Penjara Itu Bernama Perspektif

“Setiap buku menyediakan kesempatan untuk mencoba kehidupan lain yang mungkin saja kaujalani.” Itu persis ucapan Mrs. Elm kepada Nora di suatu tempat bernama Perpustakaan Tengah Malam. Tanpa harus mengunjungi perpustakaan itu pun, kita mungkin sudah setuju pada Mrs. Elm. Setiap buku, setiap cerita, membawa kita mencoba kehidupan “alternatif”. Bedanya, kita hanya dalam upaya “lari” sejenak dari kehidupan, bukan mencoba setiap kehidupan lain untuk menghapus penyesalan.

Oleh Umu Hana Amini
27 September 2025, 09:16 WIB

“Setiap buku menyediakan kesempatan untuk mencoba kehidupan lain yang mungkin saja kaujalani.”

Itu persis ucapan Mrs. Elm kepada Nora di suatu tempat bernama Perpustakaan Tengah Malam. Tanpa harus mengunjungi perpustakaan itu pun, kita mungkin sudah setuju pada Mrs. Elm. Setiap buku, setiap cerita, membawa kita mencoba kehidupan “alternatif”. Bedanya, kita hanya dalam upaya “lari” sejenak dari kehidupan, bukan mencoba setiap kehidupan lain untuk menghapus penyesalan.

Bahkan, suatu waktu, setelah Nora Seed “mentas” dari kehidupan andaiannya dan kembali ke perpustakaan, Mrs. Elm bicara sesuatu terkait penyesalan.

“Kadang-kadang penyesalan sama sekali tidak sesuai fakta. Kadang-kadang penyesalan cuma … tahi angin.”

Kita mendapat istilah baru berkaitan dengan angin. Angin itu tak kasat mata, tak jelas rupanya, kehadirannya pun sekilas-sekilas saja. Tapi apa jadinya jika angin itu hidup dan bermetabolisme dan berak?

Makhluk hidup bernama angin itu, dalam bahasa Indonesia, sering kali hanya bermakna sebagai sesuatu yang remeh. Kita bisa mengingat frasa “angin lalu”. Itu menunjukkan bahwa sesuatu tidak berarti, tidak berharga, tidak ada apa-apanya bagi yang lain. Lalu ini? Tahi angin? Dobel tidak berarti!

Ketika hidup bergelimang penyesalan, wajar dan manusiawi jika kita ingin undur diri atau bahkan mengulang dari masa tertentu. Hidup Nora demikian. Ia punya setumpuk penyesalan yang terjilid dalam satu buku tebal. Ia selalu punya kehidupan yang ia andaikan, yang padahal adalah buah dari keputusannya sendiri.

Membaca Midnight Library atau Perpustakaan Tengah Malam karya Matt Haig ini membuat kita mengenal sosok Nora Seed dan krisis eksistensialnya. Hidupnya terbilang monoton dan kacau. Bekerja di toko musik, memberi les piano setiap pekan, batal jadi atlet renang, batal jadi glasiolog, batal jadi filsuf, batal lanjut studi, batal menikah, keluar dari band, hingga putus kontak dengan kakak dan sahabatnya. Dia mengaku menderita depresi dan, entahlah, sesuatu yang membuat pembaca membayangkan ruangan-ruangan di rumahnya adalah ruangan dengan cahaya remang-remang dan minim warna.

Dia bahkan membayangkan dirinya tidak menjadi manusia yang harus “ada” dan hidup. Betapa menyenangkan, pikirnya, jika hanya perlu menjadi tahi lalat, sebagaimana tahi lalat yang ada di tangannya. Hanya ada; sekadar ada. Tak perlu menjadi apa-apa, tak perlu mengalami apa-apa.

Satu-satunya kehangatan yang tersisa di hidupnya dalam periode itu adalah kucingnya. Sayang, kucing bernama Voltaire—dipanggil Volts—itu meninggal tak lama kemudian.

Artikel Terkait