Rupanya hari ini kita punya semacam ketakutan kolektif terhadap dunia. Ia yang serbacepat, juga ia yang dapat sewaktu-waktu memisahkan kita dari “dunia”.
Bayang-bayang teknologi yang sekali waktu menguntungkan, pada waktu lain memperlihatkan sisi ganasnya. Dan kita, manusia-manusia biasa ini, kembali pada insting purba: adaptasi.
Tapi ternyata manusia juga diberati dengan perasaan, sisi-sisi emosionalnya. Keterikatan dengan sesuatu membuat mereka—atau kita sendiri—sukar beranjak, beradaptasi, mengatasi segala perubahan.
Kejayaan masa lalu, balas jasa, atau sekadar sikap pesimistis. Hal-hal itulah yang menjadikan seseorang seolah diam di tempat.
Di sisi lain, mungkin benar, mereka tengah mengupayakan keluar dari lumpur isap yang perlahan-lahan menyeretnya tenggelam. Namun, segala upaya, segala daya, justru semakin menenggelamkan.
Tidak ada cara lain untuk keluar dari kubangan itu selain sesuatu di luar diri. Mungkin itu orang lain, tongkat, atau seutas tali.
Itulah yang terbaca usai menonton No Other Choice (2025) garapan Park Chan-wook. Dipecat dari pekerjaan seperti membawa kita pada realitas. Sangat mungkin menimpa kita sendiri—dengan nama lain bangkrut atau jatuh karier atau hancur reputasi, tentunya. Ibarat melihat seonggok tubuh dilengkapi nyawa sedang pelan-pelan terisap pasir/lumpur. Tinggal menunggu waktu dia habis dilumat kenyataan.
Sialnya, upaya mentas dari tragedi itu sering kali melahirkan tragedi-tragedi lain; membuat seseorang semakin terperosok, tertelan lumpur isapnya.
Man-su, misalnya, dalam film itu dia dipecat dari perusahaan kertas tempatnya bekerja selama seperempat abad. Dalam upayanya mengatasi krisis yang menimpa keluarganya, dia dan istrinya mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan. Yang artinya, kedua anjing peliharaan keluarga itu harus dititipkan ke rumah orangtua sang istri (Kakek & Nenek).
Bagi penonton, itu pilihan paling masuk akal ketimbang harus menitipkan anak-anak sebagaimana yang lazim ditemui di masyarakat. Namun, bagi anak perempuan Man-su, itu adalah tragedi tak tertanggungkan dalam hidupnya. Dia bahkan kedapatan menangis sambil mendengar musik lewat pengeras suara di dalam rumah anjingnya.
Di situasi yang sulit, dengan perkiraan tiga bulan mencoret status pengangguran dan mendapat pekerjaan baru, keluarga itu pun sempat berniat menjual rumah. Mobil sudah terjual, perkakas-perkakas lain pun sudah, bahkan hobi bermain tenis dan kelas dansa sudah ditinggalkan.
Namun, nasib malang setia bertahan hingga setahun lamanya sebagaimana Man-su tetap bersetia pada kertas yang dia sebut-sebut telah menghidupinya dan keluarga selama seperempat abad. Dia enggan beralih ke bidang lain atau keterampilan lain. Baginya, kertas istimewa, tak tergantikan, dan amat berjasa dalam hidupnya.
Kertas dan Paradoks
Penonton bisa saja percaya bahwa Man-su adalah karyawan yang baik, ayah yang baik, suami yang juga baik. Dia juga sempat digambarkan sebagai rekan kerja yang baik ketika mengajukan dirinya untuk “bersuara” mewakili pekerja lain di hadapan pimpinan barunya yang ternyata seorang Amerika.
Saat itu dia kalah taktik. Dia berlatih unjuk rasa, menghapal pidato yang telah ditulis poin-poinnya di sebelah telapak tangan. Tapi nihil, dia kurang mengingat bahwa perusahaan itu beralih kuasa ke tangan orang Amerika, bukan sebangsanya. Dia tidak mempersiapkan pidato bahasa Inggris! Kocak!
Di lain waktu, dia juga melakukan hal serupa: menulis catatan sebagai bantuan ingatan di telapak tangan dengan tinta merah. Kali ini, dia gunakan untuk melancarkan wawancara kerjanya yang baru. Lain kesempatan, dia juga menggunakan trik serupa agar tetap terkendali.
Penonton yang cermat akan mengingat adegan itu. Man-su ini karakter yang dicitrakan mudah gugup, kurang menguasai diri, dan banyak pikiran. Dia bahkan harus mengikuti sesi semacam terapi berhenti minum alkohol yang di dalamnya dia terus-menerus memberi sugesti pada diri dengan sambil mengetuk-ngetuk dan memijit urat-urat di sekitar kepala dan leher.
Saking mumet dan tertekan, Man-su bahkan menderita sakit gigi. Sebagian orang mungkin paham bahwa sakit gigi tidak selalu berkaitan dengan bakteri; mungkin juga saraf-saraf yang kaku. Mungkin. Kita menduganya demikian saja agar lebih mudah mengaitkan hal-hal ini.
Kecintaannya pada “kertas”—atau perusahaan kertas, teknologi kertas, atau apa saja yang sebenarnya membuatnya terhubung dengan benda itu—turut dijadikannya senjata mengelabui rekan-rekannya agar bergabung dengan perusahaan abal-abal yang dia bentuk, sengaja sebagai perangkap.
Dia membuat semacam kampanye bahwa, dengan terancamnya posisi pekerja sebab kertas tidak banyak dibutuhkan, agar kertas tetap ada sekaligus ladang pekerjaan bagi mereka tetap ada, mereka harus senantiasa menggunakan kertas.

