Aroma nya yang manis bercampur gurih membumbung menyeruak. Pupil mata mereka melebar, kemudian mulutnya menganga menyulut kata. Sebatang rokok tertancap di sela-sela telunjuk dan jari tengahnya. Bibirnya sengaja ia bikin membentuk bundar, agar asap melambung berbentuk lingkaran. Adalah Rokok. Teman sejati para pecandunya. Di sela-sela hisapan tersirat asa. Asa anak bangsa mendobrak ketidakmungkinan. Termasuk menyoal kemerdekaan.
Rokok barang terkutuk yang menyokong asa anak-anak bangsa. Harganya yang semakin menukik, membikin pecandungnya sering mengumpat. Konon, keberadaan rokok, jadi biang kerok sebab-musabab segala penyakit. Meski rokok harganya terus naik, para penikmatnya terus mencari alternatif agar mulutnya tetap berasap Pelbagai banyak hujatan, rokok nampaknya tak seburuk apa yang kita kira. Sebatang rokok dan seteguh asa menebas penjajahan.
Beberapa foto mengikat masa silam. Para pemuda mengapit sebatang rokok. Mereka nampak tenang dan matanya tajam di temani rokok. Keberadaanya bukan hanya teman untuk bengong bagi konsumen hari ini. Namun, sebatang rokok seperti sebuah energi yang menyulut belereng mudah terbakar, sehingga nampak percikan api yang melambai-lambai, di balik hisapan dan matanya yang tajam.
J.D Legge merekamnya. Gerombolan anak bangsa dengan memasang mimik panik, nampak mereka sembunyikan dengan asap rokok. Di sela-sela asap yang mengepul terbesit imajinasi. Adalah Persatuan dan kesatuan adalah kunci. Bukan sembarang kunci, fiksi itu lahir dari sebuah gagasan. Mafhum, anak-anak bangsa itu, bergumul, berbincang dan berdebat. Syahdan, rokok menemani mereka di sela-sela perbincangan menyigi fiksi nasionalisme.

Empat pria menenteng sebatang rokok. Di depan gedung pengadilan kolonial Belanda, mereka melamun ditemani rokok. Anak bangsa yang ingin merajut nasionalisme harus berhadapan dengan hukum. Mereka menyembunyikan rasa takut yang menjalar sampai ke raut mukanya. Rokok mendorongnya agar tetap tenang. Terjepretlah anak-anak bangsa yang tegar dan berani itu.
Pada tahun 1927 anak-anak bangsa berkelompok sesuai dengan kelir gerakannya masing-masing. Adalah Marxisme, Liberalisme Barat, Islam, Tradasionalisme Jawa, dan Minangkabau. Mereka bergerak menenteng corak kelirnya masing-masing untuk menyuluh ide memandang realitas yang dibelenggu oleh penjajahan.
Pelbagai macam corak itu membikin Soekarno merenung. Dapatkan mereka bersatu dengan alas persatuan, ataukah bergerak di jalannya masing-masing? ‘Kapal yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka adalah kapal persatuan.’ Kurang lebih seperti itu, dalam ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme,’ pada majalahnya sendiri –Indonesia Moeda, saat Soekarno ingin mengikat mereka dalam tali persatuan.
Meski pelbagai macam kelompok di Indonesia nan berwarna-warni itu, Soekarno ingin agar pelbagai macam warna ide atau kelompok pemikiran dapat diikat dalam tali pesatuan. Pada medio 1927, Soekarno menghadiri rapat PNI (Perserikatan Nasional Indonesia). Renungannya muncul di tengah-tengah rapat. Seluruh aliran politik yang singgah di tanahnya, memiliki satu kesamaan. Adalah keinginan untuk ‘merdeka’.
Pada medio 1927 di bulan Desember, bersama Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi dan kelompok studi dr. Sutomo di Surabaya mendapatkan mufakat untuk mendirikan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PPKI lebih mengarah kepada federasi dari pelbagai golongan tanpa ada tuntutan ideologi, kecuali menerima gagasan berjuang merengguh merdeka.
Keberadaan PPPKI menjamur seperti fungi di musim hujan. Soekarno berkeliling dari kota ke kota untuk berorasi menyatukan anak-anak bangsa dari pelbagai kelir ideologi apapun untuk menjemput Indonesia yang merdeka.
Pada medio 1930 kongres kedua PPPKI di Solo, Soekarno bersama Gatot Mangunprja menginjakan kaki di Vorstenlanden untuk berpidato menyoal nasionalisme. Rapat berlangsung hanya semalam. Kemudian iya berlanjut mengjungi Yogyakarta dan singgah di rumah pengacara kondang waktu itu –Mr. Sujudi. Malam yang dingin dan hangat karena perbincangan, orang asing mengetuk pintu.
