Jika menontonnya semasa SMA (2016), mungkin ketakjuban itu akan lebih murni tanpa ternoda prasangka dan gugatan-gugatan. Waktu itu keingintahuan sains sedang tinggi. Bocah remaja lugu akan mudah menerima gagasan-gagasan. Hingga sebelum mendengarkan tokoh evolusionis, dr.-des Ryu Hasan, saya masih berada di keyakinan bahwa bumi ini dan manusia mesti kita selamatkan. Betapa heroik saya saat itu.
Itulah Interstellar (2014) garapan Christopher Nolan. Tentu banyak hal dari film itu telah dibicarakan orang-orang. Utamanya soal kepahlawanan tokoh-tokoh ilmuwan Amerika menyelamatkan umat manusia dari ancaman kepunahan sebab bumi tak lagi layak huni. Film berkategori fiksi-sains ini mungkin sebenarnya lebih cocok dijajarkan dalam daftar film hero setara film-film Marvel.
Ada begitu banyak pertanyaan di lapis pembacaan ke sekian setelah menontonnya belakangan. Kita tentu boleh-boleh saja menerima bahwa film itu hebat dan tak tertandingi. Relevan pula dengan kondisi sekarang ketika krisis iklim tampak begitu nyata menyeramkan dan membikin tidak nyaman. Namun, upaya menyelamatkan kehidupan justru terlihat “melupakan kehidupan” itu sendiri.
Kita bisa mengingat, betapa padat film itu. Tentang krisis pangan, badai debu, pertentangan antara anak dan ayah, teori-teori, perjalanan, misi, hingga dugaan asmara. Film memberi kita kelegaan, dengan akhiran membahagiakan, hingga kita luput mengingat binatang dan tumbuhan—selain gambaran berhektar-hektar ladang jagung tanpa harapan.
Nasaruddin Umar, yang kita kenal sebagai Menteri Agama kabinet sekarang, dalam bukunya berjudul Menelisik Hakikat Silaturahim (2021) membuat bab tersendiri: “Berguru pada Alam”. Di situ ia menulis “pembelajaran” yang ia dapat dari binatang-binatang, tumbuhan, hingga batu. Kita tidak bisa melewatkan ini begitu saja.
Tak dapat kita elak bahwa pembelajaran di ruang-ruang kelas memang menjauhkan kita dari alam, apalagi realitas di luar tembok sekolah. Untuk sekadar mengenal alam saja kita perlu mengadakan praktikum dan ujian terlebih dulu. Lebih banyak kita menghadapi buku teks dan layar atau papan tulis. Kemudian, kita tidak benar-benar mengenal alam, apalagi berguru padanya.
Memang, alam—baik alam di bumi maupun di ruang lain—akan selalu memberi hikmah. Namun, pendekatan manusia dengan alam, upaya memahaminya, justru membawa manusia pada ambisi untuk meninggalkan—atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika saja upaya itu manusia lakukan dengan lebih rendah hati, apakah kita juga akan menerima bahwa kita perlu berguru pada alam? Bukan sekadar mengambil pengetahuan, melainkan mengakui bahwa alamlah sosok guru. Sebagai murid, manusia dapat menghormati guru, alam tersebut, sebagaimana kita lakukan terhadap guru-guru di sekolah.
Gerakan menghormati guru ini terbaca sangat muluk-muluk dan kelewat bijak. Kita butuh instan. Film produksi Amerika Serikat itu menjanjikan harapan, juga menanamkan kesadaran bahwa semesta ini amat luas. Merawat adalah pekerjaan terberat manusia, sementara bumi—mereka gambarkan—sudah sekarat. Alternatif solusinya adalah pindah dan itu lebih realistis dalam kacamata mereka memandang manusia dan kemanusiaan.
Mungkin benar, ilmu pengetahuan berkembang menjadi sangat antroposentris. Seolah dunia ini hanya seputar manusia. Kita dibuat lupa bahwa upaya menyelamatkan kehidupan umat manusia tidak sesederhana—meski kenyataannya jelas tidak sederhana—mencari tempat dengan gravitasi, kandungan air, dan kadar oksigen tertentu. Apakah kita sudah tidak perlu terhubung dengan hewan, jamur, tumbuhan yang selama ini berada di sekitar kita?
Ternyata memang kita terlebih dulu dibuat lupa pada alam dan seisinya hingga ambisi bertahan hidup itu seolah hanya urusan manusia. Selain spesies ini, makhluk hidup lainnya tidak masalah jika tak ada. Sungguh ironis ketika ilmu sains kealaman justru mereka tampilkan “meniadakan” alam itu sendiri, lebih memilih “mencipta” alih-alih menjaga, membangun-kembali yang terberi.
Ada istilah, kita bisa disebut manusia jika memanusiakan manusia lain. Sudah benar tindakan menyelamatkan umat manusia dalam film itu—meski terlalu heroik dan sepihak. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: pernahkah kita mensyaratkan diri bahwa kita bisa disebut makhluk jika memakhlukkan makhluk lain—mengakui secara penuh eksistensinya? Mungkin definisi makhluk terlalu rumit sebab mengharuskan adanya pencipta, sedang dalam hal ini bisa saja kita berlaian. Maka, tidak heran jika mudah saja bagi manusia menihilkan yang bukan-manusia. Mungkin?

