Sebuah warung yang berada di area sekitaran kampus Institut Agama Islam Negeri Kudus. Tepatnya di Dukuh Ngetuk RT 08/ RW 01, Desa Ngembal Rejo, Kecamatan Bae, Kota Kudus. Warung itu memiliki masakan yang khas dan juga murah tentunya bagi kami para mahasiswa yang sedang dilanda lapar.
Pemilik warung itu ialah seorang ibu paruh baya yang biasa kami sebut “Mbahe” dengan nama asli ibu Sum. Beliau juga yang memasak beraneka makanan dan lauk yang sangat enak. Setiap hari di mana waktu menunjukkan pukul dua belas siang, kami para mahasiswa berbondong-bondong menuju ke warung Mbahe.
Warung yang tanpa spanduk nama dan sangat sederhana itu menyajikan berbagai makanan untuk para mahasiswa dan warga setempat. Kami selalu berebutan mengharapkan pesanan kami dibuatkan dengan cepat. Menu utama di warung Mbahe tak lain adalah pecel dengan tempe dan aneka gorengan lain.
Dengan anggaran sepuluh ribu, kita sudah mendapatkan satu piring nasi dengan sayur pecel dan lauk tempe beserta dengan segelas es teh. Aneka kerupuk yang dijual dengan harga 500-an rupiah dan beberapa jenis lauk pauk dengan harga 4.000 menjadikan warung Mbahe tempat paling direkomendasikan bagi para mahasiswa yang perantauan. Sebab, di warung Mbahe, para mahasiswa mendapat layanan seperti layaknya ibu sendiri.
Warung Mbahe buka mulai jam enam pagi sampai jam empat sore. Beliau memasak hidangannya mulai dari jam empat subuh sampai masakan itu habis disikat para mahasiswa. Terkadang, Mbahe keteteran dalam melayani dikarenakan para mahasiswa yang berbondong-bondong menyerbu warung tersebut.
Dengan baju daster dan celemek yang lusuh beliau dengan sabar melayani para mahasiswa yang kadang-kadang berebutan untuk jadi yang pertama dilayani. Dalam akuarium yang berisi aneka lauk pauk yang hangat, beliau memanggil kami para mahasiswa dengan sebutan “Wik”. Kadang juga pakai “Sayang”. Ya, seperti laiknya ibu sendiri.
Baca Juga: Arem-Arem Onigiri dengan Kearifan Lokal
Warung Mbahe berdiri sejak tahun 2000-an dan anehnya sang pemilik warung itu lupa tepatnya tahun berapa. Akan tetapi, beliau masih ingat hari di mana warung itu berdiri yaitu, di hari Senin Legi. Beliau sangat ramah dan kadang juga cerewet ketika melayani kami. Ketika sedang sepi, beliau bersantai dengan menasihati para mahasiswa yang memiliki suatu permasalahan terutama bagi mahasiswa yang skripsinya belum juga kelar.
Suatu hari kami datang berempat, namun sangat disayangkan nasinya hanya cukup untuk dua orang. Kami tetap makan di sana. Di mana makanan yang dua porsi itu kami makan dengan membagi satu piring untuk dua orang. Hanya tersisa sayur tewel (gori) dan sayur pecel, kami bagi untuk berempat. Kemudian, satu teman datang. Namun, dia sudah tidak kebagian hidangan Mbahe yang sangat enak. Dia pun agak sedikit ngambek ketika mendengar bahwa masakannya sudah habis.
Sehabis makan, kami berlima masih bercengkerama. Bercerita ngalor-ngidul. Mbahe bercerita dahulu pernah menjual rokok eceran. Akan tetapi dimarahi suaminya karena ada salah satu pelanggan yang berhutang rokok sampai di angka 500 ribu. Ketika ditagih malah sang penghutang itu marah besar. Dari sana, suami dari Mbahe melarang menjual rokok dengan pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dialami.
Beliau berjualan dari dulu hingga sekarang. Tak pernah berubah. Mulai dari masakan dan dapur tempat masaknya yang lumayan sempit. Beliau berkata “Aku jualan tidak berubah. Ya, tidak terlalu ramai. Tapi alhamdulillahnya masakanku habis terus”. Begitulah ujarnya. Karena masakan yang enak dan harga yang terjangkau, warung Mbahe menjadi sasaran bagi para mahasiswa.
Selang beberapa waktu ada satu pelanggan datang, dengan muka capai dan baju yang lusuh. Ia belum sempat turun dari motornya, akan tetapi si Mbah langsung berkata, “makanannya sudah habis, Wik”. Tersirat rasa kecewa, satu pelanggan itu terus pergi. Ya, begitulah sedikit kisah dari sebuah warung Mbahe. Warung yang sangat sederhana bahkan tanpa adanya spanduk nama.[]
*M. Maftuh Haris Ulul Al-Bab. Mahasiswa Hukum Keluarga Islam IAIN Kudus Angkatan 2021. Ketua PMII Rayon Syariah IAIN Kudus Periode 2023-2024.