Jurus Kucing Mati di Atas Meja

Saat sedang jalan-jalan, Wira Makbleng mendengar riuh keramaian dari balik pohon beringin besar. Suara orang berteriak, bergemuruh, bercampur dengan bunyi kentongan yang dipukul bertalu-talu. Wira dengan langkah malas tapi penuh rasa ingin tahu, berjalan ke belakang pohon berusia lebih dari 32 tahun itu.

Oleh Athar Fuadi
22 September 2025, 11:02 WIB

Saat sedang jalan-jalan, Wira Makbleng mendengar riuh keramaian dari balik pohon beringin besar. Suara orang berteriak, bergemuruh, bercampur dengan bunyi kentongan yang dipukul bertalu-talu. Wira dengan langkah malas tapi penuh rasa ingin tahu, berjalan ke belakang pohon berusia lebih dari 32 tahun itu.

Di kejauhan, terlihat ratusan orang berkumpul di halaman rumah Lurah Bagong. Massa dengan wajah legam karena terik matahari dan suara serak akibat teriak-teriak, membentangkan spanduk. Tulisan besar terbaca jelas: “Harga Beras Naik, Tunjangan Pegawai Kok Ikut Naik?”

Sejak dilantik, Lurah Bagong memang belum mampu membuat rakyat percaya padanya. Kebijakan awalnya saja sudah bikin kepala warga pening. Ada program “Makan Berguru Gratis” yang aneh karena isinya cuma singkong rebus bertabur keju. Katanya, siswa harus mulai makanan khas daerah dipadukan dengan makanan khas eropa agar menjadi generasi kuat seperti orang timur dan cerdas seperti orang barat. Namun, program itu hingga kini belum dapat dirasakan oleh semua siswa di desa Karangkadempel. Yang ada malah keluhan sakit perut.

Lalu keputusan kontroversial membebaskan beberapa koruptor kelas kakap dengan alasan “demi rekonsiliasi”; dan kini, gaji pegawai dinaikkan di tengah ekonomi yang terpuruk. Belum lagi rumor keterlibatannya di operasi penculikan aktivis masa lalu—semua itu menambah noda hitam dalam profilnya.

Kali ini bukan hanya laki-laki dewasa saja yang melakukan demo. Pemuda karang taruna, ibu-ibu PKK, kelompok tani, sampai anak-anak berseragam sekolah ikut berdiri di barisan depan . Warga dari desa sebelah pun satu per satu berdatangan untuk melihat dari kejauhan aksi massa tersebut. Wira Makbleng mengamati dengan teliti kumpulan gejolak emosi di halaman yang lumayan luas itu. Matanya tajam menghitung siapa saja tokoh penting dari kerumunan itu. Dari gerakan tangan, dan teriakan komando, ia tahu siapa yang menjadi otak perlawanan.

Ia juga mengamati gerak-gerik pemuda karang taruna yang berbeda-beda. Di barisan depan mereka tak henti-hentinya melontarkan makian, di bagian tengah penuh ekspresi takjub akan banyaknya peserta aksi, dan di bagian belakang duduk-duduk santai, sesekali berdiri melongok ke depan untuk melihat keadaan. Seakan-akan tidak ada kesamaan visi dan tujuan di antara mereka. Adanya anak-anak sekolah ikut demo pun aneh di mata Wira. Bukannya bisa membantu malah jadi membahayakan dan menambah beban.

Setelah puas mengamati, ia duduk bersila di bawah beringin. Mata dipejamkan, kedua telapak tangan bertemu lalu bergerak lurus ke atas kepala. Nafasnya ditarik dalam, lalu dilepas perlahan. Sejak muda, Wira beberapa kali menghadapi situasi huru-hara seperti ini. Ia dikenal sebagai pendekar bayangan karena mampu membunuh tanpa menyentuh, bahkan tanpa berhadapan langsung dengan musuh sebanyak apapun. Konon, ia pernah berguru pada petapa sakti dari tanah seberang. Dari sana ia mendapat warisan ilmu tenaga dalam: Jurus Kucing Mati di Atas Meja. Nama jurus itu memang terdengar konyol. Banyak yang meremehkan, mengira cuma guyonan. Tapi nyatanya ampuh untuk nyirep kerumunan orang menjadi berangsur-angsur tenang, dan menghilang..

Dengan hentakan kecil, ia alirkan tenaga dalam ke telapak tangannya lalu dihentakkan ke tanah. Makbleng! Sekejap, hawa aneh menyebar ke kerumunan massa. Teriakan tuntutan tiba-tiba tercekat. Dari tengah kerumunan terdengar jeritan histeris, “Hiii, bangkai! Jorok!”

Ibu-ibu PKK langsung mundur sambil menutup hidung. Di tanah, entah dari mana, muncul bangkai kucing yang bulunya sudah rontok separuh. Mata kosongnya melotot, lidah terjulur, dan baunya menusuk sampai membuat beberapa orang muntah di tempat. Mereka yang tadi garang menuntut lurah, kini sibuk ribut soal asal-usul bangkai itu. Ada yang curiga dilempar orang, ada yang bilang mati terinjak. Sebagian warga ingin segera menguburnya, sementara yang lain berdebat soal siapa yang harus bertanggung jawab.

Anak-anak sekolah justru paling heboh. Alih-alih menghindar, mereka menjadikan bangkai itu mainan. Ada yang menendang, ada yang melempar seperti bola. Gelak tawa mereka menambah ricuh suasana. Satu kali lemparan mengenai badan seorang pemuda karang taruna, dan spontan balasan teriak makian pun meluncur.

Artikel Terkait