A. Kasus Posisi (Case Position)
Adapun mengenai bisnis dan risiko yang dijalankan FIF GROUP dalam bidang Pembiayaan adalah sebagai berikut:
- Bahwa PT. Federal International Finance (FIF GROUP) bergerak dalam bidang usaha yang memfokuskan diri ke Pembiayaan sepeda Motor khususnya merek Honda (FIFASTRA) dan Pembiayaan Multiguna khususnya Produk Elektronik dan Meubel (SPEKTRA) pada bidang pembiayaan konsumen secara retail, saat ini berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014, maka bidang usaha fifgroup adalah:
- Pembiayaan Investasi;
- Pembiayaan Modal Kerja;
- Pembiayaan MULTIGUNA, Sewa Operasi (Operating Lease) dan/atau kegiatan berbasis fee;
- Pembiayaan berbasih syariah meliputi, Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Investasi, dan atau/ Pembiayaan Jasa yang dilakukan dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah (AMITRA); dan
- Pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK.
- Bahwa FIF GROUP merupakan lembaga pembiayaan yang besar dan jumlah tenaga kerja yang banyak, tentunya risiko melekat pada setiap bisnis yang dilakukan, FIF GROUP adalah perusahaan Pembiayaan yang berdiri di atas risiko bisnis, maka dari itu Peran manajemen risiko adalah untuk memastikan seluruh risiko di setiap proses bisnis dapat dikendalikan dengan baik dan terkontrol secara efektif serta Proses yang dimaksud mencakup proses marketing sampai dengan proses pengelolaan kredit;
- Bahwa Peran manajemen risiko harus tertanam di setiap proses bisnis perusahaan. Ini merupakan strategi perusahaan di mana seluruh kegiatan manajemen risiko diterapkan untuk mendukung tujuan bisnis perusahaan dan mengurangi risiko yang dapat berdampak pada kegagalan kredit (non-performing loan);
- Bahwa setiap proses bisnis di FIF GROUP memiliki risiko masing-masing, sehingga akuntabilitas risiko terletak pada risk owner di setiap proses. Setiap risk owner, baik dari department head atau division head, memiliki akuntabilitas terhadap risiko yang melekat pada proses bisnis departemen dan divisi mereka masing-masing. Penilaian untuk beberapa jenis risiko juga akan menjadi bahan pertimbangan untuk penilaian Key Performance Indicator (KPI) pada risk owner, departemen, dan divisi, karena risiko tersebut berhubungan erat dengan performa keuangan perusahaan;
- Bahwa FIF GROUP ingin menjadi besar secara market, tetapi secara risiko ingin tetap terjaga. Oleh karena itu, setiap pengambilan keputusan, baik itu yang bersifat strategis, tingkat divisi, hingga tingkat departemen, turut mempertimbangkan aspek risiko, karena aspek ini dapat mengganggu kinerja dan pencapaian sasaran perusahaan;
- Bahwa setiap proyek atau ekspansi bisnis harus selalu mempertimbangkan asesmen risiko dan risk policy dari manajemen mempertimbangkan risiko terutama dari segi manusia, hukum, dan keuangan;
- Bahwa selain itu, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terdapat beberapa penyempurnaan pengaturan yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan sistem pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Perusahaan Pembiayaan;
- Bahwa dalam hubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan kegiatan perusahaan, antara lain peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai perseroan terbatas, perkoperasian, pasar modal, dan ketentuan lainnya.
B. ISU HUKUM (Legal Issues)
Adapun yang menjadi masalah hukum:
- Bagaimana upaya FIF GROUP untuk mengurangi risiko karena ketidakmampuan/kegagalan Debitur untuk memenuhi kewajibannya, khususnya mengenai konsep eksekusi objek jaminan Fiducia pasca putusan MK. No. 18/PUU-XVII/2019?
- Bagaimana Penerapan Parate Ekseskusi sesuai dalam Undang-undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Oleh karena adanya perjanjian utang piutang dan jaminan fidusia, apabila debitur wanprestasi, yaitu tidak melakukan kewajibannya untuk membayar utang?
- Bagaimana Peran Advokat dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi, serta kewajibanya dalam melindungi kepentingan hukum PT. Federal International Finance?
C. SUMBER HUKUM (Source Of Law)
- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
- Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan;
- Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia;
- Putusan Mahkamah Konstitusi. No. 18/PUU-XVII/2019;
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan;
- Peraturan KAPOLRI Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia;
- Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan sebagai penyempurnaan Peraturan OJK Nomor 29/POJK.05/2014;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPidana).
