Pesantren lagi-lagi menjadi “objek” kegaduhan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Belum selesai duka masyarakat pasca ambruknya gedung Ponpes Al Khoziny, khalayak disuguhkan berita tentang framing negatif pesantren yang ditayangkan pada program Expose Uncensored milik Trans 7. Mengapa tayangan itu dinilai framing negatif dan jauh dari etika jurnalistik? Ada beberapa alasan yang cukup kuat untuk mendasarinya:
- Cuplikan yang ditayangkan adalah sosok KH Anwar Manshur, pengasuh Ponpes Lirboyo. Pihak Trans 7 tidak mengkonfirmasi beliau sedang melakukan kegiatan apa, sehingga tidak bisa dianggap “sedang menerima setoran”, sebagaimana kalimat yang disampaikan sang narator, “kiai yang kaya raya, tetapi santri yang kasih amplop”.
- Tidak adanya kalimat, “video ini hanya ilustrasi” pada cuplikan video. Sehingga, pernyataan dari narator dianggap sebagai tuduhan, karena dengan jelas menyatakan bahwa KH Anwar Manshur adalah pelakunya, tanpa ada bukti konkret yang bisa dipertanggung jawabkan.
- Tidak adanya data pendukung yang kuat, seharunya Trans 7 menunjukkan data kuat dalam pernyataan, “inilah sebabnya sebagian kiai makin kaya raya, mobilnya mewah hingga harga miliaran”. Karena jika tidak, arti dari kata “sebagian” akan dimaknai masyarakat secara bias.
Ketiga poin di atas adalah bukti kecil penggiringan opini yang dilakukan oleh Trans 7, karena etika jurnalistik tidak membenarkan adanya narasi tanpa didukung bukti yang kuat. Namun terlepas dari itu, publik ikut gaduh dan memanfaatkan kejadian ini sebagai momentum untuk mengkritik pesantren. Dimana hal ini kemudian melahirkan diskursus yang meluas, yang kiranya perlu ditanggapi dengan argumen yang kuat.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, sebagian masyarakat menilai pesantren adalah lembaga yang feodal dan menjadi ladang “jualan agama”. Pandangan semacam ini sering kali berangkat dari pengalaman terbatas atau pengamatan sepihak terhadap suatu pesantren tertentu.
Pesantren dan Tuduhan Feodalisme
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian pesantren masih memiliki hierarki yang sangat kuat. Kiai menempati posisi sentral, menjadi sumber otoritas keilmuan sekaligus moral. Dalam kultur pesantren, santri dididik untuk menghormati dan meneladani kiai sebagai bentuk ta’dzim atau penghormatan terhadap guru.
Namun, banyak pihak keliru memahami ta’dzim sebagai bentuk feodalisme. Padahal, penghormatan dalam konteks pesantren bukanlah ketaatan buta, tetapi bagian dari tradisi adab dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang telah disampaikan ulama terdahulu, dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim misalnya.
Akan tetapi, masalah muncul ketika penghormatan itu berubah menjadi kultus individu, di mana suara santri dibungkam dan kritik dianggap dosa. Namun, hal itu tidak terjadi di semua pesantren. Sebagai contoh, adanya Lajnah Bahtsul Masail yang ada di masing-masing pesantren menjadi bukti, bahwa santri pun memiliki ruang untuk menjadi subjek dalam memutuskan persoalan kontekstual yang sedang berkembang.
Tudingan “Jualan Agama”
Memberi uang kepada kiai dengan niat membuat beliau senang dan membantu pesantren adalah amal saleh yang sangat baik, selama dilakukan dengan niat yang ikhlas, cara yang sopan, dan tidak disertai maksud duniawi. Karena bagaimana pun, banyak santri merasa berhutang budi karena telah diasuh dan dibimbing oleh kiai. Toh bagaimanapun, jika kita ingin membandingkannya, lebih berbahaya mana dibanding fenomena suap-menyuap demi sebuah jabatan?
Dalam dunia pesantren yang penuh adab, ikhlas berarti memberi tanpa berharap balasan selain ridha Allah. Kiai yang bijak juga biasanya tidak akan melihat nominalnya, tetapi menilai ketulusan di baliknya. Bahkan, lebih sering kiai yang menolak pemberian santri daripada menerimanya. Juga banyak pesantren salaf yang hanya bertarif syahriyah sedikit, bahkan tidak memintanya sama sekali. Karena, pesantren hidup bukan karena memiliki modal, tetapi karena rasa saling memiliki antara kiai dan santri, dan semangat seperti inilah yang membuat pesantren tetap kokoh meskipun di tengah keterbatasan.
Kritik yang Membangun, Bukan Menyalahkan
Kritik terhadap pesantren tentu diperlukan. Sebagai lembaga publik, pesantren harus terus berbenah seperti memperbaiki manajemen, memperkuat kurikulum, dan menjaga kesejahteraan santri. Namun, kritik yang baik bukanlah tuduhan menyeluruh yang melabeli semua pesantren dengan framing negatif. Kritik yang membangun berangkat dari niat untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan. Kedua hal ini bisa dibedakan dengan narasi yang dibangun dan data yang disampaikan. Tentunya hal tersebut adalah hasil dari penelitian yang mendalam, bukan atas dasar asumsi semata.
Pesantren juga tidak perlu alergi terhadap kritik dan masyarakat pun perlu belajar memahami kompleksitas dunia pesantren dengan lebih terbuka. Pesantren adalah lembaga yang hidup, dinamis, dan terus berubah seiring waktu. Ia bukan bangunan masa lalu, tetapi lembaga yang hidup dan terus menumbuhkan generasi baru.
Karena itu, menilai pesantren secara hitam-putih adalah kesalahan berpikir yang sama sekali tidak bisa dibenarkan. Alih-alih menggeneralisasi bahwa semua pesantren feodal dan anti kritik, lebih baik kita melihatnya sebagai rumah besar yang berisi berbagai kamar; ada yang masih tradisional, ada yang modern dan ada yang sangat progresif. Justru di tengah keragaman itulah letak kekuatan pesantren sebagai kepanjangan tangan tujuan pendidikan di Indonesia.

