Jual Beli Pulau di Indonesia Semakin Marak

Oleh rambak.co
24 Juli 2024, 12:31 WIB

Jual Beli Pulau di Indonesia semakin marak

BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) mengungkapkan adanya privatisasi dan jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia yang semakin marak. Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, menyatakan bahwa hingga akhir tahun 2023, tercatat lebih dari 200 pulau telah diprivatisasi dan diperjualbelikan. Data ini diperoleh dari sejumlah organisasi nirlaba yang memantau situasi tersebut. “Sebagian besar dari 200 pulau tersebut berada di DKI Jakarta dan Maluku Utara,” ungkap Athiqah dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (15/7), seperti yang dilaporkan oleh Antara.

Dampak Negatif Industri Ekstraktif

Selain privatisasi, Athiqah juga menyoroti dampak negatif dari industri ekstraktif yang beroperasi di pulau-pulau kecil. Industri ini mencakup pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran yang merugikan masyarakat pulau kecil dan pesisir di Indonesia. Menurut Athiqah, kegiatan industri ekstraktif ini bisa menyebabkan pulau kecil tenggelam, menunjukkan kerentanan yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. “Kerentanan ini bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi juga oleh aktivitas industri ekstraktif,” tegas Athiqah.

Proyek Hilirisasi dan Ekspansi Pertambangan

BRIN mencatat bahwa beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan kegiatan industrialisasi, termasuk proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, serta pertambangan biji besi dan tambang emas di Sulawesi Utara. Athiqah menilai, proyek-proyek ini berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau-pulau kecil. “Dampak lingkungan dari kegiatan ini sangat jelas, seperti pencemaran logam berat di sungai-sungai sekitar pabrik, khususnya di pertambangan nikel yang menyebabkan pencemaran air, udara, serta hancurnya hutan,” kata Athiqah.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Aktivitas industri ekstraktif ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat setempat. Ruang hidup mereka terancam, ditandai dengan semakin terbatasnya akses masyarakat untuk melaut dan menghidupi keluarga mereka. Athiqah menekankan pentingnya refleksi dan evaluasi peraturan sebelum mengambil tindakan, seperti yang terjadi baru-baru ini di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Perlindungan Pulau Kecil

Athiqah mengingatkan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. “Regulasi tersebut seharusnya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam, serta menjaga sistem ekologi secara berkelanjutan,” ujar Athiqah.

Pernyataan Athiqah ini menyoroti urgensi bagi para pemangku kepentingan untuk meninjau kembali kebijakan dan tindakan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Hal ini demi memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tidak merugikan masyarakat lokal dan lingkungan, serta tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan.​

Terjadinya praktek-praktek jual beli pulau pulau kecil di Indonesia yang banyak terjadi melalui media-media online, dimana praktek jual beli pulau-pulau kecil ini juga melibatkan pihak asing juga, hal ini adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, karena pulau-pulau kecil ini tidak dapat diperjual belikan baik kepada warga negara Indonesia maupun kepada warga negara asing atau badan hukum asing. Pulau-pulau kecil tersebut hanya dapat diberikan hak pakai dan hak sewa. Terhadap perjanjian-perjanjian jual beli pulau-pulau kecil tersebut sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan bilamana ada salah satu syarat saja yang tidak dipenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan dan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau perjanjian batal demi hukum. Dalam konteks jual beli terhadap pulau-pulau kecil di Indonesia ini dilakukan melalui media online atau situs-situs website, perbuatan ini dapat dijerat secara pidana sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sebenarnya bagaimana aturan kepemilikan dan pengelolaan/pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia? Terkait pengelolaan, pada prinsipnya pengelolaan pulau-pulai kecil di Indonesia diutamakan untuk konservasi. Dilansir dari laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian KKP, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Aryo Hanggono, mengungkapkan persentase peruntukan ruang terbuka hijau atau konservasi bahkan mencapai 51 persen dari total luas pulau.

“Satu pulau itu paling sedikit 30 persen dikuasai langsung oleh negara dan paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Dari 70 persen itupun pelaku usaha wajib mengalokasikan 30 persen untuk ruang terbuka hijau, artinya hanya 49 persen dari luas pulau yang boleh. 51 persen akan dikonservasi,” terang Aryo dalamketerangan pers. (Baca: KKP Jamin PP 27/2021 Beri Kemudahan Usaha Perikanan Tangkap)

Sebagai tambahan, merujuk Pasal 16 UU No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disitu ditegaskan bahwa ‘setiap orang’ yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian ruang dari sebagian Perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin Lokasi. Izin lokasi dimaksud, akan menjadi dasar dari pemberian izin pengelolaan.

Terbaru, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan: a. produksi gararn; b. biofarmakologi laut; c. bioteknologi laut; d. pemanfaatan air laut selain energi; e. wisata bahari; f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

Adapun Perizinan Berusaha untuk kegiatan selain sebagaimana dijabarkan di atas diatur akan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bila terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Ciptaker, maka selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka penanaman modal asing, Pasal 26A UU Ciptaker juga menggariskan bahwa dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal. Bila penanaman modal asing tersebut tak memiliki perizinan berusaha sebagaimana digariskan Pasal 26A, dan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi ruang, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 73A UU 11/2020).

