Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Menurut Pemohon, pasal yang diuji tersebut membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo, dilansir dari mkri.id tanggal (30/7/2024) bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, hak asasi manusia dikatakan sebagai tindakan diskriminatif apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Dengan kata lain, batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
“Sehingga menurut Mahkamah tidak terkait dengan diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan,” kata Arief.
Namun, Mahkamah menegaskan, dalam penempatan tenaga kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta pada saat yang bersamaan harus pula mempertimbangkan kebutuhan dunia usaha yang dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Untuk mendukung hal tersebut, maka penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi.
Selain itu, juga harus menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pemberi kerja yang menentukan syarat tertentu seperti batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan bukanlah merupakan tindakan diskriminatif.
“Terlebih, pengaturan mengenai larangan diskriminasi bagi tenaga kerja telah tegas dinyatakan dalam Pasal 5 UU 13/2003,” kata Arief.
Dissenting Opinion Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah
Sementara itu, Guntur berpendapat seharusnya Mahkamah dapat mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian (partially granted). Apabila dilihat dari segi hukum, pasal yang diuji Pemohon secara umum memang sepertinya tidak memiliki persoalan konstitusionalitas. Namun, jika dilihat lebih dalam, khususnya dari kacamata keadilan, Guntur justru melihat norma a quo potensial disalahgunakan, sehingga membutuhkan penegasan karena sangat bias terkait larangan diskriminasi in casu dalam persyaratan pada lowongan pekerjaan.
Menurut Guntur, norma Pasal a quo sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi para pencari kerja khususnya terhadap frasa “merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” yang sangat diletakan pada pertimbangan subjektif pemberi kerja, seperti mensyaratkan calon pekerja “berpenampilan menarik” (good looking). Jika dibiarkan pertimbangan diletakan pada pemberi kerja meskipun ada norma yang secara umum melarang adanya tindakan diskriminatif in casu Pasal 5 UU 13/2003, namun demikian frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat (1) UU 13/2003 ini menampakan secara expressis verbis masuk dalam kategori norma yang tidak jelas/bias (unclear norm) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditoleransi dalam lowongan atau penerimaan pekerjaan.
“Saya berpandangan, adanya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan adanya usia tertentu memang dapat menghambat masyarakat yang sejatinya memiliki kompetensi dan pengalaman lebih namun terhalang usia. Apalagi, pembatasan demikian tentunya bertentangan dengan prinsip yang selama ini saya pegang teguh dalam memutus perkara di Mahkamah Konstitusi yakni prinsip memberi kesempatan dan menghapus pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel,” jelas Guntur.
Sebelumnya, Pemohon merupakan warga Bekasi bernama Leonardo Olefins Hamonangan. Dalam sidang yang digelar pada Senin (13/3/2024) lalu dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon mengatakan, Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menghasilkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan keahlian mereka. Norma ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasannya serta kurangnya pedoman dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda dalam praktiknya dan menciptakan konflik hukum antara pemberi kerja dan tenaga kerja atau pemberi kerja dan regulator.
Atas nasihat majelis hakim pada sidang sebelumnya, Pemohon juga menambahkan uraian perbandingan peraturan larangan diskriminasi persyaratan lowongan pekerjaan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda. Menurutnya, Jerman memiliki peraturan yang rinci dan jelas terkait persoalan batas maksimal usia, persyaratan, pengalaman kerja, dan lain-lain.
“Mengenai batas usia maksimal dalam lowongan pekerjaan di negara Jerman sendiri harus objektif yang jelas dan masuk akal. Kemudian apabila tidak didasarkan tidak masuk akal maka setiap warga negara dapat melakukan gugatan secara perdata. Sangat disayangkan negara Indonesia tidak ada suatu aturan khusus atau spesifik memberikan kebebasan kepada warga negaranya apabila mengalami diskriminasi atas persyaratan lowongan pekerjaan,” kata dia.
