Ijazah Palsu dan Akibatnya

Oleh rambak.co
25 Juli 2024, 09:18 WIB

Beberapa tahun terakhir ramai dibicarakan mengenai ijazah Presiden Joko Widodo diduga palsu. Beberapa pihak sudah melayangkan gugatan pengadilan terkait dugaan tersebut. Seperti dikutip dari CNN Indonesia tanggal 26/04/2024-Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) disebut telah menolak gugatan dari Eggi Sudjana Cs terkait penggunaan ijazah palsu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pengacara Jokowi, Otto Hasibuan menyebut perkara yang teregister dengan nomor 610/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst itu diputuskan ditolak Majelis Hakim PN Jakpus.  “Gugatan tersebut oleh PN Jakpus hari ini dinyatakan telah tidak diterima. Eksepsi kami dikabulkan, eksepsi absolut dan gugatan itu tidak diterima,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Selatan.

Otto mengatakan dengan adanya putusan tersebut, maka seluruh tuduhan yang dilayangkan oleh Eggi Sudjana Cs terkait ijazah palsu telah terbukti tidak benar.

Oleh karenanya ia berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang masih meragukan keaslian ijazah dari Presiden Jokowi. Terlebih Otto menyebut selama ini tidak ada satupun alat bukti otentik yang disampaikan Eggy Cs terkait ijazah palsu.

“Hal itu (ijazah palsu) adalah tidak benar dan akhirnya PN Jakpus telah juga menyatakan tidak menerima gugatan yang diajukan oleh beberapa orang yang diwakili oleh Eggi Sudjana dan gugatannya itu dinyatakan tidak dapat diterima,” katanya.

Mengenai ijazah palsu, apakah termasuk tindak pidana ? jika terbukti tindak pidana, lantas apa saja hukumannya? Berikut ini kami rangkum dari berbagai sumber;

Menggunakan ijazah palsu masuk ke dalam kategori bentuk kejahatan pemalsuan surat. Perbuatan ini berisiko dijerat dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru),  yang mengatur larangan penggunaan ijazah dan gelar akademik palsu.  Larangan tersebut mencakup pembuatan, penerbitan, dan penggunaan ijazah serta gelar akademik palsu.

KUHP baru turut memberikan sanksi penjara dan denda terhadap pelanggaran tersebut. Pasal 272 ayat (1) KUHP baru menyatakan, setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Berikutnya, KUHP baru turut melarang penggunaan sertifikat kompetensi palsu, gelar akademik palsu, profesi palsu, atau vokasi palsu. Pelaku akan dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda Rp500 juta.

Pemalsuan ijazah juga dapat dijerat dengan pasal pemalsuan surat, sebagaimana dituangkan dalam Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen Pasal 263 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut:

“ barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

Jika dilihat dari objek yang dipalsukan yang berupa surat, maka dapat diartikan luas. Salah satunya adalah ijazah yang merupakan bagian dari surat yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari.

(baca juga: Tahapan Sidang Praperadilan: Proses dan Dasar Hukum)

Pemalsuan ijazah dapat dimasukkan sebagai bagian dari tindak pidana pemalsuan surat, hal ini dikarenakan pengertian ijazah yang terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Pasal 42 ayat (4) UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak, dilarang memberikan ijazah.

Kemudian Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6), (7), dan Pasal 42 ayat (4) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda Rp1 miliar.

Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat adalah surat yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis dengan mesin tik dan lain-lain.

Lebih lanjut dalam buku tersebut menyatakan, yang dihukum menurut pasal ini tidak hanya memalsukan tetapi juga sengaja. Maksudnya adalah orang-orang yang menggunakan itu harus mengetahui dengan benar bahwa surat yang digunakannya itu adalah palsu.

Penggunaan ijazah memiliki aturannya sendiri di dalam UU Sisdiknas. Pengaturan secara khusus mengenai pemalsuan ijazah dalam UU Sisdikans menyatakan, pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pemalsuan ijazah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang yang dalam keadaan sehat dan tidak terganggu jiwanya, selain itu mereka yang membantu memberikan ijazah juga harus mempertanggungjawabkannya.

Dalam Pasal 69 ayat (1) UU Sisdiknas mengatur bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.

Diatas sudah dijelaskan mengenai tindak pidana pemalsuan ijazah. Berikutnya timbul pertanyaan, bagaimana jika ijazah tersebut benar-benar asli tapi cara mendapatkannya tidak benar? Belum lagi bagaimana jika pengajar / dosen nya lah yang mempunyai gelar pendidikan palsu? Dan yang paling ekstrim adalah bagaimana jika lembaga pendidikan yang menerbitkan ijazah tersebut palsu? Sepertinya dunia pendidikan kita harus benar-benar transparan dalam mencetak sarjana-sarjana baru. Serta ada tindakan tegas dari pemerintah jika terbukti terjadi penyimpangan dalam dunia pendidikan.

Artikel Terkait