Bagaimana terkait kepemilikan? Dalam penjelasannya, Aryo menegaskan syarat pertama dalam kepemilikan bidang pulau di Indonesia adalah harus berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), dan itupun harus jelas sertifikat kepemilikannya secara hukum. Selain itu, kendati WNI bisa berlaku sebagai pemilik bidang tanah pulau, Ia juga harus konsisten dengan persentase area konservasi di pulau yang dimiliki – hukumonline.com tanggal 13/03/2001.

Adapun Sertifikat kepemilikan dimaksud, dijelaskan Aryo dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sementara kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, berada di wilayah pengelolaan perairan di sekitar pulau tersebut. Dalam artian singkat, sertifikat kepemilikan atau hak atas tanah (dataran) dibawah wewenang Kementerian ATR/BPN, wilayah laut oleh Kementerian KKP.

Menurut data Pusat Survei dan Pemetaan TNI, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.508 pulau dan baru 5.707 pulau yang memiliki nama. Angka ini kemudian dikoreksi oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang melakukan pemantauan via satelit dan menemukan angka 18.306 pulau di dalam wilayah teritorial Indonesia. Dalam catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan sekitar 10 tahun lalu (lihat Gatra, edisi khusus 17 Agustus 2005), terdapat 92 pulau yang kondisinya rawan, yakni terancam tenggelam dan diambil negara lain. Bahkan, ada 12 pulau terluar yang bila dibiarkan akan bernasib sama seperti pulau Sipadan dan Ligitan yang diklaim dan kemudian berpindah kepemilikan ke Malaysia. Kedua belas pulau ini adalah pulau Rondo (berbatasan dengan Thailand), Sekatung (berbatasan dengan Vietnam), Nipa (berbatasan dengan Singapura), Berhala (berbatasan dengan Malaysia), Marore, Miangas, dan Marampit (berbatasan dengan Filipina), Batek (berbatasan dengan Timor Leste), Dana (berbatasan dengan Australia), Fani, Fanildo, dan Bras (berbatasan dengan Palau).

Harus diakui bahwa pengawasan terhadap pulau-pulau ini memang membutuhkan energi dan biaya yang besar. Upaya segelintir orang untuk menjual kepemilikan suatu pulau ke pihak lain, apalagi ke warga negara atau perusahaan asing, menunjukkan lemahnya sisi pengawasan tersebut. Seharusnya penjualan pulau-pulau itu tidak boleh terjadi (the island is not for sale). Terlepas dari itu, dalam kaca hukum menarik untuk dipertanyakan adalah apakah penjualan pulau kepada pihak asing itu dapat dibenarkan?

Penjualan pulau-pulau itu tidak dapat dibenarkan dan harus dihentikan segera. Hal ini karena, pertama, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kata “bumi dan air dan kekayaan alam” dan “dikuasai oleh negara” mengandung arti dan merujuk kepada bahwa pulau-pulau di Indonesia pemilik sesungguhnya adalah negara, sehingga tindakan menjual pulau kepada pihak asing khususnya tidak dapat diterima secara konstitusional. Kedua, Pasal 21 UU No. 25 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau lazim disebut UUPA, dengan jelas telah melarang pihak asing untuk memiliki tanah atau pulau dalam wilayah Indonesia. Dengan dasar ini juga, maka tertutuplah sudah pihak asing untuk memiliki dan menguasai pulau di Indonesia. Artinya, pihak asing yang berkehendak membeli pulau apabila ditinjau dari aspek hukum pertanahan adalah tindakan bertentangan dengan hukum. Ketiga, kepemilikan pulau kecil secara pribadi—khususnya dengan pihak asing—di dalam wilayah Indonesia adalah tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36, 37, 42, 43, 44 dan 45 dari UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU ini juga ditetapkan bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau adalah milik publik dan tidak dapat diperjualbelikan. Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan riset, pendidikan, dan wisata bahari. Keempat, dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kepemilikan pulau oleh pihak asing, maka pelanggarnya dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah yang mengatur bahawa tindakan pengurangan maupun penghilangan luas wilayah teritorial negara adalah tindakan dilarang oleh UU ini dan sanksi atas pelanggarannya dapat dipidana selama-lamanya 10 tahun dan denda 10 miliar.

Dengan memperhatikan dasar-dasar hukum tersebut diatas tentang dilarangnya pihak asing memiliki dan menguasai pulau-pulau di Indonesia, sesungguhnya, di dalam sudut pandang pengaturannya sudah jelas. Artinya, tidak ada lagi perdebatan tentang dapat dan tidaknya pihak asing khususnya membeli pulau di Indonesia, tetapi yang terpenting adalah peranan pemerintah (baik di pusat dan daerah) seharusnya lebih proaktif dan antisipatif di dalam menjaga dan sekaligus merawat pulau-pulau kecil dan terluar karena semuanya itu adalah bagian dari upaya menjaga kedaulatan bangsa dan membingkainya dalam naungan NKRI. Untuk itulah, sudah waktunya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman [Menko Kemaritiman] dapat menjadi sebagai koordinator terdepan dalam penanganan masalah ini dan bekerja sama dengan kementrian terkait, seperti : Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP], Kementrian Dalam Negeri [Kemendagri], Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi [KDPT] dan dan Tentara Nasional Indonesia [TNI] untuk dapat menegakan aturan-aturan [law enforcement] yang telah dikeluarkan tersebut di atas bersama-sama sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Artikel Terkait