Dilansir dari akun Instagram KPK tanggal 22/7/2024, Sejak tahun 2004, KPK telah menangani sedikitnya 618 kasus korupsi yang terjadi di tingkat Kabupaten dan Kota serta telah menetapkan 167 Bupati/Walikota sebagai tersangka. Untuk menutup celah korupsi yang terjadi d tingkat Kota dan Kabupaten, KPK melalui Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat menginisiasi program Percontohan Kota/Kabupaten Antikorupsi di tahun ini.
Program ini merupakan pengembangan dari pembentukan 62 Percontohan Desa Antikorupsi di tahun 2021-2023. Berdasarkan hasil observasi, KPK menetapkan 2 Kabupaten dan 2 Kota sebagai Calon Percontohan Kabupaten/Kota Antikorupsi yang nantinya akan dilakukan penilaian.
Memang agaknya korupsi kepala daerah tak kunjung berhenti. Silih berganti kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan saat mencalonkan diri dalam pilkada pun, kepala daerah masih nekat korupsi. Tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada, menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi.
Modus korupsi tidak banyak yang berubah. Penyalahgunaan wewenang yang berujung pada transaksi suap-menyuap merupakan bentuk korupsi kepala daerah yang paling banyak terungkap. Kasusnya juga masih itu-itu saja, seputar kewenangan yang diperjualbelikan.
Korupsi selalu berhubungan dengan kekuasaan. Korupsi kepala daerah meningkat seiring membesarnya kekuasaan kepala daerah. Besarnya kekuasaan ini nampaknya tidak diiringi dengan pemahaman utuh mengenai tugas, fungsi dan kewenangan jabatan.
Kepala daerah boleh saja merasa bahwa ia adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan politik (political appointment) secara langsung oleh rakyat. Sebagai pejabat politik, maka kepala daerah dapat membuat keputusan-keputusan politik.
Pemaknaan atas status pejabat politik ini akan keliru jika dimaknai bahwa pengelolaan pemerintahan daerah tergantung pada keputusan politik kepala daerah. Sehingga seolah-olah, pengelolaan pemerintahan disesuaikan dengan “maunya” kepala daerah tanpa pertimbangan aturan hukum.
Fenomena ini terlihat dari berbagai kasus korupsi kepala daerah yang pada umumnya semua berawal dari “kehendak” kepala daerah yang berlawanan dengan aturan hukum. Walaupun dipilih dengan mekanisme politik, setiap kepala daerah harus memahami bahwa pada akhirnya, mereka adalah pejabat pemerintahan (administrasi negara) yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi negara dalam pengelolaan pemerintahan.
Sebagai pemimpin pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mulai dari urusan keuangan sampai pada kepegawaian. Dalam hal keuangan, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, termasuk juga dalam pelaksanaan APBD yang di dalamnya ada berbagai kegiatan dan proyek-proyek.
Kemudian dalam hal aset, kepala daerah merupakan penanggung jawab pengelolaan aset daerah. Terkait kepegawaian, kepala daerah memegang kekuasaan sebagai pejabat pembina kepegawaian yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pejabat di daerah. Selain itu, kepala daerah juga memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Dapat dilihat begitu besarnya kewenangan kepala daerah. Namun, harus diingat bahwa sebagai pejabat pemerintahan, ada tanggung jawab hukum yang di pundak kepala daerah.
Tugas-tugas pengelolaan pemerintahan daerah semuanya mengacu pada aturan hukum, bukan pada keputusan politik. Sehingga adalah wajar jika kemudian kepala daerah sering diperiksa oleh penegak hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap mekanisme hukum dalam mengelola pemerintahan. Hal ini karena konstruksi hukum pemerintahan daerah memposisikan kepala daerah sebagai penanggung jawab berbagai urusan pemerintahan.
Beragam aturan hukum mengenai pengelolaan pemerintahan, menuntut tingkat kepatuhan yang tinggi dari kepala daerah. Jika kepala daerah menundukkan diri kepada aturan hukum, maka persoalan hukum dapat dicegah sejak awal.
Namun, jika terjadi pengabaian terhadap aturan hukum, ada risiko hukum sebagai konsekuensinya. Kasus korupsi kepala daerah yang terungkap, menunjukkan rendahnya ketaatan hukum kepala daerah dalam mengelola pemerintahan.
Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, tata kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi elektoral. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalam praktik pengadaan barang, proses perizinan dan pengisian jabatan. Ketiga, rendahnya hukuman bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Selain itu tentu saja – sifat serakah, ada penyebab lainnya mengapa kepala daerah korupsi, yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Seperti yang disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat menyampaikan Seminar Nasional Antikorupsi di Lampung pada Senin, 25 April 2022, lalu. Biaya politik yang mahal membuat para calon kepala daerah menerima bantuan dari donatur atau sponsor. Hal ini menjadi perhatian
Firli menyitir hasil penelitian KPK tahun 2017 yang menyebut 82,3 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh sponsor. Bahkan kata Firli, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah pada Pilkada jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimilikinya. Dengan menerima bantuan sponsor, para calon kepala daerah merasa utang budi dan harus membayar “kebaikan” tersebut. Akhirnya hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang mendorong mereka untuk korupsi.
Tidak ada makan siang gratis, ada harapan yang tergantung dari donasi yang diberikan sponsor. Firli memaparkan, harapan sponsor jika calon mereka menang antara lain kemudahan untuk perizinan, tender proyek, keamanan bisnis, akses menentukan kebijakan daerah, hingga akses agar kolega bisa menjabat di pemerintahan.
“Bagaimana mereka mengembalikan utang (politik) itu? Mereka akan mencarikan proyek dan diberikan ke donatur, selesai utangnya. Dari mana uangnya? Dari APBD, APBN,” kata Firli.