Penjara Itu Bernama Perspektif

“Setiap buku menyediakan kesempatan untuk mencoba kehidupan lain yang mungkin saja kaujalani.” Itu persis ucapan Mrs. Elm kepada Nora di suatu tempat bernama Perpustakaan Tengah Malam. Tanpa harus mengunjungi perpustakaan itu pun, kita mungkin sudah setuju pada Mrs. Elm. Setiap buku, setiap cerita, membawa kita mencoba kehidupan “alternatif”. Bedanya, kita hanya dalam upaya “lari” sejenak dari kehidupan, bukan mencoba setiap kehidupan lain untuk menghapus penyesalan.

Oleh Umu Hana Amini
27 September 2025, 09:16 WIB

Setelah kepergian kucingnya, dia makin didera penderitaan berkepanjangan dan dalam sehingga memutuskan menelan obat dengan jumlah banyak. Ya, percobaan bunuh diri. Dia tidak ingin menjalani hidup yang memuakkan itu.

Dalam masa krisis antara hidup dan mati itu, dia justru tersesat ke dimensi lain—yang di tengah buku dijelaskan melalui teori fisika kuantum—ke tempat yang tampak sebagai perpustakaan dengan Mrs. Elm sebagai pustakawan. Dari tempat itu, dia mengalami banyak kehidupan sesuai penyesalannya. Dan berakhir kecewa, lalu kembali ke perpustakaan dan mencoba kehidupan yang lain. Begitu seterusnya dan berulang.

Dia mencoba semua kehidupan dan tidak ada yang memuaskannya, tidak ada yang ideal baginya, kecuali kehidupan sebelum ia kembali ke perpustakaan yang ternyata hampir roboh. Kehidupan ideal itu mencerminkan penyesalannya telah menolak ajakan minum kopi bersama Ash, seorang dokter bedah yang di kemudian hari membawa pulang kucing Nora yang tergeletak mati di pinggir jalan.

ilustrasi gambar: buku midnight library
ilustrasi gambar: buku midnight library

Sayangnya, di kehidupan yang ideal itu, dia justru merasa menjadi orang lain dan berpura-pura. Dia merasa bersalah untuk itu. Hingga, suatu waktu ia menginginkan kehidupan yang nyata; yang betapapun kacau, itulah kehidupannya, hidupnya sendiri.

“Ia tidak ingin mati. Ia juga tidak ingin menjalani kehidupan lain selain kehidupan miliknya. Kehidupan yang mungkin merupakan pergulatan kacau, tapi tetap saja itu pergulatan kacau miliknya sendiri. Pergulatan kacau yang indah.”

Akhirnya, dia kembali ke Perpustakaan Tengah Malam. Perpustakaan roboh, terbakar, dan dia hanya perlu menggapai satu buku yang tersisa, yang tidak dapat rusak atau terbakar, yang berisi kehidupannya sendiri, masa depannya sendiri. Buku itu kosong belaka. Dia membuka halaman dan kembali di detik dia hampir meregang nyawa. Lalu, dia meminta tolong kepada tetangga, ke rumah sakit, dan beruntung, selamat.

Pembaca mungkin akan merasa dekat atau juga tidak dengan penderitaan Nora. Banyak hal dalam hidup yang mengecewakan dan relasi kita dengan sesama manusia begitu buruk dan palsu. Tidak ada lagi hal menarik dalam hidup. Keterputusan dengan alam, manusia, dan diri sendiri—sengaja tidak menyebut Tuhan agar tidak semakin banyak orang marah-marah.

Hari ketika kebahagiaan orang lain lebih mudah ditampakkan, kian banyak orang ingin bahagia. Orang kemudian menjadi lebih fokus menciptakan hidup yang bahagia, alih-alih menjalani hidup itu sendiri.

Apakah hidup harus bahagia?

