Beras di Negeri Agraris

Oleh rambak.co
21 Juli 2024, 11:00 WIB

Defisit pangan di Indonesia memprihatinkan mengingat Indonesia adalah negara agraris yang memiliki sumber daya lahan yang luas. Menurut BPS (2020) luas lahan pertanian di Indonesia adalah 889. 823.929 hektar mampu memproduksi beras. Produktivitas lahan pertanian ratarata sebesar 5 sampai 7 ton padi per hektar. Dalam proses produksi beras terdapat risiko kehilangan dan risiko gagal panen, sehingga jumlah beras yang didapatkan dilapangan tidak selalu sesuai yang diharapkan. Luas lahan 889 juta hektar adalah jumlah yang besar, tetapi data BPS menunjukan bahwa produksi padi dalam negeri berada diangka 31.313.034,46 ton per tahun.

Hal ini yang kemudian menjadi evaluasi agar pemerintah lebih berpihak kepada rakyat. Bahwa impor beras tidaklah perlu untuk dilakukan. Mengingat banyak sekali luasan lahan yang mampu untuk menopang produksi beras dalam negeri pada 2020. Semakin banyak pemerintah mengimpor beras, maka menjadikan harga gabah ditingkat petani menjadi murah, karena supplay beras di pasaran tidak berasal dari dalam negeri. Selain itu, kendala mahalnya biaya produksi beras dalam negeri menjadikan petani makin terpuruk dan jumlah petani menurun.

Mengimpor beras adalah cara instan untuk mengendalikan harga beras dipasar agar tercukupi dan mudah dijangkau oleh kosumen. Tetapi, bukan berarti hal ini terus diterapkan. Mengimpor beras secara terus menerus justru menjadikan Indonesia kurang kompetitif dalam persaingan untuk saat ini dan dimasa yang akan datang.

Impor beras yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah krisis pangan, karena bersifat teknis. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat bahwa sepanjang 2023, pemerintah melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton, meningkat 613,61% dibandingkan 2022. Selama Januari 2024, sudah dilakukan impor yang nilainya mencapai USD 279,2 juta. Angka tersebut melonjak sebesar 135,12% secara tahunan dibandingkan Januari 2023 yang sebesar USD 118,7 juta,

Tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia yang diperkirakan 35,3 juta ton per tahun, secara hitungan jumlah pasokan dari produksi dan impor sudah mencukupi kebutuhan. Hanya saja yang terjadi sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak menyentuh akar masalah karena bersifat teknis.

Menurut Gunawan (2001) impor beras telah terjadi sejak kemerdekaan yaitu pada 1945 sampai 1960. Jumlah impor beras sekitar 0,3 hingga 1 juta ton per tahun. Impor beras di Indonesia berkaitan dengan kebijakan pangan yaitu kebijakan tentang ketahanan pangan nasional yang harus dicapai. Kebijakan yang dicanangkan antara lain gerakan mengganti beras dengan jagung dan membuat tiga badan pemerintah yang mengurus perihal pangan.

Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu mengimpor beras mulai dari tahun 2000 hingga saat ini. Membatasi dengan melihat 10 tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras. Sementara, pada tahun 2016 sampai 2017 pemerintah Indonesia sementara berhenti untuk mengimpor beras dikarenakan pada waktu itu Indonesia sedang mengalami surplus beras. Pada tahun 2018 Indonesia kembali mengimpor beras.

Impor beras pada tahun ini menjadi impor yang paling banyak dilakukan. Pemerintah mengungkapan alasan dilakukannya impor yaitu untuk memenuhi stok CBP Bulog serta antisipasi dampak fenomena el nino yang dapat menyebabkan kebutuhan beras nasional berkurang, adanya gagal panen pada februari sebanyak 820.000 ton akibat dampak La Nina dan potensi gangguan produksi akibat El Nino. selain itu, bulog tak mampu menyerap gabah atau beras petani secara optimal lantaran harganya yang tinggi – dikutip dari unnes.ac.id “krisis-impor-pangan-di-negeri-agraris”.

Stabilitas pangan dan harga belum tercipta dengan baik di indonesia jumlah produksi produk pertanian dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi konsumsi makanan yang pesat sehingga mendorong impor terus menerus dari berbagai negara. Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, pengelolaan lahan pertanian yang masih tradisional serta jumlah petani diindonesia yang mulai berkurang sehingga sulit untuk memenuhi jumlah permintaan dari banyaknya konsumen.

Dunia sedang mengalami kemarau pangan yang panjang, akibat berbagai faktor seperti perubahan iklim, konflik, dan pandemi. Indonesia pun tidak luput dari dampaknya, yang terlihat dari ancaman kelangkaan beras sebagai tumpuan pangan. Pemerintah melakukan impor beras dalam jumlah besar untuk menambah stok pangan di dalam negeri. Ironisnya, di tengah guyuran importasi beras yang sedemikian besar, harga tidak kunjung turun.

Tidak cukup hanya sekedar mencari pangan alternatif, karena sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi utamanya adalah beras. Ibarat orang Eropa yang terbiasa menjadikan roti sebagai makanan utama, tidak bisa serta merta menggantinya menjadi makanan pokok lainnya. Demikian juga dengan impor beras, bukanlah solusi jangka panjang.

Di satu sisi, pemerintah hanya berusaha menyelesaikan simtom gejolak harga, tetapi tidak menyelesaikan penyebab kenaikan harga. Cara pandang yang hanya melihat persoalan ini di tataran teknis—bukan problem sistemis dan ideologis—menjadi penyebab masalah ini tidak kunjung teratasi. Penyebab krisis pangan di antaranya adalah lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, jalan tol, dan infrastruktur lainnya. Lahan pertanian semakin menyusut menyebabkan produksi pertanian juga ikut turun.

Kerdilnya peran negara dalam menjaga, dan menyejahterakan petani. Untuk menghasilkan produksi beras berkualitas, petani membutuhkan bibit, pupuk, pengairan, dan sarana produksi pertanian yang memadai. Semua ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, negara mengabaikan peran tersebut. Biaya produksi beras yang tinggi tidak sebanding dengan hasil penjualan gabah.

Pada akhirnya, banyak petani menjual sawahnya karena tidak kuat menahan kerugian ketika panen raya. Masalah ini jelas membutuhkan negara dalam memenuhi kebutuhan petani agar bergeliat kembali. Negara bisa memberi subsidi, pemberian gratis, atau pembelian alat-alat produksi pertanian dengan harga murah dan terjangkau..

Tidak sampai disitu saja, pemerintah harus tegas memberantas mafia pangan. Saat ini pasar beras Indonesia makin menguat ke arah oligopoli akibat lebih dari 80 persennya dikuasai segelintir pengusaha, sementara pemerintah lewat Bulog kurang dari 20 persen. Hal ini menyebabkan harga beras tidak terkendali dan tidak sesuai dengan mekanisme pasar yang sehat – unair.ac.id “beras-hanya-simtomatik-tanggal 7/3/2024

Kebijakan pengendalian harga harus dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Negara harus melarang penimbunan, penipuan, praktek tengkulak, kartel, dan monopoli.

Artikel Terkait