Akhir Agustus 2025 lalu, masyarakat Indonesia akrab dengan pagar. Tak lain sebab pagar lebih mudah ditemui daripada anggota dewan. Berhari-hari berhadapan dengan pagar, bukan masalah. Bahkan, beberapa aksi sebelumnya sempat digelar dengan piknik di depan pagar dan gerbang.
Patut kita ingat-ingat peran pagar. Mungkin, sebelum berhadapan dengan pagar, massa aksi perlu berhadapan dengan beton dengan kawat berduri dulu disertai barisan anggota polisi. Itu yang terjadi di depan gedung anggota DPR di ibu kota sana. Mungkin.
Tapi kita juga dapat mengingat, menjadikannya ingatan kolektif, bahwa pagar jauh lebih dekat dan jauh lebih mendengar suara-suara. Ia tidak tidak pernah merasa terlalu bising. Ia juga tidak bergeming saat warga melempari sampah ke gedung DPRD Jabar awal September 2025 kemarin.
Ya, pagar. Kita menyebutnya sebagai batas; pembatas. Dengan batas, kita paham wilayah dan teritorial. Orang jadi memahami, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan; mana yang boleh dan tidak boleh diketahui.
Pagar mengajarkan kita soal rahasia. Sebelum membangun pagar, kita mengenal dinding, baik sebagai bagian dari bangunan maupun sebagai tembok pembatas (benteng).
Ungkapan “dinding itu terlalu tipis” mengisyaratkan rentannya sebuah rahasia diketahui orang lain atau orang banyak (publik). Untuk itulah pagar diciptakan. Ranah publik dan privat jadi makin jelas.
Suara
Soal pagar, tembok, dinding, batas, kita ingat puisi Widji Thukul yang dilaguisasi oleh anaknya, Fajar Merah. Dalam Bunga dan Tembok, kita mendengar “pagar”.
Kau lebih suka/ Membangun rumah merampas tanah/ Kau lebih suka/ Membangun jalan raya membangun pagar besi.
Bukan pagar besi sebagaimana di rumah-rumah, kita menemuinya justru di gedung-gedung pemerintahan. Menjulang tinggi, pagar berwarna hitam “menghiasi” gedung DPR (pusat).
Sering kali, pagar besi di sana tidak hanya membatasi “suara” yang keluar, tetapi juga membendung suara dari luar. Tidak heran jika kegiatan merobohkan pagar saat aksi terbaca sebagai langkah awal agar suara terdengar.
Entah ironi, entah komedi, pagar besi hitam tinggi itu masih dipagari beton lagi di depannya. Katanya, ini sebagai bentuk antisipasi berbagai aksi massa. Kita dapat menduga, ada begitu banyak lapis batas yang penguasa ciptakan.
Kita sangat boleh iri dengan negara maju yang gedung parlemennya tak berpagar. Bahkan, bangunannya dekat jalan raya. Silakan telusuri mesin pencari untuk melihat gambaran-gambaran itu. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, atau Rusia, misalnya.