D. ARGUMENTASI HUKUM
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM UU NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
- Bahwa sebagai jaminan kebendaan, fidusia tidak lahir begitu saja melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan harus terdapat perjanjian utang piutang yang menjadi perjanjian pokoknya. Oleh karena adanya perjanjian utang piutang dan jaminan fidusia tersebut, maka apabila debitur wanprestasi, yaitu tidak melakukan kewajibannya untuk membayar utang, maka benda yang menjadi objek fidusia ini lah yang akan dieksekusi. Ketentuan mengenai eksekusi jaminan fidusia ini diatur dalam Pasal 29 UU Jaminan Fidusia yang pada pokoknya menyatakan bahwa: Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
- Bahwa pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh debitur dan kreditur kepada pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
- Bahwa merujuk pada ketentuan tersebut, dalam Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia ditentukan bahwa dalam sertifikat fidusia terdapat kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Bahwa atas dasar tersebut maka kreditur/penerima jaminan fidusia mempunyai hak untuk melakukan eksekusi, yaitu menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi). Penjualan benda oleh kreditur tersebut dapat dilakukan melalui pelelangan umum atau di bawah tangan dengan kesepakatan debitur. Namun pelaksanaannya dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukannya pihak-pihak yang berkepentingan oleh debitur dan kreditur dan diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar.
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SETELAH ADANYA PUTUSAN MK No. 18/PUU-XVII/2019
- Bahwa oleh karena adanya parate eksekusi tersebut, kreditur memperoleh kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Meskipun terdengar, mudah pada praktiknya eksekusi jaminan fidusia ini seringkali menimbulkan permasalahan yang berakhir merugikan salah satu pihak. Sebagai contohnya adalah perkara perbuatan melawan hukum dengan nomor register 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Perkara tersebut diawali dengan adanya Perjanjian Pembiayaan Multiguna untuk membeli satu unit mobil. Penggugat menyatakan dirinya telah membayar cicilan tepat waktu, namun suatu ketika tergugat tiba-tiba mengeksekusi mobil yang menjadi objek jaminan tersebut dengan dalil cidera janji/wanprestasi. Penggugat kemudian mengajukan surat pengaduan atas tindakan tersebut, namun tidak ditanggapi hingga bahkan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan. Kasus ini kemudian berakhir di meja hijau dengan memenangkan penggugat dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melaksanakan eksekusi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Akan tetapi, tergugat tidak melaksanakan putusan tersebut dengan dalih bahwa sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Hingga akhirnya penggugat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 15 ayat (2) dan (3).
- Bahwa atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan memberi penafsiran terhadap frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, serta frasa cidera janji dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi berisi 3 (tiga) hal berikut, yaitu: Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Bahwa adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
- Bahwa terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa eksekusi jaminan fidusia dilakukan saat adanya kesepakatan mengenai cidera janji dan kerelaan debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi objek fidusia. Apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai cidera janji dan debitur tidak menyerahkan objek jaminan secara sukarela, maka prosedur eksekusi jaminan fidusia dilakukan sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri. Selain itu, cidera janji juga tidak dapat ditentukan secara sepihak. Harus ada kesepakatan mengenai cidera janji/wanprestasi yang ditentukan oleh kedua belah pihak atau atas dasar upaya hukum (gugatan) yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi.
KEWAJIBAN ADVOKAT DALAM MEMASTIKAN KEPENTINGAN PERSEROAN
Advokat memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan Perseroan dan memastikan bahwa setiap tindakan hukum yang diambil sejalan dengan hukum yang berlaku. Advokat juga perlu memberikan saran hukum yang tepat kepada Perseroan sehubungan dengan implikasi hukum dari setiap langkah yang diambil.
PENGAWASAN TRANSPARANSI PROSES PENJUALAN DI BAWAH TANGAN Advokat perlu memastikan transparansi dalam proses penjualan di bawah tangan, termasuk penetapan harga yang adil dan pemilihan pihak pembeli yang memenuhi syarat. Hal ini penting untuk mencegah potensi tindakan hukum oleh pihak yang merasa dirugikan.
PENYELESAIAN SENGKETA Advokat dapat memainkan peran kunci dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul selama proses parate eksekusi. Mediasi atau negosiasi dapat menjadi alternatif yang diusulkan oleh advokat untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak terkait.
Secara keseluruhan, peran advokat dalam penyelesaian kredit bermasalah melalui parate eksekusi dengan cara penjualan di bawah tangan atas objek jaminan fiducia di PT. Federal International Finance sangat krusial. Advokat diharapkan untuk menjalankan tugasnya dengan cermat, mematuhi etika profesi, dan memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada klien.