Gerombolan polisi Belanda menyeret Soekarno dan Gatot untuk di bui ke Bandung. Soekarno yang terlalu lantang itu, membikin bermasalah kuping Belanda. Foto yang dijepret Oleh IPPHOS, pada Desember akhir 1930, memperlihatkan Soekarno beserta pembelanya dan tokoh-tokoh PNI menghadapi jalur hukum, sambil menenteng rokok.
Syahdan, rokok jadi komoditas yang lekat dengan anak-anak bangsa. Komoditas tembakau dan cengkeh yang harumnya begitu khas itu, dapat dengan mudah di tanah di tanah gembur hutan hujan tropis. Mafhum, keberadaan rokok di negeri kita mudah sekali di dapatkan. Bahkan, Nitisemito seorang pebisnis dari Kudus itu, meraup untuk dan jadi salah satu pribumi yang sukses melalui lintingan rokok.
Rokok disukai para pecandunya. Mulai dari lak-laki hingga perempuan, tukang tembak sampai jagal, dan pedagang koran hingga pemikir sekalipun, rokok terselip di saku kumal miliknya, tuk menemani perjalanan terjel hidup mereka.
Dalam Volksalmanak Djawi pada medio 1920, tersirat kisah sukses Nitisemito ketika membikin raksasa bisnisnya. Alur hidupnya dimulai dengan penyangkalan. Ia menolak usulan orang tuanya untuk jadi akademisi. Nitisemito memilih menjadi pedagang, dengan menjual peralatan batik yang di dapatkanya dari kota Solo.
Insting bisnisnya cukup hebat. Usaha yang ia lalui meraup banyak gulden. Ketika ia sedang santai menilik roda bisnisnya yang bergerak menghasilkan uang, Nitisemito menilik pekerja-pekerjanya yang beristirahat dengan menenteng sebatang rokok. Melalui ide itu, Nitisemito menyisihkan sebagian brankasnya uangnya untuk membikin pabrik rokok.
Keberhasilannya terekam di dalam Almanak Djawa 1919. Kemudian di medio 1920, muncul Djohan Djohor, pedagang ulet dari Minang yang punya pengaruh besar dalam perdagangan ritel di tanah Jawa dan Sumatra. Mereka muncul di Almanak bukan untuk beriklan. Namun, untuk menyuluh keberanian bagi pribumi untuk unjuk gigi di dunia bisnis di tengah pemain bisnis lainnya seperti: Arab, China, India, dsb.
“Awit sampoen keboekten, sanadjan bangsa Priboemi, Poenika manawi poeroen kemawoen boten bade kawon kalijan bansa sanes.” Yang memiliki arti kurang lebih seperti ini, sudah terbukti bila bangsa pribumi memiliki kemauan tekadnya dan bermandi keringat, maka akhirnya akan mulia.
Rokok tersebar di warung-warung sampai pedagang asongan. Sebuah foto seorang penjual rokok dengan rambut mengkilap seperti diolesi minyak rambut murrays, tengah menjajakan rokok yang duduk di belakang meja kayu (1948). Terlihat rokok-rokok bermerk Zipper, Camel dan Golden. Rokok itu rokok illegal. Sengaja pedagang mendapatkannya untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Terlihat seorang serdadu menilik di balik kayu yang tertata cukup rapi pelbagai jenis rokok. Kemudian menghirup semerbak wangi rokok. Mafhum, rokok melekat di hati pecintanya. Rokok ada di segala zaman. Wanginya memberi makna tersendiri bagi para penikmanya.
Rokok menyelip di ruang-ruang persidangan. Sebelum Indonesia menyampaikan proklamasi, dua badang dibentuk guna mempersiapkan proklamasi. Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sidang pleno pertama 28 Mei 1945 – 01 Juni 1945 anak-anak bangsa membahas dasar negara dan batas-batas daerah. Anak-anak bangsa menyampaikan banyak pendapat. Mereka begitu percaya dan menyambut dengan gegap-gempita bahwa kemerdekaan harus lekas terwujud.
Di saat Soekarno membuka sidang di gedung Tyuuoo Sang-in, Pejambon, Jakarta, anak-anak bangsa mendengarnya penuh khidmat pidatonya. Meja berukuran persegi panjang di atasnya tergeletak kertas, pena, dan asbak. Asbak lekat dengan rokok. Di sidang BPUPKI itu di mana sebagai cikal bakal republik ini, rokok turut hadir membikin meriah menyongsong merdeka.

Tak dapat semua usia menghisap rokok. Bahkan orang dewasa sekalipun. Selain perihal kepercayaan hingga urusan kesehatan, selanjutnya rokok jadi barang yang harus lekas dijauhi. Harganya yang terus naik, perbungkus seperti harga telur perkilogram, membikin perokok berkantung tipis berpikir dua kali ketika dibenturkan masalah gizi.
Meski rokok yang merusak tubuh dan membikin gigit jari penghisapnya. Namun asap yang mengepul di ruang-ruang sidang, gemertak cengkih yang tersulut api oleh hisapan, menghalau gugup kala gemuruh peluru menghantam tembok, rokok jadi saksi bisu keberjalanan republik kita.