Pemberian HGU 190 Tahun untuk Investor IKN, Kado Pahit HUT 79 RI

Oleh rambak.co
24 Juli 2024, 14:23 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan aturan pemberian insentif kepada calon investor dalam bentuk hak guna usaha (HGU) lahan hingga 190 tahun di Ibu Kota Nusantara (IKN) bertujuan untuk menarik investasi sebesarnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Presiden Jokowi menjelaskan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) memiliki kewenangan untuk memberikan hak guna usaha (HGU) lahan kepada investor selama 190 tahun yang turut membangun layanan dan fasilitas pendukung di IKN-dilansir dari kantor berita Antara,

Menanggapi hal tersebut, dilansir dari www.dpr.go.id tanggal 15/7/2024, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menyoroti kebijakan Pemerintah yang memberikan izin kepada investor dapat memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) di Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga 190 tahun untuk dua siklus. Pemerintah dinilai abai terhadap kepentingan rakyat.

“HGU diobral sampai 190 tahun, ini namanya IKN for sale. Hongkong saja untuk pemberian HGU cuma 99 tahun, itupun belum banyak yang masuk,” Untuk diketahui, pemberian HGU sampai 190 tahun untuk dua siklus bagi investor ditandai dengan ditandatanganinya aturan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diteken Presiden Joko Widodo

Dalam 9 ayat (1) beleid tersebut, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) dapat memberikan jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah melalui 1 siklus pertama. OIKN dapat memberikan perpanjangan kembali di siklus kedua kepada pelaku usaha atau investor, yang dimuat dalam perjanjian.

“Hal ini jelas semakin menunjukkan keberpihakan Pemerintah terhadap pemilik modal, memanjakan investor, dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas”

Secara lebih rinci, aturan itu mengizinkan jangka waktu untuk HGU bisa diberikan kepada pihak swasta hingga 95 tahun pada siklus pertama. Perpanjangan untuk siklus kedua juga diberikan untuk jangka waktu 95 tahun. Dengan demikian, HGU yang bisa diberikan kepada pemodal di IKN bisa mencapai 190 tahun.

Politisi Fraksi PKS ini menilai pemberian penguasaan atas tanah bagi investor di IKN Nusantara sudah seperti penjajahan Belanda di Indonesia yang waktunya mencapai ratusan tahun. “Penjajah Belanda saja sangat menjaga administrasi pertanahan. Peruntukannya mesti sesuai,” ucapnya.

Dua siklus perpanjangan juga berlaku untuk hak atas tanah dalam bentuk hak pakai atau hak guna bangunan (HGB) di IKN. Pada awalnya hak pakai di IKN akan diberikan selama 80 tahun.

Pemegang konsesi kemudian dapat mengajukan perpanjangan untuk periode 80 tahun kedua berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi. Artinya, konsesi yang diberikan dalam hal HBG mencapai 160 tahun. “Mestinya semua dijaga untuk kepentingan jangka panjang, jangan jangka pendek,” tegas Mardani.

Legislator dari Dapil DKI Jakarta I pun menyebut aturan soal penguasaan tanah di IKN bertentangan dengan konstitusi. Mardani mengingatkan prinsip hak menguasai negara terhadap Bumi, Air, dan Ruang Angkasa serta prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi diatur Pasal 33 UUD 1945.

“Hal ini jelas semakin menunjukkan keberpihakan Pemerintah terhadap pemilik modal, memanjakan investor, dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas,” ungkapnya.

Kebijakan konsesi di IKN juga disebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi. “Putusan MK tersebut menyatakan prinsip perpanjangan hak atas tanah semacam itu bertentangan dengan konstitusi,” tutur Mardani.

Lebih lanjut, regulasi hak atas tanah yang memberi investor konsesi hingga ratusan tahun disebut akan semakin melebarkan ketimpangan penguasaan lahan. Mardani menilai yang nantinya paling terdampak adalah masyarakat yang selama ini termarjinalkan atau terpinggirkan.

“Seperti masyarakst adat, para petani, dan nelayan. Aturan HGU dan HGB di IKN melegalkan monopoli tanah oleh pihak swasta. Bayangkan pengusaha menguasai tanah sampai hampir 2 abad,” ujar Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan Pemerintahan Dalam Negeri, Pertanahan dan Reforma Agraria itu.

Padahal, menurut Mardani, UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria secara jelas meminta Pemerintah mencegah praktik monopoli swasta. “Kalau kaya gini terus kapan masyarakat adat, petani, nelayan, dan masyarakat kecil di Kalimantan bisa punya akses atas tanah? Mereka akan terasing di tanahnya sendiri,” tukas Mardani.

Aturan HGU sampai 190 tahun dan HGB hingga 160 tahun pun disebut Mardani bertentangan dengan reforma agraria yang selama ini digaung-gaungkan Pemerintahan Jokowi. “Maksud dari reforma agraria itu kan salah satunya untuk menghindari ketimpangan lahan. Dengan aturan ini, janji Pemerintah Jokowi soal reforma agraria hanyalah tinggal sekadar janji,” pungkasnya.

penetapan pemberian HGU hingga 190 tahun membuktikan politik agraria yang dikembangkan pemerintah masih watak korporasi. Tidak ada dimensi kerakyatan dari kebijakan jelang akhir masa jabatan Jokowi ini.

Kebijakan itu jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria yang selama ini digaungkan pemerintah. Reforma agraria muncul untuk mengurangi ketimpangan struktur agraria yang terjadi. Alih-alih mendekati, kebijakan itu justru menjadikan cita-cita reforma agraria jauh dari harapan.

