Punya Garam Terbaik di Dunia Bernama Garam Kusamba, Kenapa Masih Impor?

Oleh rambak.co
12 Juli 2024, 15:00 WIB

Garam sejatinya bukan sekadar bumbu masakan. Namun, keberadaanya lebih dari itu.  Selain memberikan rasa asin di lidah karena pada setiap butir kristalnya terkandung berjuta kisah. Membuat butiran-butiran garam pun tak semudah menaburkannya ke piring maupun mangkok, lantaran ada kesabaran tinggi dari para petani garam.

Mereka harus membanting tulang untuk mengubah air asin menjadi garam, salah satu mineral penting yang dibutuhkan bagi keberlangsungan tubuh. Meski garam tak pernah berubah, selalu asin, tetapi lokasi dan cara pengolahannya turut memengaruhi bentuk, ukuran, dan rasa dari garam itu sendiri.

Dilansir dari sebuah laman, ketika di pasaran dibanjiri oleh garam industri dan rafinasi, ternyata masih ada sejumlah daerah di Indonesia mempertahankan pembuatan garam secara tradisional dan telah mempunyai ceruk pasarnya sendiri. Salah satunya ada di Desa Kusamba dan Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Kedua desa tersebut berada di pesisir Pantai Kusamba yang berbatasan dengan Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Chef Philip Budi Harja pemilik warung SCI, salah satu restoran asia terlezat di ibu kota, dalam kanal Youtube Gastronusa tanggal 5 Februari 2024 mengatakan garam Kusamba merupakan “one of the best salt in the world (salah satu garam terbaik di dunia).” Kenapa bisa seperti itu? Berikut kita akan sedikit membahas mengenai garam ini.

Proses pembuatan garam di Kusamba masih sangat tradisional dan para petani mengerjakan sejak tahun 1500-an. Setiap petani garam akan mengambil air laut di pesisir Kusamba memakai alat sederhana berupa tampah atau daun kelapa. Air laut itu kemudian disiramkan berkali-kali ke atas pasir hitam legam yang menjadi wadah pembuatan garam. Pasir yang telah disiram air laut kemudian dijemur selama dua jam.

Sebagai garam organik, garam Kusamba tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi, terutama pemutih yang belakangan dikhawatirkan ada dalam garam-garam kemasan di pasaran.

Para petani garam memulai proses pembuatan pada pukul 6 pagi, yakni dengan meratakan ladang garam. Pasir pantai Kusamba yang telah dipilih, oleh petani kemudian meletakkan di bawah terik sinar matahari langsung. Perataan ini bertujuan agar pasir menjadi lebih padat dan tidak ada bagian yang lebih menumpuk.

Baca Juga: Tempe, Pangeran Bayat, dan Gizi

Setelah rata, kemudian melanjutkan menyiramnya dengan air laut. Dulunya para petani menyiram dengan cara mengambil air laut secara tradisional. Kini rata-rata petani garam telah mendapatkan bantuan pompa air dari pemerintah setempat sebagai bentuk dukungan terhadap produk lokal.

Jika matahari terik, setidaknya membutuhkan waktu 4 jam untuk menunggu pasir kering. Proses ini bernamaproses penyulingan. Setelah kering di ladang, pasir akan diangkut ke tempat penyaringan untuk tahap penyulingan kedua.

Pada tahap kedua ini akan didapatkan air garam pertama. Proses penyiraman akan dilakukan 3-4 kali hingga mendapatkan air garam murni. Air garam murni akan ditampung dalam bak penampungan di gubuk-gubuk kecil milik para petani garam.

Setelah itu pasir tadi dipisahkan bagian atasnya dan diangkut ke penampungan kemudian dari sana dilakukan penyulingan terhadap pasir untuk mendapatkan apa yang disebut sebagai air tua. Selanjutnya disiram dengan air muda yaitu air pantai tanpa proses penjemuran. Air penyulingan tersebut keesokan harinya dari pagi sampai sore dijemur dalam palungan kelapa atau geomembran untuk proses pengkristalan.

Melalui proses tradisional inilah jika cuaca cerah, garam dapat dipanen dua hari kemudian. Waktu panen umumnya dilakukan setiap sore saat itu air laut telah berubah menjadi garam. Pasir kemudian dikeruk dengan tempurung kelapa sehingga akan muncul kristal-kristal garam.

Karakteristik garam asal Kusamba sangat menarik karena bentuknya putih bersih berkilau bak kristal. Butirannya sedikit lebih besar dari garam pabrik. Rasa garam Kusamba juga tidak terlalu asin, justru lebih gurih dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa, maka bakal ada sedikit rasa manis tersisa. Tak ada unsur kimia yang membantu terciptanya rasa asin yang khas dari garam asal Kusamba.

Pemasaran garam Kusamba ini dilakukan dari mulut ke mulut dan dijual melalui media sosial atau e-commerce. Pembelinya tidak hanya warga lokal namun juga wisatawan asing yang sengaja datang ke Kusamba. Bersama para pemandu wisata mereka juga ingin melihat proses pembuatan garam yang unik ini.

Akan tetapi, kini usaha tradisional ini kian terancam gulung tikar. Harga jual garam berkualitas tinggi ini kurang menguntungkan. Para petani rata-rata menjualnya dengan harga Rp1.200 per kilogram, jika musim penghujan harga jual hanya mencapai Rp3 ribu per kilogram.

Masalah lainnya, tidak ada regenerasi atau penerus, para pemuda kurang tertarik dengan usaha membuat garam ini. Padahal, garam Kusamba menjadi sumber daya lokal yang banyak pihak perlu memperhatikannya. Bahkan desa Kusamba telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu tempat penghasil garam terbaik dunia.

Pemerintah setempat juga mendorong masyarakat untuk mau mengonsumsi garam tradisional ini melalu Surat Edaran (SE) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali. Garam Kusamba juga telah mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis (IG) Garam pada awal tahun 2022 yang lalu.

Di saat negeri ini mampu memproduksi garam yang berkelas internasional bahkan salah satu garam terbaik di dunia, mengapa pemerintah masih juga mengimpor garam? Pertanyaan ini menarik sebagai refleksi bagi kita bersama.[]

Artikel Terkait