Dongeng: Menghidupkan yang Tiada, yang Terbuang

Pembaca kembali melanjutkan hidup. Aku terpikir untuk langsung mengambil buku lain, cerita lain. Bisa saja, sebenarnya, aku larut memikirkan kisah hidup tokoh-tokoh Diane Setterfield dalam Dongeng Ketiga Belas (2009); duduk terpaku selama berpuluh-puluh menit karena terlampau terpukau dan iba pada karakter fiksi, merenungkan kejeniusan pengarang.

Oleh Umu Hana Amini
5 September 2025, 21:15 WIB

Pelayan dan Tukang Kebun

Masa kanak-kanak Adeline, Emmeline, dan Vida Winter, bahkan Isabelle dan Charlie, secara bertubi-tubi menegaskan pada kita pentingnya peran orang dewasa. Pola asuh yang buruk, ketiadaan peran orangtua, kesehatan mental, dan segala misteri para simbah-buyut, mengingatkan betapa runyam suatu kehidupan.

Tapi kita tidak perlu khawatir. Itu bukan yang kita alami. Hanya kisah orang lain. Kita boleh iba, tapi tak perlu ikut berpikir.

Meski bukan tugas kita, tetap saja kita bebas menerka dan mengangankan bagaimana dan apa yang harus kita lakukan jika menemui kasus serupa. Soal anak-anak yang diragukan akan tumbuh sebagai manusia utuh di tengah masyarakat, misalnya.

Anak-anak mungkin hanya sedang menjadi dirinya sendiri pada usianya—sebagaimana seharusnya. Sebagian dapat “patuh” dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sebagian tidak. Orang-orang dewasa kelewat berambisi mengubahnya, ingin lekas mereka menjadi “manusia”, lekas mendewasa.

Bentuk kekejaman, misalnya, berupa kehadiran dokter dan ilmuwan yang menjadikan anak kembar sebagai objek penelitian setelah upaya-upaya panjang dan melelahkan dalam proses pendisiplinan. Mereka sendiri tidak menganggap anak-anak itu manusia.

Tinggal di rumah megah hanya bersama tukang kebun dan pelayan tua yang sudah rabun dan sedikit tuli, tentu merupakan tanggung jawab besar. Hingga kemudian sosok “hantu”-lah yang membantu pergerakan kehidupan di dalamnya.

Menjadi hal lumrah bagi keturunan (mantan) bangsawan untuk memiliki pelayan dan tukang kebun, mengurusi seisi rumah dan lahan di sekitar. Kehidupan itu sangat jauh dan tak terbayangkan di kepala rakyat jelata sepertiku. Mereka beruntung punya orang-orang setia, kuasa hukum, dan aset yang bisa menyelamatkan ketika di sekeliling hanya berisi orang gila dan tubuh-tubuh renta.

Jika itu ada dalam kehidupan nyata saat ini, mungkin yang terbayangkan: bagaimana sikap dinas sosial? Tapi aku kembali ingat, mereka tidak butuh orang-orang itu, panti asuhan, atau lembaga apa pun. Dengan kuasa hukumnya, mereka mendapat “bantuan” berupa dokter dan guru privat. Sebuah kemewahan yang asing.

Nyatanya, kemewahan itu justru tidak datang dari kepakaran, profesionalitas, dan segala hal yang berusaha keras untuk mengubah tatanan di dalam rumah Angelfield. Peran pelayan dan

tukang kebun nyata besarnya. Mereka mengasuh si kembar, juga merawat kehidupan si hantu. Untuk kemudian, hantu itulah yang menyelamatkan kehidupan keturunan Angelfield—secara tidak langsung.

Artikel Terkait