Omong Kosong Kelas Pekerja

Bayang-bayang teknologi yang sekali waktu menguntungkan, pada waktu lain memperlihatkan sisi ganasnya. Dan kita, manusia-manusia biasa ini, kembali pada insting purba: adaptasi.

Oleh Umu Hana Amini
26 Oktober 2025, 06:30 WIB

Pekerjaan Bukan Identitas Utuh

Ketika melihat Man-su, kita bisa saja iba dan abai pada segala tindakannya yang seolah “menghalalkan segala cara”. Kita tidak berhak bicara soal moralitas ketika kita bahkan belum menghadapi situasi serupa.

Hari ini, ketika para pekerja dihantui satu kata, “efisiensi”, tampaknya ketakutan itu cukup berterima. Beberapa ilustrator, kreator konten, dan banyak pekerja lainnya mulai kelabakan ketika nyaris tergantikan kecerdasan buatan.

Orang-orang kemudian memutar otak untuk menyiapkan kemungkinan terburuk. Di tengah padatnya pekerjaan, beberapa orang masih perlu menjalankan bisnis atau menjalani pekerjaan lain.

Sebagian lainnya, mencoba peruntungan dengan mencari pekerjaan lain yang “lebih menjanjikan” atau “lebih stabil”. Sudah bekerja, masih mencari kerja. Itulah kelakar manusia-manusia hari ini.

Dan demikianlah realitas ketika ketidakpastian semakin pasti. Era ketidakpastian membuat setiap orang gamang terhadap masa depannya. Sayangnya, kegamangan itu justru sering kali memunculkan bayangan-bayangan negatif dan kecemasan, alih-alih pikiran atau prasangka baik.

Kenapa bisa begitu? Karena hal-hal terburuk yang kita cemaskan, sering kali lebih buruk pada kenyataannya. Ingat, kita ini WNI. Sudah mempersiapkan yang terburuk pun, realitas akan menyeret kita ke keadaan lebih buruk.

Maka, soal pekerjaan, kita pun sukar berharap pada negara. Omong kosong dan bualan-bualan semakin menambah persentase ketidakpastian. Kita bahkan dapat dengan mudah membalikkannya menjadi “mustahil”.

Ketidakpastian yang menimpa Man-su ketika dirinya merasa mapan setelah bekerja selama 25 tahun, menunjukkan pada kita betapa pasti dan nyata ketidakpastian itu. Seseorang bisa sewaktu-waktu tergantikan—ini agak sentimental dan menyedihkan dalam konteks apa saja. Sekaligus, tidak semua orang dapat menyandang suatu profesi seumur hidup.

Inilah yang membuat kita tidak terpaku pada satu identitas mutlak atau label pada suatu pekerjaan. Namun, di sisi lain, juga terombang-ambing.

Man-su yang mungkin di lingkungan keluarga, tetangga, pertemanan, dikenal sebagai pekerja ahli kertas, misalnya, suatu hari melepaskan sandangan itu. Pekerjaan seolah menjadi pakaian kedua bagi seseorang; membentuk identitas dirinya.

Orang lain dikenal dengan Dokter Budi, Bu Guru Sari, Rian Pengacara, Rahman Tukang Daging, misal. Namun, sewaktu-waktu, mereka menanggalkan nama belakangnya. Apa yang terjadi?

Hilang arah, tentu. Merasa dilucuti, mungkin. Beberapa bahkan merasa tidak berharga dan sia-sia menjalani sisa hidup.

Generasi hari ini boleh saja iri sekaligus tidak relevan karena tidak sempat menyandang nama belakang berupa profesi itu. Sebab, mereka sendiri belum sempat membentuk identitas itu.

Beberapa kawan menjalani berbagai profesi dari waktu ke waktu. Tahun lalu seseorang bekerja sebagai x di perusahan A. Bulan lalu, dia tiba-tiba pindah ke kota B untuk bekerja di perusahaan C. Kita pun sulit menerka tiga bulan lagi dia masih bekerja di tempat yang sama atau tidak.

