Membaca Indonesia Baru Secara Paripurna

Avatar photo
Oleh Iwan Mariono
24 Oktober 2025, 13:38 WIB

Buku yang berjudul #ResetIndonesia, Gagasan tentang Indonesia Baru merupakan buku yang bermaksud lengkap dalam membedah permasalahan Indonesia dari berbagai aspek: sosial, budaya, ekonomi, ekologi, politik, pendidikan, kesehatan, dan tata ruang.

Meskipun tak semua aspek dibahas rinci mengenai teknis di lapangan, tapi ia pantas kita sebut sebagai sebuah prolegomena terhadap pembacaan Indonesia secara paripurna, dengan filosofi yang baru.

Siapa saja yang sudah selesai membaca akan sepakat bahwa buku ini membuat kita mengetahui banyak hal, meski hanya superfisial. Jurnalis yang baik memang dituntut menguasai berbagai dimensi pengetahuan, untuk kemudian mengartikulasikannya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang. Buku ini memenuhi kriteria tersebut.

Ditulis oleh dua orang jurnalis par excellent, yang masing-masing sudah berkeliling Indonesia sebanyak dua kali selama setahun: Farid Gaban (2009-2010) dan Dandhy Dwi Laksono (2015-2016). Ekspedisi kedua mereka tempuh bersama (2022-2023) selama 424 hari. Dan, tampak lebih seru karena ditemani oleh dua orang junior yang mewakili generasi baru: Yusuf Priambodo (millenial), dan Benaya Harobu (gen Z). Mereka berdua juga menyumbang tulisan untuk buku ini. Ekspedisi ketiga secara kolektif ini mereka beri nama: Ekspedisi Indonesia Baru.

Kembali kepada masalah yang dibahas dalam buku Reset Indonesia. Saya pikir, masalah negara ini sudah kompleks, sehingga perlu untuk di-reset. Pemilihan diksi yang tepat. Tak sekadar restart, apalagi refresh.

Mungkin tidak urut, tapi mari kita bahas hal-hal yang menurut saya paling fundamental yang ada dalam buku ini.

Untuk mewujudkan Indonesia yang baru, pertama-tama harus di-reset adalah paradigma. Yakni mengubah cara kita berpikir, baik secara kolektif maupun personal. Terutama untuk para pemangku kebijakan. Sebab, merekalah penentu arah pembangunan ekonomi secara nasional.

Dalam memahami pertumbuhan ekonomi, misal. Tak semua pertumbuhan mesti dinilai dari seberapa banyak yang kita produksi (apalagi produksi massal). Buku ini, mengambil inspirasi dari karya EF Schumacher yang berjudul Small is Beautiful, mengajarkan sebaliknya: kecil tapi punya manfaat yang keberlanjutan (sustainable) justru yang paling utama.

Kehidupan dari beberapa masyarakat adat dijadikan contoh dalam buku ini. Salah satunya yang perlu saya sebut: Kasepuhan Ciptagelar. Ini desa adat yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Kebetulan saya sendiri pernah berkunjung dan melihat langsung kehidupan di tempat tersebut.

Manusia harus belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sering keinginan yang tanpa batas itu dengan mudah tumbuh menjadi keserakahan. Sistem ekonomi apa yang kita anut ternyata sangat menentukan pandangan hidup. Dalam hal ini, ilmu ekonomi tak ada yang bebas nilai, ia selalu bias dengan ideologi tertentu.

Buku ini jelas menolak ekonomi liberal, yang dalam praktiknya banyak merugikan masyarakat kecil. Dalam pasar bebas, tidak mungkin masyarakat kecil bisa mengalahkan kapitalis pemilik modal besar. Salah satu efek negatifnya adalah privatisasi sektor publik.

Agar mudah memahami kita ambil satu contoh. Orang yang terlahir sebagai generasi boomer harusnya terheran-heran dan tidak menyangka bagaimana bisa air minum yang dulu diperoleh secara gratis, bahkan beberapa tinggal minum tanpa harus dimasak, semakin kiwari justru makin banyak dikemas dan dikomersialkan. Sekarang, apa-apa harus beli, bahkan untuk air yang menjadi kebutuhan hidup paling mendasar. Ditambah, eksploitasi alam yang berlebihan membuat air di sumur kita jadi tidak layak untuk diminum karena potensi logam berat yang terkandung.

Sumber mata air yang harusnya jadi milik publik malah terprivatisasi. Privatisasi adalah pilar dari kapitalisme. Sungguh ironis oleh karena dalam konstitusi kita ada pasal 33, yang salah satu ayatnya mengatur kepemilikan air: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Itu baru satu contoh kasus. Kita belum membahas contoh yang lain seperti tanah, garis pantai, reklamasi, wisata premium, dan lain-lain. Pada akhirnya warga akan semakin terdesak dan tidak berdaulat. Sehingga: “…. semakin liberal ekonomi justru makin kecil peluang kita sebagai bangsa merumuskan apa yang baik untuk diri sendiri secara berdaulat.”

