Artikel yang ditulis oleh sahabat saya Lilik Setiawan dengan judul “Tragedi Robohnya Gedung Pondok Al-Khoziny: Antara Takdir atau Jerat Hukum Kelalaian”, yang dipublikasikan pada kanal Rambak.co pada tanggal 14 Oktober 2025 menyoroti permasalahan dilematis yang sedang dialami oleh dunia pesantren di Indonesia. Artikel tersebut menarik karena lebih banyak menyoroti permasalahan dari sudut pandang hukum, namun argumen yang disampaikan cenderung terlalu sederhana, karena hanya didukung terhadap teorisasi hukum yang kurang sesuai dengan kontekstualisasi masyarakat.
Meskipun pada artikel tersebut dijelaskan secara rinci penyebab peristiwa dari sudut pandang teknis konstruksi bangunan dan mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, namun hal ini kurang menjawab permasalahan yang sedang terjadi, terkhusus yang terjadi dalam dunia pesantren. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu disoroti agar peristiwa di Al Khoziny menemukan jawaban yang lebih solutif.
Pertama, kelalaian pimpinan pesantren yang dianggap sebagai otoritas tertinggi karena selaku pemilik, penanggung jawab dan pengambil keputusan proyek Pembangunan gedung. Hal ini memang bisa dibenarkan, namun tidak bersifat absolut. Kenapa dianggap sebagai otoritas tertinggi? Bagaimana peran pemerintah sebagai penyelenggara dan penjamin pendidikan di Indonesia? Ketika memposisikan pimpinan pesantren sebagai satu-satunya pihak yang memiliki otoritas, justru kita berkontribusi dalam menjauhkan peran dan elaborasi pemerintah terhadap lembaga pendidikan.
Yang kedua, perlu kita ketahui bersama, bahwa banyak pesantren yang dibangun secara swadaya, bahkan sejak pengadaan tanah, pendirian bangunan hingga ke urusan operasional harian. Padahal kita sering mendengar dukungan moril dan materiil yang akan diberikan pemerintah kepada pesantren. Dengungan itu bahkan menggema keras setiap lima tahun sekali, namun jarang sekali menemukan realisasi konkret di lapangan. Faktanya, hingga hari ini pemerintah cenderung mengesampingkan perhatian terhadap pondok pesantren. Kebijakan yang ditelurkan pemerintah kepada pesantren tidak sekomprehensif dibanding dengan sekolah negeri dan swasta.
Dari segi dukungan regulasi, untuk sekolah pemerintah memeiliki UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, PP No 17 Tahun 2010, PP No 19 19 Tahun 2005, UU No 14 Tahun 2005, Permendikbud hingga beragam Perda yang ada di banyak daerah. Namun, dukungan regulasi untuk pesantren hanya ada pada UU No 18 Tahun 2019 dan Perda Pesantren yang baru sedikit sekali daerah memilikinya. Padahal antara sekolah dan pesantren sama-sama berkedudukan sebagai lembaga pendidikan resmi di Indonesia.
Oleh karenanya, kita juga harus memasukkan fakta ini sebagai salah satu faktor penyebab ambruknya bangunan pesantren Al Khoziny. Mengapa demikian? Karena secara tidak langsung praktek ketidakpatuhan pesantren terhadap regulasi bangunan yang ditetapkan oleh pemerintah juga berakar dari sini. Keengganan pesantren mengurus perihal administrasi dapat dipahami dari ungkapan seperti ini, “Buat apa kita ngurusi administrasi dan perijinan, jika sejak awal hingga sudah berjalan tidak ada perhatian seperti bantuan insentif yang kuat dari pemerintah”.
Yang ketiga, bahwa rumitnya birokrasi juga menjadi batu sandungan bagi dunia pendidikan. Sebagai contoh, perijinan bangunan ada di DPUPR namun legitimasi pendidikan pesantren berada di Kemenag. Sangat memungkinkan jika antar lembaga tersebut tidak sinkron dalam melaksanakan tugasnya, pesantren menjadi korban kesenjangan kebijakan. Hal inilah yang juga membuat pengelola pesantren merasa permasalahan administrative yang harus dilakukan sangat rumit, bahkan jika dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar di pesantren.
Beberapa faktor di atas menurut saya menjadi pelengkap pertimbangan yang kuat dalam mengamati tragedi di Al Khoziny. Melihat tragedi Al Khoziny dari kacamata hukum memang satu hal yang penting, terkhusus agar menjadi pengingat dan upaya preventif supaya kelak tidak terjadi hal demikian. Namun, sebagai masyarakat yang berbudi luhur, jangan sampai kita melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja.
Kita juga perlu memahami, bahwa motif pimpinan pesantren dalam penyelenggaraan pesantren sangat berbeda dengan pengusaha, yang berorientasi kepada keuntungan semata. Namun, terkadang karena minimnya dukungan pemerintah, mereka sering memikul beban ganda, baik sebagai pendidik, pengelola, hingga menjadi fundraiser.
Ketidaksesuaian administratif bukan selalu bentuk pelanggaran, namun juga menjadi refleksi akan kegentingan sosial. Sebagai warga negara yang bijak, seharusnya melihat pesantren bukan hanya sebagai objek hukum, namun sebagai mitra pembangunan pendidikan dan moral bangsa. Karena betatapun, eksistensi dari pesantren sudah berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa, bahkan sebelum republik ini berdiri.
Dengan segala rasa duka yang mendalam, kami turut merasakan kesedihan yang dialami keluarga korban maupun pesantren. Ketika negara tidak sepenuhnya hadir, pesantren secara mandiri mengambil peranan itu dengan segala keterbatasan. Maka terkadang kegagalan administratif bukan karena niat melanggar hukum, tetapi karena ketimpangan antara kebutuhan riil dan dukungan struktural.
Solusinya bukan dengan menyalahkan salah satu pihak,tetapi membangun kolaborasi antara negara dan pesantren di mana hukum menjadi panduan, dan kemanusiaan menjadi dasar.
Semoga kritik-kritik yang membangun akan terus diberikan kepada pesantren, demi melanjutkan keistiqamahan dalam membangun cita-cita Indonesia. Juga semoga ke depan hal-hal seperti ini dapat dihindari sebagai bukti nyata bahwa antara pemerintah dan masyarakat bersatu padu dalam kontribusi positifnya membangun Indonesia tercinta.

