Mencoba Meneladani Si Penyair

Halah, sok-sokan mau menanggung rasa sakit semua orang, padahal menelantarkan anak-istri. Menikah cuma buat lari dari kesepian, tapi nihil cinta, nihil tanggung jawab. Sampai anak sakit-sakitan bahkan meninggal pun tidak peduli, malah kawin dengan perempuan lain. Dasar, tukang selingkuh!

Oleh Umu Hana Amini
4 Oktober 2025, 19:05 WIB

Kita bisa saja mengenalnya sebagai orang berengsek belaka. Meski dikenal sebagai penyair dengan penuh cinta—setidaknya dari sajak-sajak yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia—sosoknya ternyata patut dihindari dalam perkara asmara.

Bagian keempat buku Jejak Kelana Pablo Neruda susunan Iswara N. Raditya dimulai dengan penggalan sajak Pablo Neruda: “Untuk hidupku, semua kehidupan, berikan aku semua rasa sakit semua orang, aku akan mengubahnya menjadi harapan.”

Di halaman 99 itu kita berhak memaki. Halah, sok-sokan mau menanggung rasa sakit semua orang, padahal menelantarkan anak-istri. Menikah cuma buat lari dari kesepian, tapi nihil cinta, nihil tanggung jawab. Sampai anak sakit-sakitan bahkan meninggal pun tidak peduli, malah kawin dengan perempuan lain. Dasar, tukang selingkuh!

Tapi makian tidak ada gunanya. Manusia dapat berubah. Pablo Neruda muda memang berengsek dan mungkin beberapa tahun sebelum meninggal pun ia masih sama.

Dan masyarakat tetap berhak mengenangnya, hingga sekarang, sebagai penyair, sebagai konsul, sebagai politikus, sebagai orang berpengaruh. Juga, menjaga kesadaran kolektif—mengutip apa adanya dari buku—yang dipengaruhi dari sajak-sajak ataupun tindakannya, terutama bagi rakyat Chili.

Dalam berpolitik, dirinya pun pernah khilaf. Bahkan, berkali-kali salah langkah. Imbasnya tentu besar sekali. Namun, dirinya berani mengakui kekeliruannya, bahkan melakukan perlawanan setelahnya.

Pablo Neruda, menurut yang ditulis Iswara, sebenarnya masuk dalam tim kampanye Videla, Presiden Chili sekitar tahun 1945-an, saat mencalonkan diri jadi presiden. Dia berbalik melawan karena kebijakan Videla dianggapnya tidak pro kepada rakyat. Salah satunya, membuka investasi asing ke Chili yang kemudian memicu aksi mogok kerja kaum buruh pertambangan.

Perlawanannya bukan sekali-dua kali. Dia kerap mengkritik rezim Videla di berbagai sidang senat melalui orasi yang puncaknya yakni pada 6 Januari 1948 ketika ia memberi pidato dramatis berjudul “Yo Acuso” (“Aku Menuduh”). Bahkan, dia harus melarikan diri menghindari penangkapan setelah menyebut Presiden Videla sebagai pengkhianat.

Di lain waktu, dengan konteks yang sedikit berbeda, Pablo Neruda juga menyesali tindakannya. Dia menyesal telah mendukung Stalin setelah mendengar pidato rahasia penguasa Soviet berikutnya, Nikita Khrushchev, pada 1956. Dia kemudian menulis di memoarnya: “Aku telah ikut menyumbangkan diri dalam kultus individu itu.”

Dengan membaca hal ini di situasi politik negeri belakangan—buku biografi ini terbit Juni 2025—pembaca akan mengerti bahwa salah dalam politik itu boleh dan lumrah. Asal, kemudian disertai aksi untuk melunasi kesalahan atau minimal mengurangi dampak buruk yang telah diakibatkan.

Orang akan mengingat betapa besar “dosa jariyah” pihak-pihak yang membawa si “wong Solo”, baik media maupun tokoh-tokoh intelektual hingga selebriti. Dampaknya terlalu besar hingga sulit dipulihkan dalam beberapa generasi. Jika hanya menangis, rakyat kecil sehari-hari pun menangis dihimpit kebutuhan yang sukar terpenuhi.

Di jagat media sosial, cancel culture mulai diterapkan. Mereka, para influencer, yang terlibat atau sekadar pernah menunjukkan dukungan pada paslon yang sekarang berhasil memenangkan pemilu 2024 dan mengakibatkan “bencana” hari ini, menuai kritik.

Meski belum terbilang masif, hal itu berlaku pada satu akun di X/Twitter. Akunnya sekarang sudah tidak aktif. Si pemilik akun memutuskan pergi dari sana. Padahal, media sosial hari ini perannya sangat vital, bisa menjadi ladang penghasil rupiah. Tapi dia memilih menepi dan bergabung dengan barisan massa aksi dalam demo beberapa waktu lalu. Namanya kini tidak lagi diperbincangkan dan tidak akan disebut juga di sini—agar tidak terkesan menjadikannya pahlawan, tokoh, atau sosok penting.

Baru-baru ini terjadi, seorang aktivis sekaligus influencer “dikecam” warganet karena suatu rubrik di Tempo memuat wawancaranya terkait 17+8 Tuntutan Rakyat. Media massa itu semestinya lebih banyak memberitakan orang hilang dan mereka yang ditahan selepas aksi, alih-alih menampakkan tokoh di balik penyusunan tuntutan tersebut, kata banyak warganet. Adanya hal ini disebut-sebut sebagai upaya penokohan. Tak heran mengapa publik mengantisipasi hal tersebut; sebab sebelum-sebelumnya, yang dielu-elukan ternyata sama busuknya, bahkan lebih.

Pablo Neruda telah memberi teladan. Meski berengsek dalam urusan asmara, dirinya toh berada di barisan rakyat. Meski payah dan bersalah dalam urusan penokohan, dia kembali ke jalan yang lurus. Di pidato nobelnya (1971), bahkan, dia menyebut:

“Kami mewarisi kehidupan rakyat yang merana ini, yang menyeret-nyeret beban kutukan selama berabad-abad, rakyat yang paling memesona, paling murni, yang dengan bebatuan dan logam mereka ciptakan menara yang menakjubkan dan berlian yang memukau kilaunya—rakyat yang mendadak-sontak dirampok dan dibungkam di zaman gelap kolonialisme yang masih membekas hingga kini.”

Dia telah memberi panggung dan jalan bagi orang-orang, tokoh-tokoh, yang pada akhirnya menyengsarakan lebih banyak rakyat. Dia bukan peramal, bukan tukang sihir; tak bisa menerawang masa depan dan mengetahui kebusukan kepemimpinan mendatang.

Dia hanya penyair kelebihan metafora yang berangsur membuat sajak-sajaknya terbaca dan mudah dipahami rakyat; bahkan jikapun rakyat tidak bisa membacanya, dia akan membacakannya.

Artikel Terkait