Sistem kerja, aturan, dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan hari ini agaknya tidak menghendaki generasi hari ini untuk bertahan dengan satu pekerjaaan dalam waktu yang lama. Ketika, misal, untuk mendapatkan pekerjaan, seseorang harus menguasai suatu kompetensi terkini yang dibutuhkan banyak perusahaan. Dia kemudian mengikuti kursus atau boothcamp selama sebulan atau tiga bulan dan berhasil memperoleh kerja. Tapi, dia hanya dikontrak selama tiga bulan, enam bulan, atau satu-dua tahun.

Setelahnya, tidak ada yang tahu pasti kondisi dunia kerja, mengingat segala hal sangat berkaitan dengan situasi politik dan kebijakan. Tidak ada yang benar-benar tahu apakah dia dapat bertahan di posisinya itu sekian tahun mendatang.

Jangankan menjadi Man-su yang bimbang karena dipecat setelah 25 tahun bekerja. Untuk mencapai seperlima masa kerja Man-su di tempat yang sama saja, Gen Z belum tentu sampai di titik itu.

Di sisi lain, hal itu menjadi satu kelebihan bagi generasi hari ini. Pekerja tidak melekatkan identitas suatu pekerjaan pada dirinya. Pekerjaan, sebagaimana Zen RS bahas dalam tulisannya, hanya sebagai sebuah persinggahan—metafora yang agak klise dan cenderung indie tapi memang begitu adanya.

Kebanyakan orang, hari ini, singgah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam waktu singkat. Dinamis, memang. Meski Zen RS terkesan mengandalkan kekuatan kolektif, sementara yang Park Chan-wook tunjukkan dalam film justru sebaliknya, kita bisa bersepakat bahwa hari ini, mau tidak mau, kita dituntut untuk menguasai banyak hal.

Meski cuma di permukaan, kita akan menjalaninya sebagai profesi. Senada dengan kepakaran yang sudah bukan menjadi pertimbangan. Itu akan lebih menyelamatkan kita di dunia yang gamang, terombang-ambing, sekaligus menawarkan fleksibilitas.

Kemelekatan bagi sebagian orang sangat menyiksa. Untungnya, seseorang dapat bersalin identitas dengan “gampang”. Itu satu sisi baiknya.

Sisi buruknya, kembali pada Park Chan-wook, kita akan menghadapi badai amat besar; bertarung dengan kemanusiaan sekaligus dengan sesama manusia. Begitulah yang tampak dalam No Other Choice ketika keadaan yang sebenarnya menawarkan banyak pilihan, tapi bagi sebagian orang justru tidak tampak satu pun pilihan baik.

Zen RS masih percaya pada kekuatan kolektif, saling rangkul. Dia mengatakan bahwa mungkin kita memang tidak hanya membutuhkan mental baja, tapi juga tangan-tangan lain.

Jika Park Chan-wook mencoba menyampaikan bahwa “cara keluar dari lumpur isap” itu adalah tangan lain, sesungguhnya tangan lain itu adalah metafora dari pilihan-pilihan lain; bukan tangan manusia secara literal. Diri tetap punya kendali, alih-alih mengandalkan kolektivitas. Sebab, omong kosong belaka semua itu. Omong kosong.

Tapi, ah sial, kalimat Zen RS kembali memukau kita. Di akhir esainya yang diunggah di Substack dengan judul Ritme Kerja, Ritme Singgah, dia bilang (dengan penyesuaian penulisan):

Kadang kita harus ngelirik ke luar pagar yang lagi kita duduki sekarang. Yang penting gimana kita ngerawat diri di dalamnya: dengan hormat, berani, dan siap jalan kalau waktunya sudah tiba.

Hidup kadang gak cuma tentang apa yang kita pegang sekarang, tapi gimana kita siap saat-saat gak enak beneran datang. Siapa tahu, dari situ kita bisa punya sesuatu yang lebih hakiki atas waktu, pilihan, dan diri sendiri. Mungkin.”

Meski percaya pada kolektivitas, dia pun tetap mewanti-wanti kita untuk bersiap. Dan upaya terbaik yang bisa kita lakukan, jangan seperti Man-su yang keukeuh di satu bidang. Serta, menjaga yang kita miliki saat ini; menuntaskan pekerjaan, melakukannya dengan baik, dan berani untuk apa-apa yang bisa saja terjadi.

Artikel Terkait