(baca juga: Komisaris BUMN dan Politik Etis)
Selanjutnya, Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 tersebut menjelaskan, berlakunya pasal tersebut menimbulkan banyaknya perusahaan di Indonesia menetapkan persyaratan pekerjaan yang menghambat Pemohon memperoleh pekerjaan seperti pengalaman kerja maupun adanya batas usia minimal melamar pekerjaan yang disyaratkan. Pemohon menyinggung soal normalisasi diskriminasi usia (ageism).
Di lapangan kerja, aturan ageism paling banyak dirasakan para pekerja perempuan, khususnya bagi mereka yang memutuskan untuk mengambil cuti untuk menikah, hamil melahirkan, dan mengurus anak. Keputusan tersebut dapat mempersulit para wanita yang ingin kembali berkarier karena tidak jarang usia mereka sudah melewati batas yang disyaratkan dalam lowongan pekerjaan.
Berbagai negara telah melarang praktik ageism di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut. Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Pemohon mengatakan, berlakunya norma tersebut dapat menyebabkan semakin maraknya angka pengangguran di Indonesia. Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memberikan judul tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen dan rata-rata upah buruh sebesar 3,18 juta rupiah per bulan.
Selain itu, pemerintah masih membiarkan praktik-praktik syarat lowongan kerja yang diskriminasi dan tidak melaksanakan konvensi ILO Tahun 1958 (Nomor 111) mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Secara umum, pasal dalam konvensi ILO memberikan tanggung jawab bagi negara untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja.
Namun, pemerintah masih kerap melakukan pengumuman lowongan pekerjaan dan persyaratan lowongan kerja masih mencantumkan batas usia. Pemohon memberikan contoh unggahan akun Instagram Kementerian Ketenagakerjaan yakni @kemnaker yang menampilkan beberapa lowongan pekerjaan dari sejumlah perusahaan dengan mencantumkan kualifikasi syarat usia maksimal.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja diharapkan untuk memberikan kesempatan yang adil kepada semua pencari kerja yang memenuhi syarat yang ditetapkan, dilarang memuat persyaratan mendiskriminasi usia pelamar, latar belakang, pengalaman bekerja, jenis kelamin, agama, ras, orientasi seksual. Pemberi kerja juga diharuskan untuk melakukan proses seleksi yang transparan dan objektif dalam memilih kandidat yang paling sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang tersedia” atau pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan dilarang memuat persyaratan batasan usia, pengalaman kerja, agama atau persyaratan lainnya yang menghambat tenaga kerja mengikuti seleksi lamaran pekerjaan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan nasihat perbaikan. Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti persoalan diskriminasi yang dibahas Pemohon, apakah batas usia termasuk dalam sikap diskriminasi. Menurut Arsul, Pemohon harus mampu menjelaskan diskriminasi yang dimaksud. Sebab, merujuk Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimaksud diskriminasi ialah perbedaan perlakuan karena agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. “Kita harus hati-hati menyatakan sesuatu diskriminatif atau tidak,” kata Arsul.
Majelis hakim juga menyinggung inkonsistensi Pemohon dalam uraian alasan permohonan atau posita dengan petitum. Pada petitum, Pemohon tidak hanya mencantumkan soal larangan memuat persyaratan batasan usia, melainkan juga pengalaman kerja, jenis kelamin, agama, ras, dan orientasi seksual, Sedangkan, dalam posita, Pemohon hanya menjelaskan soal batas usia tidak boleh diterapkan dalam persyaratan rekrutmen dan Pemohon tidak menjelaskan alasan permohonan yang berkaitan dengan pengalaman kerja, jenis kelamin, agama, ras, dan orientasi seksual tersebut. “Tidak dijelaskan atau tidak diuraikan dalam posita tetapi tahu-tahu muncul dalam petitum,” ucap Arief.
Di penghujung sidang, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Agenda sidang berikutnya adalah perbaikan permohonan. (*)