Agama acapkali membutuhkan akrobat bahasa. Itu berguna untuk menguji dan menyangsikan akan kesahihan makna dari istilah yang ada. Di Majalah Tempo edisi 25 Maret – 2 April 2024 memuat wawancara dengan Menteri Agama (Menag) Yaqut Qoulil Coumas berjudul “Beragama Itu Harus Fanatik”.
Judul mengejutkan. Menggiring kita untuk memikirkan kata fanatik. Kata mengingatkan pada penggunaan di dalam penuturan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mutakhir, membri keterangan fanatik berupa “teramat kuat (tentang kepercayaan atau keyakinan terhadap suatu ajaran, seperti politik dan agama)”.
Makna itu, meski terasa belum paripurna, menyiratkan keberadaan lema identik pada politik, ideologi, dan agama. Di salah satu jawaban, Menag berucap: “Menjadi fanatik boleh-boleh saja. Beragama itu harus fanatik. Tapi bagaimana menerima perbedaan terhadap yang lain, itu soal berbeda. Kepada diri sendiri kita harus fanatik, tapi jangan merasa paling benar.”
Sebagai politisi dan berlatar belakang pendidikan pesantren, kita berprasangka Menag telah khatam sekian jenis kamus. A. Teeuw dalam Kamus Indonesia Belanda (1991), memberi penjelasan lema fanatik serapan dari Belanda, fanatiek. Kita berpikir lanjut kesejarahan perkembangan makna.
Eko Endarmoko dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2006), mengartikan fanatik berupa “ekstrim, militan, radikal, revolusioner, sektarian”. Arti tersebut memberi petunjuk bahwa keberadaan lema memikul konotasi negatif. Petunjuk tersebut membawa pada penelusuran di kamus-kamus lain.
Sebaran Makna
A.M. Adinda dan Usman BR pada 1950 menerbitkan Kamus Politik. Mereka memberi arti lema dengan penulisan kata asal, fanatiek, yaitu “Dengan membuta tuli mengikuti suatu paham atau aliran. Fanatik kepada pemimpin, adalah sangat berbahaja. Karena dengan membuta tulinja, sehingga menjalahi dasar-dasar kebenaran.”
Sementara itu, pada 1978, W. Surya Endra juga menerbitkan Kamus Politik. Dengan menuliskan pada bahasa asal, fanatiek, ia memberi keterangan “Pengikut atau penganut sesuatu aliran yang sangat setia secara membabi buta.” Pada agihan wacana ideologi, kita membuka Kamus Isme-Isme (2013) garapan Yapi Tambayong.
Ia mendefinisikan fanatisme sebagai “Sifat-sifat yang diwujudkan dalam sikap, yaitu penampilan keukeuh, untuk hanya memercayai satu saja pandangan, dalam hal ini keyakinan agamawi yang tidak sepenuhnya dikuasai, tetapi dengan itu tidak pula toleran dan menghargai pendapat yang dipercayai orang lain dari realitas akan suatu pluralitas.”
Pada 1980-an, fanatik mengalir dalam spektrum kehidupan demokrasi. Kata itu mengusik dan menjadi tantangan terhadap perjuangan kemajemukan. Cendekiawan Nurcholish Madjid (1999) memunculkan dalam esai “Kultus dan Fundamentalisme”. Esai termaktub dalam bunga rampai berjudul Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat.
Cak Nur menyebutkan, “Secara sosiologis, suatu gejala dapat dikatakan kultus jika terdapat ciri-ciri seperti pemusatan ketaatan kepada seorang pemimpin karismatik, gaya ketaatan yang eksesif dan fanatik, sikap-sikap eksklusif dan tertutup, pandangan yang anti sosial, dan adanya janji keselamatan yang gampang, sederhana, dan langsung.”
Mengacu pada wawancara, dengan menitikkan pada kebijakan mutakhir untuk keberlangsungan umat beragama, rasanya lema fanatik mengalami pemuaian. Menag nampak ingin menganulir makna yang terdapat di kamus-kamus, dengan memberi uraian, bahwa lema itu bisa digunakan pada aspek positif.[]