Sejenak kita beralih ke teks lain, Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya karangan Andreas Kurniawan, seorang psikiater. Mirip dengan Nora, di buku ini kita berhadapan dengan cerita-cerita sesi konsultasi dengan pasien bernama Lalin. Bedanya, Lalin memiliki kekurangan tak terbantahkan dalam hidupnya terkait fisik dan kesehatan. Dia harus lebih banyak berkompromi dengan keadaan. Suatu hal yang jelas tidak mudah.

Sama seperti Nora, Lalin juga ingin mati. Tidak ada gunanya hidup dengan tubuh yang lemah dan orangtua yang mengabaikannya, katanya.

Tapi benarkah orangtuanya mengabaikannya? Psikiater itu memberi alternatif perspektif padanya dalam menghadapi orangtuanya yang amat sibuk itu ketika mereka tidak mau menemaninya pada suatu akhir pekan. Lalin memang terlalu keras kepala dan terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu. Itu yang membuatnya terkurung dalam perspektif, pikirannya sendiri, tentang orang lain dan dunia.

Dalam hidup, menurut psikiater sekaligus penulis buku itu, mudah sekali bagi seseorang untuk menyalahkan atau mencari kesalahan, alih-alih melihat sesuatu dengan apa adanya; tidak ada yang layak disalahkan, memang demikian. Kita mendapat penjelasan, memang demikianlah otak manusia. Sekaligus, begitulah otak manusia yang terus-menerus mencari kebahagiaan.

Kita jadi teringat mitos Sisifus yang dikutuk mendorong batu ke atas bukit, lalu kembali digelindingkan. Kita melihat dia berbahagia sekaligus meragukan apakah dia bahagia.

Orang yang memandang bahwa hidup harus memiliki tujuan jelas, baru bisa bahagia, cenderung akan menilai bahwa puncak bukit adalah tujuannya. Dengan mencapai itu, seseorang bisa bahagia.

Ternyata tidak. Di atas tidak ada apa-apa. Lebih menyenangkan melihat batu itu meluncur ke bawah, menggelinding, dan tanpa sengaja mengenai bebatuan lain atau menabrak tumbuhan-tumbuhan kecil atau melindas hewan-hewan mungil. Lebih menyenangkan melihat batu bergerak, mencintai gravitasi, se-apa adanya.

Mereka lupa pernah bermain perosotan ketika kanak-kanak. Mungkin Sisifus ketika menuruni bukit, ia meluncur dan merasakan kenikmatan kekanak-kanakannya kembali, lalu mendaki lagi, dan berulang. Tahu apa kita?

Tahu apa kita menghakimi Sisifus, meragukan kebahagiaannya berdasarkan standar perpesktif kebahagiaan diri sendiri atau orang banyak?

Dan begitu pula sebaliknya. Mungkin saat ini kita tengah terkungkung dalam suatu perspektif gila tentang kebahagiaan. Menciptakan kebahagiaan saja kita patut ragu apakah itu perlu untuk mendukung eksistensi kita, apalagi mengharuskan diri untuk bahagia.

Perspektif itu, dalam Midnight Library, disebut sebagai penjara. Ia memenjarakan kita dari dunia luar, dari anggapan kita sendiri tentang kehidupan. Sekali mengubah perspektif atau cara pandang, langit gelap bisa tiba-tiba berubah jadi pagi; dengan sinar matahari lembut dan kicauan burung. Atau, langit tetap gelap, tapi setidaknya kita melihatnya dengan cara yang lain. Kita kemudian membaca penggalan puisi Nora Seed berbunyi:

Masa gelap sudah datang
Masa gelap t’lah bertandang
Tapi hidup tak boleh usai
Ketika ia belum lagi dimulai

Hidup tak boleh usai selagi belum dimulai. Tanda memulai hidup kembali, barangkali adalah dengan mengubah perspektif itu sendiri, keluar dari penjara diri. Dan apakah selanjutnya hidup harus bahagia? Ini bukan pertanyaan yang harus dijawab. Sebab kita hanya perlu hidup.

“Kau tidak perlu mengerti kehidupan. Kau hanya perlu hidup.” —Mrs. Elm

Artikel Terkait