Sebagai penggantinya adalah koperasi. Tetapi perlu diingat, ada perbedaan yang mendasar antara koperasi yang autentik dan koperasi abal-abal. Koperasi yang baik, salah satunya melibatkan partisipasi masyarakat, ia tumbuh dari bawah (bottom up), dan bukan sebaliknya dari atas ke bawah (top down). Itulah koperasi yang dicita-citakan oleh Bung Hatta.

Buku ini tidak merinci secara lengkap cara kerja koperasi. Saya pun tidak akan membahasnya secara mendalam.

Sebagian besar ini buku ini dijiwai oleh pemikiran Bung Hatta. Saya catat ada lebih dari tiga puluh kali namanya disebut dalam sepanjang buku ini. Tidak saja perihal koperasi dengan ekonomi kerakyatannya, melainkan juga mengenai reforma agraria. Sampai dibuat satu judul khusus dalam buku ini: “Bagi-Bagi Tanah ala Bung Hatta, reforma agraria tanpa basa-basi”.

Kenapa setiap tahun harga tanah bisa melambung tinggi? Sebab, tanah sudah menjadi komoditas paling seksi yang mengalahkan harga emas. Dengan hanya bertumpu pada gaji UMR, tidak heran bila generasi milenial banyak yang tidak bisa menjangkau harga tanah, apalagi dilanjut membangun rumah. Jangan tanya generasi yang di bawahnya.

Tanah (selain air) harusnya tidak boleh dijadikan komoditas. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta: “akumulasi penguasaan tanah dapat menjadi alat satu kelompok masyarakat untuk menindas kelompok lain.”

Merenungkan kembali pembahasan mengenai reforma agraria ini. Tiba-tiba saya teringat pada uraian Nurcholis Madjid dalam karya bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban. Dalam salah satu tulisannya di buku itu, Cak Nur memuji ijtihad yang berani dari Umar bin Khattab, ketika menolak menjadikan tanah hasil penaklukan sebagai harta rampasan perang (ghanimah). Padahal, Al-Quran sudah mengatur mengenai ghanimah ini.

Bayangkan bila tak ada ijtihad dari Umar, tanah imperium Persia yang maha luas itu mungkin akan dikuasai oleh hanya segelintir orang. Semangat jihad dan penaklukan mungkin tak lagi bersandar pada niat untuk tegaknya syariat, melainkan ingin menguasai lahan seluas-luasnya. Etika Islam jelas menolak semangat kapitalisme.

Entah, kenapa reforma agraria ini jarang sekali menjadi pembicaraan publik, mungkin masih ada anggapan bahwa itu gagasannya PKI pada masa lalu. Padahal, seperti yang tertulis dalam buku ini: “Bung Hatta, yang memainkan peran kunci dalam menyusun rancangan undang-undang agraria, bahkan sudah menulis soal ketidakadilan tanah ketika dia mengasuh majalah Hindia Poetra di Belanda pada 1922, saat berusia 20 tahun. Jadi, keliru yang mengatakan bahwa land-reform adalah gagasan PKI.”

Tak heran bila kalimat dalam pasal 33 itu merupakan hasil pemampatan dari pemikiran-pemikiran Bung Hatta.

Betapa pentingnya masalah land-reform ini. Bila tak bisa menjadikan tanah sebagai properti bersama, minimal kita bisa membatasi berapa banyak seorang individu boleh memiliki tanah. Termasuk pembatasan lahan konsesi untuk korporasi.

Fakta mengejutkan dalam buku ini: “Bahkan di kalangan perusahaan ada ketimpangan tajam: 60 persen lahan konsesi dikuasai oleh 1 persen saja perusahaan. Sinar Mas Group, misalnya, menguasai konsesi lahan sekitar 5 juta hektare, lebih luas dari wilayah kelola seluruh badan usaha milik negara (BUMN) digabung jadi satu. Padahal, menurut aturan awal, maksimal konsesi hutan adalah 500 hektare. Perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, yang sudah menguasai luas lahan rata-rata ribuan hektare, masih bersaing ketat satu sama lain. Sering dengan menyerobot lahan masyarakat atau hutan negara yang kosong di luar wilayah konsesi.”

Ini semua perlu kita suarakan, untuk mencapai keadilan sosial sekaligus mencegah agar tanah tidak dijadikan sebagai alat untuk menindas rakyat kecil, seperti yang dikemukakan oleh Bung Hatta di atas.

Artikel Terkait