Kota dan Kebisingan

Oleh Joko Priyono
13 Oktober 2025, 11:42 WIB

Wildan Yatim, sosok yang lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara pada 11 Juli 1933 itu barangkali contoh yang bagus ketika membincang sains dan sastra sebagai satu garis linier dan sekutub. Sebab, banyak dari kita acapkali masih terjerembab bahwa di antara keduanya menempati kutub yang berbeda. Hal ini tak lepas dari uraian yang pernah diungkapkan oleh sastrawan dan ahli fisika Inggris, C. P. Snow saat menyampaikan ceramah berjudul “The Two Culture” (1958) di Universitas Cambridge.

Kala itu Snow menganggap bahwa ada dua peradaban antara ilmu alam dan humanisme yang tak tahu menahu. Keduanya saling mencurigai antara satu dengan lainnya. Perdebatan itu kiranya masih belum berakhir pada abad XXI, untuk beberapa kalangan—yang akhirnya alih-alih menuju transdisiplin, namun kita berada pada pusaran mencari mana yang superior dan mana yang inferior.

Kembali lagi pada Wildan Yatim, perlu Anda ketahui secara pendidikan ia mengambil peminatan biologi sejak sarjana di Institut Teknologi Bandung, magister di Universitas Hongkong, dan gelar doktor didapatkannya dari Universitas Padjajaran. Walaupun terlihat dominan pada sains, rupanya dalam aspek karya tulisannya, ia justru lebih awal berkarya untuk kesusastraan. Terbukti dengan cerita pendeknya berjudul “Surau Baru” mendapatkan penghargaan dari Majalah Horison pada 1969.

Selain itu, sederet cerita pendek lainnya pernah ditulis olehnya. Dalam lajur kesusastraan, tatkala membincang ia, kita tak akan bisa lepas dengan novel garapannya yang berjudul Pergolakan (Pustaka Jaya, 1974). Novel yang berlatar tempat di Sumatera Utara itu mengisahkan seputar pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Wildan Yatim membungkus sederet kisah dalam sastra untuk mengerti motif ideologi dan situasi politik yang terjadi.

Meski begitu, saya ingin mengajak Anda memikirkan Wildan Yatim sebagai seorang ahli biologi. Nama itu dalam kariernya juga sebagai seorang akademikus. Tatkala di ITB, selama 1957-1961 ia menjadi asisten Zoologi. Kemudian pulang ke Sumatera, menjadi dosen biologi di Universitas Andalas, Padang (1961-1965). Di masa tersebut, ia bahkan berkesempatan sampai menjadi dekan di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Setelah itu, ia kemudian balik lagi ke Bandung, menjadi dosen di Universitas Padjajaran (1965-1998). Wildan Yatim kemudian lazim memproduksi buku-buku teks seputaran ilmu biologi.

Mengapa saya ingin membahas Wildan Yatim dari sisi keilmuwannya? Itu tak lepas dari momentum penganugerahan Nobel tahun 2025, yang berlangsung pada tanggal 6-13 Oktober. Hadiah prestise yang diberikan kepada ilmuwan atas jasa pengembangan ilmu pada kemanusiaan. Hadiah itu tak lepas dari wasiat ilmuwan Swedia penemu dinamit, Alfred Nobel atas kekayaannya untuk diberikan pada ilmuwan terpilih sejak tahun 1901 silam.

Perlu kita ketahui, sebenarnya Indonesia pada tahun 2025 melahirkan ilmuwan kondang berasal dari Jawa, bernama Thomas Alva Edi Sound. Temuannya mengenai gelombang suara yang dikemas dalam sajian parade menjadikan banyak orang kagum. Mereka rela datang dan bahkan pamrih membayar, meski harus berdesakan untuk mendengarkan gelombang suara berintensitas tinggi. Meskipun begitu, apa yang dikembangkan Thomas Alva Edi Sound juga membuat resah bagian besar lain dalam masyarakat kita.

