Kesalehan Bahasa: Media Sosial Menjadikan Kita Merasa Paling Saleh

Oleh Joko Priyono
27 Juli 2024, 09:00 WIB

Apa yang terlintas dalam benak pikiran Anda ketika membuka wahana media sosial, di bagian komentar kerap menemukan:Waktu umur 2 bulan sudah naik haji, baru selesai nifas kemudian pergi haji. Udah Haji Thariq.”? Selain masygul, agaknya candaan itu mengimajinasikan sebuah logika bahasa yang menarik ditelaah. Ada fenomena kesalehan bahasa.

Terdapat relasi kuasa yang mengaga dalam struktur kalimat tersebut. Ini pula yang makin mengukuhkan akan corak feodalisme. Pengakuan gelar sebagai status sosial. Bagaimana pun, persoalan itu tidak sebatas terjadi pada ruang agama, seperti penyebutan haji, keturunan kiai, maupun nasab kenabian.

Di dunia akademis, masih langgeng mengenai hal tersebut. Menyitir istilah budayawan Nirwan Ahmad Arsuka (2015) sebagai gerombolan pseudo-nalar. Ia menitikkan permalasahan tersebut di perguruan tinggi yang mana kehadiran mereka perlahan mengubah lembaga yang harusnya ilmiah menjadi tempat pemujaan gelar akademik.

Fenomena yang sama terjadi ketika beberapa orang menggunakan takarir: “Masyaallah Tabarakallah” dalam postingan maupun cerita di media yang dibagikan ke publik. Cara berbahasa yang diterapkan bukan mendasarkan pada makna kalimat yang sebenarnya. Namun yang kita lihat, di balik narasi itu ada makna yang baru.

Kajian

Hasil kajian Sri Mulyati dan Mujid Farihul Amin (2024) menunjukkan adanya gaya bahasa (instrumentalities) terhadap fenomena tersebut. Itu terkait penggunaan ragam bahasa formal dan spiritual dalam ungkapan rasa syukur. Pilihan kata-kata yang dipilih menciptakan nuansa penghormatan terhadap kebaikan yang diterima.

Tak dapat dimungkiri, cara seperti itu kadang bermuara pada upaya menunjukkan kekayaan, pencapaian, dan kebahagian diri. Bentuk komunikasi tersebut bisa saja merujuk dari fenomena yang sebelumnya kita jumpai: pamer (flexing). Kini, keberadaannya bertransformasi dengan kalimat bermuatan kesalehan.

Betapapun, proses perkembangan bahasa bertalian erat dengan kesadaran. Tiap penutur menginginkan apa yang disebut dengan komunikasi afektif. Berhubungan dengan itu, John C. Concon Jr menulis esai berjudul “Jika Manusia Berbicara dengan Manusia” di dalam buku Bahasa, Pengaruh dan Peranannya (Yayasan Obor Indonesia, 1981).

John mengetengahkan akan aspek emosional dalam cara berkomunikasi antara pembicara terhadap pendengar. Dalam aspek tersebut, ia menggarisbawahi bahwa perwujudan komunikasi afektif dapat memuat motif. Ia menjelaskan: “Pujian, rayuan, akan tetapi juga ucapan-ucapan palsu dapat dimasukkan dalam golongan ini.”

Makna yang Melenceng

Di sekian percakapan dan tulisan yang galibnya juga diproduksi jurnalisme mutakhir, kita kerap menemukan penggunaan kata yang melenceng dari maknanya. Misalnya peletakan kata “Puasa” dalam struktur kalimat, seperti frasa yang telah populer, yakni “Puasa Kekuasaan”, “Puasa Gelar”, hingga “Puasa Media Sosial”.

Ada kenyataan yang tak bisa ditampik berupa gejala islamisasi dalam sosiologi kebahasaan yang menggejala. Hal itu menandaskan apa yang pernah ditulis Ariel Heryanto dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015).

Baca Juga: Hewan yang Disalahkan: Mengapa Kita Mudah Mengumpat dengan Membawa Nama-nama Hewan?

Ciri khas proses islamisasi, menurut Ariel yakni terjadinya perluasan dalam cara pandang, penampilan, dan perayaan besar-besaran terhadap unsur-unsur material dan praktik-praktik yang mudah dipahami dalam masyarakat Indonesia sebagai mengandung nilai-nilai islami atau “yang terislamkan”.

Bersamaan dengan itu, praktik yang terjadi dengan ditopang media sosial telah menormalisasi tindakan tersebut. Kelas menengah dengan latar belakangnya mudah memberikan pengaruh pada publik. Dengan sendirinya, ada pergulatan makna yang muncul dari proses berbahasa.

Apa yang menjadi kekhawatiran? Bahasa agama hanya akan bergerak pada formal dan sulit menunjukkan analisis terhadap fenomena sebagaimana mestinya. Pelibatannya sebatas mengandaikan “kesalehan bahasa” secara personal. Seturut dengan itu, bahasa Indonesia dengan kecepatan teknologi media terus tergerus dan bekemungkinan senantiasa bermuram durja.[]

Artikel Terkait