan.
Selain semangkuk kecil yang isinya melimpah sampai kuahnya tumpah-tumpah sebagaimana namanya yang artinya bergoyang-goyang tiap kali akan disajikan, penyajian nasi grombyang juga dipasangkan dengan sate dari daging dan jeroan kerbau atau sapi.
Berbeda dari sate yang umumnya dibakar, sate Grombyang terdiri dari ungkepan daging yang ditusuk-tusuk pada lidi. Jeroan dan daging dipotong pipih dan besar-besar, bumbunya sedikit berkuah, lengkap dengan sangraian kelapa yang bejibun.
Rasa manis dan gurihnya sangat pas dengan kuah Grombyang yang segar dan kaya rempah. Perpaduan keduanya terus melekat di lidah sampai perut kenyang.
Akan lebih gampang lagi untuk mengenalkannya apabila langsung mampir ke sepanjang ruas jalan RE. Martadinata. Letaknya ada di sebelah utara alun-alun. Atau kalau dari jalur utama jalan Pantura, ambillah arah ke selatan. Di sepanjang ruas jalan itu, ada banyak warung tenda yang berjualan nasi Grombyang.
Namun, ada tiga yang utama dan legendaris. Nasi Grombyang Hj. Warso—bentuknya sudah rumah makan. Nasi Grombyang Pak Toli yang ada di seberangnya—berupa warung tenda. Juga nasi Grombyang Hj. Waridin yang merupakan keponakan dari Hj. Warso—lokasinya terpisah sendiri di daerah Sirandu.
Cobalah salah satu dari ketiganya, atau bila perlu tiga-tiganya dan rasakan saja sendiri sensasinya. Karena lagi-lagi, susah menemukan nasi Grombyang di daerah lain seperti menemukan warung soto ini atau soto itu. Bahkan, tidak semua orang rumah di Pemalang bisa membuat nasi Grombyang.
Mungkin, begitulah jalan pintas untuk menghimpun ingatan perihal Pemalang dengan hal-hal menyenangkan. Mengenang kampung halaman, mengajak kawan berkelana di Pemalang, dan mengenalkannya lewat semangkuk Grombyang.
Kepada seorang atau beberapa kawan, saya akan bilang. “Nanti, kita akan pergi makan nasi Grombyang. Mungkin besok. Mungkin lusa. Kapan saja, pasti nikmat.”
Dian Aulia, alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta, kini menjadi pengajar di Pemalang.