Itu sebabnya, Thomas Alva Edi Sound tidak mungkin mendapatkan hadiah Nobel. Hal vital yang dilanggar oleh Thomas Alva Edi Sound adalah pada ranah humanisme dalam ilmu. Kita patut menduga, meski menjadi ilmuwan kondang, Thomas Alva Edi Sound kirannya pada masa sekolah, baik saat pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam maupun fisika—khususnya gelombang bunyi, ia menghindar atau bahkan ketiduran. Yang kemudian terjadi ia mendapati kebodohan akut, bahwa suara keras itu bermasalah bagi telinga.

Hal yang sama, dalam suasana perkotaan, sering kali dalam waktu tertentu kita dibombardir suara rombongan kendaraan dengan knalpot brong untuk misi biar terlihat keren dan mendapat sanjungan dari kalangan publik. Barangkali mereka dan juga termasuk Thomas Alva Edi Sound tak sempat membaca buku-buku terjemahan Tira Pustaka Jakarta dalam serial “Pustaka Ilmu Life”, salah satunya adalah Sound dan Hearing (1980), yang dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Yurita Handoyo (Universitas Katolik Atmajaya) dan R. Soemarsono D (Universitas Indonesia) berjudul Bunyi dan Pendengaran (1981).

Di sana kita mendapatkan keterangan hubungan akan tingkat intensitas bunyi dan gejala permasalahan di perkotaan. Tulisnya begini: “Masih merupakan perdebatan ilmiah apalah tingkat bunyi yang merupakan latar belakang kehidupan rata-rata penduduk kota benar-benar dapat merugikan kesehatan. Masing-masing pihak didukung oleh pendapat-pendapat ilmiah. Menurut C. P. Boner, bekas presiden Paguyuban Akustika Amerika, “Bunyi di kota dalam puncak deraunya dapat menyebabkan gangguan pada peredaran darah, hilangnya pendengaran, kelelahan dan gangguan emosional.” Ahli lainnya lebih memberikan tekanan pada akibat psikologis derau dalam kota.”

Kota dan dampak kebisingan suara ternyata pernah disorot Wildan Yatim dalam artikelnya berjudul “Karena Kebisingan Pembuluh Darah Dapat Mengkerut” di Majalah Intisari edisi 2 Juni 1972. Wildan rupanya telah meyakinkan pembaca jauh-jauh hari secara ilmiah akan derita masyarakat urban atas suara keras. Ia menegaskan: “Pada penduduk kota urat darah itu terus mengerut lama dan sukar sekali untuk dapat mengendur kembali.” Keterangan itu menegaskan suara keras menimbulkan gangguan tekanan darah.

Keras dan tidaknya bunyi, secara ilmiah ditentukan oleh intensitas bunyi dengan satuan desibel. Semakin tinggi tingkat intensitas bunyi, semakin besar pula risiko gangguan pada telinga. Dalam keramaian lalu lintas secara hitungan berada di angka 70 desibel. Konon penemuan Thomas Alva Edi Sound pernah ada pihak yang menghitung intensitasnya di rentang 120-135 desibel, yang itu setara dengan pesawat baling-baling waktu tinggal landas dan tembakan senapan mesin jarak dekat. Tentu saja itu melebihi intensitas batas normal telinga kita, yang standarnya tidak melebihi 70 desibel, dengan pnegasan bahwa memang di 85 desibel, risiko terhadap telinga itu sudah nyata.

Kota dan kebisingan makin menjadi pasangan serasi, saat di mana urusan intensitas bunyi makin tidak diperhatikan. Kota kemudian mempertahankan diri dengan keberterimaannya senantiasa melahirkan berbagai masalah. Di kota, kita bisa meneropong mengapa peraih Nobel tahun 2025 di berbagai bidang keilmuan yang ada sangat kecil peluangnya bagi ilmuwan Indonesia. Ternyata bukan tanpa alasan, sebab sekali melahirkan ilmuwan yang disegani banyak kalangan bernama Thomas Alva Edi Sound, harus diakui justru membawa permasalahan.

Artikel Terkait