Untuk itu, lamaran pekerjaan tidak disampaikan melalui surel/e-mail, tetapi dengan kertas atau pos. Mereka tampaknya berusaha radikal untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya.
Langkah itu jelas konyol, tetapi masuk akal bagi orang-orang yang pesimis dan masih gamang memandang dunia. Terlebih, bagi Man-su dan kawan-kawan yang diduga berumur setengah abad, mendekati rata-rata usia pensiun.
Atas nama idealisme, atau gengsi, atau sebentuk pesimisme apa pun itu, nyatanya di kulit belaka. Seseorang bisa bersikap radikal, tapi di sisi lain dia sebenarnya melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dia pegang.
Lihat saja si Man-su. Kertas hanyalah alasan. Tanpa kertas, dia masih bisa hidup. Bahkan, ketika gugup, dia bukan membutuhkan kertas, melainkan hanya sebelah telapak tangan untuk memindahkan ingatan.
Dia seorang pencinta tanaman, tumbuhan. Bahkan, dia punya ruangan khusus tempat dia bereksperimen dengan tanaman-tanamannya; salah satunya, aktivitas membonsai.
Namun, orang dungu pun tahu bahan asal kertas adalah pohon. Kecintaannya pada tanaman itu omong kosong belaka. Satu adegan sinematik dalam film ini, ketika gergaji-gergaji mesin itu membabat pohon-pohon.
Kita maklum, orang tidak mungkin bisa idealis 100%. Tapi, kecintaannya pada tanaman-tumbuhan, sementara di sisi lain tak bermasalah ribuan pohon ditebang untuk produksi kertas, cukup kontradiktif.
Penonton kemudian beranjak pada maklum yang lain. Kita bisa mengingat kisah Joseph, karakter Steinbeck dalam To a God Unknown. Laki-laki yang memperoleh tanah luas secara “cuma-cuma” itu dikisahkan gemar berkebun-bertani. Alasannya sederhana: dia suka segala sesuatu tumbuh.
Teks itu lalu membawa kita pada teks lain: Second Sex-nya Simone de Beauvoir. Laki-laki cenderung menginginkan segala sesuatu tumbuh, muncul, dan ada. Seolah segala sesuatu harus menghasilkan. Misalnya, tanah dan rahim.
Apakah kegemaran berkebun Man-su sebagaimana yang dimaksud dalam kedua teks itu—hanya seolah berkuasa atas makhluk lainnya—kita tidak tahu. Di film itu, Man-su justru menggunakan keterampilan bercocoktanamnya untuk “membonsai” tubuh manusia, mengikatnya sebagaimana batang-ranting bonsai, lalu dipendam di bawah tanah.
Man-su jelas-jelas tidak menghendaki sesuatu tumbuh—dalam konteks ini tanaman. Bahkan, di satu adegan, ketika dia berniat membunuh saingannya, Man-su mengangkat pot dan sedikit lagi menjatuhkannya dari atap rumah. Dia tidak hanya berniat membunuh manusia, tapi juga sekaligus tanaman tak berdosa!
Kertas bagi Man-su hanyalah tameng dari ketidakberdayaannya, ketidakpercayadiriannya, bentuk lain dari kerapuhan maskulinitasnya. Di tangan Mansu, kertas hanya jadi peranti untuk menampilkan wajah-wajah buruannya, saingan-saingan di arena pertarungan mencari pekerjaan.
Justru, kertas sering hadir bersama anak perempuan Man-su. Bahkan, bocah itu sering kali hanya fokus pada kertas gambarnya ketika makan.
Di akhir cerita, baru ditampakkan fungsi kertas di tangan anak kecil itu. Ternyata, kertas menjadi media tempat kode-kode, bahasa musiknya. Ia bukan serupa not balok; hanya kotak-kotak dengan beragam warna. Namun, dengan itu sebagai panduan, si bocah bisa memainkan suatu permainan musik selo yang amat indah.
Komedi selalu beriringan dengan tragedi; begitulah yang sering orang sampaikan. Sekian tragedi pembunuhan disajikan Park Chan-wook, si sutradara, dengan sangat kocak hingga kita yang menontonnya pekewuh untuk ketawa; antara merasa bersalah dan melanggar norma bin moralitas.
Pada akhirnya, Man-su menerima pekerjaan baru. Benar, teknologi menggantikan kertas, meski masih dalam perusahaan yang memproduksi kertas. Di posisi barunya, Man-su tidak lagi menggunakan kertas. Dia dibekali semacam tablet, gawai untuk mengendalikan mesin-mesin dari jarak jauh.
Di ruangan besar pabrik itu, dia seorang diri. Sangat jelas bagaimana teknologi membabat habis jumlah manusia sebagai pekerja; sebagaimana manusia membabat habis pohon-pohon untuk menciptakan kertas.
Kertas benar-benar hanya dalih. dia menginginkan kertas tetap eksis, tetap diproduksi, bukan demi kelangsungan hidup pekerja-pekerja pabrik kertas. Tak lebih, tak lebih dari keinginannya untuk bertahan hidup dengan tidak perlu bersusah payah belajar hal baru, kompetensi baru, atau secara sederhana: beradaptasi.
Man-su beradaptasi, memang. Man-su pun bertahan hidup. Dia bertahan hidup dengan menyingkirkan lawan-lawannya sesama pekerja, sesama pihak yang “terancam”. Dia juga beradaptasi, dibuktikan dengan penguasaan teknologi mutakhir di posisi terbarunya.

