Bagaimana Makna Istilah Kerja di Bawah Tekanan? Ini Dia Ulasannya

Oleh Joko Priyono
10 Agustus 2024, 15:16 WIB

Siapa yang tidak takut akan memaknai kata kerja yang melintas dalam telinga? Naga-naganya kata itu semakin menjadi hal yang mencekam, mencekik, dan menakutkan. Sekilas, kita mudah terjerembab pada penyempitan jangkauan paradigma dalam menyoal dimensi ruang dan waktu. Pemaknanannya telah menjadi sesuatu hal yang amat kaku.

Dalam bahasa penguasa, kita masih ingat, kata kerja menjadi bahasa politik yang menjadi hegemoni kalangan publik. Saat para calon legislatif memamerkan pesona individu melalui poster, baliho, hingga pamflet, sebagian besar akan mencantumkan frasa yang menggunakan kata tersebut. Seperti Siap Bekerja, Bekerja untuk Rakyat, Kerja dengan Ikhlas, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, Presiden Jokowi sebagai kepala negara telah mendudukkan kata “kerja” dalam bahasa percakapan imajinasi politik. Ia dalam beberapa kesempatan sering kali mengatakan: “Kerja, Kerja, Kerja.” Bila mengacu pada tulisan sejarawan Prancis, Dennys Lombard melalui bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu: Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan (Gramedia Pustaka Utama, 1996), dalam konteks nusantara, frasa itu telah muncul di tahun 1915.

“Sebuah teks menarik kutipan dari sebuah artikel berjudul Djam yang terbit pada tahun 1915 di salah satu surat kabar Sumatra Barat, menunjukkan dengan jelas munculnya kesadaran itu: “Djika kita hati-hatikan benar ada lagi iang diteriakkan djam itoe; dengarlah olehmoe: ‘Kerdja! Kerdja! Kerdja!’” tulis Lombard.

Baca Juga: Kesalehan Bahasa: Media Sosial Menjadikan Kita Merasa Paling Saleh

Istilah itu muncul sebagai perubahan cara pandang terhadap waktu, dari tata aturan waktu lokal di Nusantara berubah kepada sistem Eropa. Lombard memberi keterangan penting: “Dapat dibayangkan bahwa peralihan waktu dari sakral ke waktu profan menimbulkan banyak masalah. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah lebih dari sekadar desakralisasi. Jam Eropa terutama berimplikasi ketepatan waktu, yang berkaitan dengan konsepsi baru tentang kerja.”

Lowongan Kerja

Frasa siap bekerja di bawah tekanan sebagai syarat di dalam banyak lowongan kerja rasanya menampakkan sebuah denotasi tersendiri. Bahwa bisa jadi itu sebagai sebuah hal untuk penertiban kepada para pekerja dalam kendali kapitalisme. Ada persoalan tubuh, ruang, dan waktu. Para pekerja tidak lain dimaknai sebagai sebuah mesin yang wajib dan nurut atas perintah dari tuannya.

Kita membaca sebuah buku garapan E. F. Schumacher, Kerja Bermartabat (Kreasi Wacana, 2008). Ia memberikan gambaran dalam kalimat: “Para tuan adalah orang otoriter dengan suara hati yang buruk; abdi menerima mereka hanya dengan wajah yang cemberut dan hanya ketika mereka harus melakukannya.” Alih-alih demikian, kita terpikir untuk lebih menafsirkan makna kerja dalam bahasa politik.

Di mata publik dalam tahun politik, kita sadar begitu nampak bagaimana aktor-aktor politik mudah menyoal kata kerja dengan persoalan di belakangnya. Kemiskinan, pengangguran, dan pemerataan. Pertanyaannya: apakah bahasa yang mereka gunakan dapat dengan mudah dipercaya? Kita memiliki dugaan, justru bahasa yang dimunculkan itu memberikan sekat pemaknaan kerja antara kalangan politik dan warga sipil.

Kata itu bagi kalangan politisi tidak seperti halnya masyarakat sipil yang terbayangi tekanan dengan penuh ketakutan dan kecemasan. Meski dalam tatanan komunikasi publik, mereka kerap menjadikan kepentingan publik sebagai sloganistik. Walhasil, meski terlalu gegabah, kita dapat kesimpulan: bila tidak mau bekerja di bawah tekanan, jadilah politisi! Tak perlu risau, sebab dari mereka kita juga belajar untuk mudah mengatakan: tuanku ya rakyat.[]

Artikel Terkait