Kebijakan keluar jelang perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia. Hakikat kemerdekaan sejatinya berakhirnya ketimpangan penguasaan sumber daya menjadi lebih adil dan merata. Kebijakan ini, katanya, mengingkari itu.

Dengan kata lain, perpres itu kado paling pahit menjelang perayaan 79 tahun Kemerdekaan Indonesia.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (Sekjen KPA) dilansir dari mongabay.co.id tanggal 2024/07/18 menilai, pemberian konsesi hingga hampir dua abad itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan demokrasi.

“Itu dilakukan secara diam-diam dan menerabas aturan di atasnya,” katanya dalam keterangan kepada media.

Pola sama sebenarnya sudah pemerintah dan DPR lakukan ketika secara ‘senyap’ menyetujui revisi UU IKN dengan memasukkan ketentuan pemberian HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun demi menarik investor.

Aturan ini, katanya,  yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Pemerintah (PP)/12/2023 tentang pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di IKN pada 6 Maret 2023.

Bagi KPA, PP dan perpres ini sebagai bentuk ketidakpahaman pemerintah terhadap sejarah kelam agraria bangsa ini melalui Agrarische Wet 1870. KPA sejak jauh-jauh hari sudah mengingatkan, kebijakan itu sangat berbahaya dan dinilai melenceng jauh dari konstitusi dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Dewi katakan, UUPA 1960 mengatur HGU maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, jauh lebih singkat dibanding yang diberikan rezim Jokowi.

UUPA 1960 juga mengatur perpanjangan HAT, hanya bisa selama masih memenuhi syarat, sebagaimana diatur dalam UUPA 1960. Yang terjadi pada Perpres 75/2024, katanya,  tidak demikian karena memberikan kesempatan perpanjangan dan pembaruan hanya dalam satu kali siklus.

Sebagai payung hukum agraria nasional yang sampai saat ini masih berlaku, UUPA 1960 merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Pasal 33 UUD 1945 juga Manifesto Politik Republik Indonesia. Alih-alih menjalankan amanat secara konsekuen, katanya, pemerintah justru mem-peti es-kan UUPA 1960 dengan menerbitkan aturan lebih pro pemodal.

Dalam peraturan ini, katanya, pemerintah juga memberikan keistimewaan investor dalam bentuk pembebasan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), alias tarif 0%. “Secara tegas, kami menilai pemberian HGU dan HGB yang hampir dua abad itu melanggar konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria.”

Celakanya, dengan durasi konsesi begitu panjang, ketentuan mengenai pencabutan atau penghapusan hak sama sekali tidak diatur, dalam PP 12/2023 maupun Perpres 75/2024.

Padahal dengan pemberian konsesi begitu fantastis, seharusnya tata-cara pencabutan hak dan, atau pemberian sanksi makin jelas dan tegas.

“Ini seperti zaman Orde Baru yang mem-peti es-kan UUPA sebagai modus politik untuk menerbitkan UU sektoral pro pemodal. Presiden dan DPR saat ini seperti penjelmaaan Orde Baru karena jelas-jelas mengabaikan keberadaan hukum agraria tertinggi setelah UUD 1945, yang masih hidup di republik ini,” kata Dewi.

gambar kemenparekraf.go.id

Langkah pemerintah memberi konsesi sebegitu panjang itu juga melanggar Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka. Putusan MK ini, katanya,  berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Ditambahkan oleh Margaretha Seting Tekwan Beraan, Ketua Dewan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, dilansir dari mongabay.co.id tanggal 2024/07/18, mengatakan, sejak dulu, HGU atas lahan dengan berbagai macam konsesi di Kaltim ini sudah merampas wilayah adat.

“Negara (ibaratnya) meminjamkan tanah orang (masyarakat) kepada perusahaan, sudah selesai pinjam ya dikembalikan. Jangan dialihfungsikan lagi, atau memperpanjang.”

Kebijakan baru dengan HGU masa selama itu– bisa melalui 38 kali pergantian kepemimpinan dalam pemilihan umum—, katanya, sebagai upaya-upaya terselubung pemerintah untuk penghapusan keberadaan masyarakat adat.

“Asumsi saya, ada niat peniadaan masyarakat adat di dalam lokasi IKN. Bahkan ada niat peniadaan keberadaan mereka dan hak-hak mereka. Hingga, peraturan-peraturan itu seolah-olah pokoknya yang penting IKN-nya (terbangun), masyarakatnya nggak penting, mereka mau dipindah, diapain yang nggak kepikir (dipikirkan).”

Seharusnya, pemerintah memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang sudah turun menurun hidup di sana. “Orang yang duluan menguasai, menggarap lahan itu dan punya hak kewilayahan dari awal-awal.”

‘HAT’, dalam konteks wilayah adat, katanya, seharusnya diberikan kepada masyarakat adat secara permanen atau tetap. Ini berkaitan pada sejarah turun temurun yang seharusnya tetap menjadi hak mereka.

Bukan sebaliknya, IKN datang, hak-hak lahan buat investor.  “Inilah yang tidak boleh, tiba-tiba IKN datang langsung rampas, langsung pindah, harus ada penghormatan terhadap masyarakat adat,” katanya.

Tak ada penghormatan hak-hak masyarakat adat ini, kata Margaretha adalah kemunduran bagi pembuat kebijakan. Terutama cara pandang negara terhadap warga.

Regulasi, katanya, seharusnya mengedepankan aspek (HAM). Nilai-nilai penghormatan kepada masyarakat adat juga perlu menjadi perhatian.

 

 

Artikel Terkait