Dongeng: Menghidupkan yang Tiada, yang Terbuang

Pembaca kembali melanjutkan hidup. Aku terpikir untuk langsung mengambil buku lain, cerita lain. Bisa saja, sebenarnya, aku larut memikirkan kisah hidup tokoh-tokoh Diane Setterfield dalam Dongeng Ketiga Belas (2009); duduk terpaku selama berpuluh-puluh menit karena terlampau terpukau dan iba pada karakter fiksi, merenungkan kejeniusan pengarang.

Oleh Umu Hana Amini
5 September 2025, 21:15 WIB

Hantu: Mereka yang Terbuang dan Terlupakan

Membaca Dongeng Ketiga Belas kukira akan seperti membaca cerita detektif karena penuh misteri. Sebagian benar, tapi sebagian lain justru ada ketakutan yang nyata selama membaca. Ya, ketakutan yang sama yang dialami orang-orang kebanyakan: takut pada hal yang sebenarnya tidak ada.

Bayangkan, hantu itu ada dalam teks yang bahkan imajinasi atasnya hanya ada dalam kepala! Sama sekali tidak nyata; dobel fiktif!

Benar, hantu itu tidak ada. Ia ternyata adalah tokoh yang terbuang tapi sentral. Ia tidak diingat siapa pun sekaligus dikenang semua orang.

Hantu adalah sosok mereka yang tidak ada, tapi masih harus ada. Bukan mereka yang terlupakan. Tapi hantu dalam buku ini adalah ia yang terbuang dan sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Sebelum terlupakan, ia telah menjadi hantu!

Pengarang menyebutnya hantu, padahal kita sah saja menamainya sebatas misteri. Sebab ia hidup dan hadir itulah, kita perlu memanggilnya sebagai hantu. Tanpa nama.

Orang-orang Jepang yang futuristik tapi masih berusaha mempertahankan ketimuran tengah mempertentangkan dua entitas selain manusia: hantu dan alien. Banyak cerita dan pengisahan masih menghadirkan dua makhluk tersebut. Sebagian saling beradu; lebih percaya mana: alien atau hantu.

Dalam kisah-kisah lama, hantu dikaitkan dengan arwah dan kepercayaan pada kekuatan gaib. Tidak jarang juga mereka mengaitkannya pada spiritualitas; melebihi imajinasi.

Di Indonesia, hantu bersifat komersil. Ia didatangkan di film-film, dari yang seram hingga buram—dalam arti penuh sensor. Sosoknya diparodikan, dijadikan komedi, itu biasa.

Namun, aku justru ingat pada pertanyaan seorang teman: mengapa tidak ada hantu komunis di Indonesia?

Bahkan, hantu pun dibatasi radarnya. Mereka yang sengaja dihilangkan, sepenuhnya mesti terlupakan dari ingatan banyak orang; tidak diizinkan menjadi hantu atau bentuk apa pun setelah mengalami kematian.

Lalu, hantu seperti apakah Vida Winder itu? Ia yang terbuang, ia yang tidak memiliki nama, ia pula yang sesungguhnya paling waras dan paling manusia.

Ya, dan ialah yang justru menggerakkan cerita sekaligus mewariskannya.

Artikel Terkait