Sekolah di Desa: Belajar dan Bermain

Avatar photo
Oleh Bandung Mawardi
18 Agustus 2024, 08:00 WIB

Sejarah pendidikan di Indonesia, sejarah memuat kebijakan-kebijakan pemerintah. Kita biasa membuka dan mengingat beragam kebijakan pemerintah untuk mengetahui lakon pendidikan di Indonesia, dari masa ke masa. Kebijakan-kebijakan itu dimengerti publik-awam dan menimbulkan debat-debat di kalangan intelektual atau pengamat pendidikan. Di buku sejarah pendidikan, kita mengetahui pengutipan dan tanggapan atas beragam kebijakan pemerintah dalam mengukur keberhasilan dan kegagalan.

Para pembaca artikel dan buku sejarah pendidikan mungkin tak memerlukan referensi berupa buku cerita anak atau novel memuat pengisahan pendidikan. Penikmat buku-buku anak memastikan para tokoh dalam cerita sering murid-murid SD. Di situ, ada pergumulan identitas dan gejolak intelektual saat para tokoh memenuhi predikat sebagai murid di SD. Kegemaran mereka bermain, keakraban bersama alam, atau geliat menjadi manusia-kota memberi pengantar bagi pembaca mengetahui  “penggalan-penggalan” sejarah pendidikan di Indonesia.

Di majalah Tempo, 6 November 1971, terbaca penjelasan: “Pemberian tekanan pada buku anak-anak tampaknja memang perlu sekarang ini. Sebab seperti semua orang mengerti, selama dua-tiga dasawarsa terachir ini mutu pendidikan di tanah-air bukan tidak mengalami kemunduran.” Situasi itu ditanggapi dengan penerbitan buku-buku cerita anak bermaksud para murid di SD memiliki tambahan pengetahuan, hiburan, dan kepekaan bahasa. Nasib mereka tak cuma ditentukan oleh buku-buku pelajaran.

Pustaka Jaya, Balai Pustaka, Gaya Favorit Press, dan Gramedia menjadi penerbit-penerbit bersaing dalam pengadaan buku-buku cerita anak bermutu. Mereka sadar misi “pendidikan” tanpa ingin membuat anak-anak “dikembalikan” dalam kejenuhan membaca buku-buku pelajaran. Misi tak mengabaikan komersialitas atau bujukan hiburan.

Pada 1979, terbit buku cerita anak berjudul Doger gubahan Triwahyono. Buku diterbitkan Gramedia. Penulisan cerita rampung pada 1977. Buku itu mengajak kita mengingat kegandrungan anak-anak membaca cerita, menghindari kutukan buku pelajaran. Buku pun bisa menjadi dokumentasi sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia.

Pembaca mendapat pengisahan bocah bernama Tri mengalami kegagalan tapi mengusahkan bahagia. Kutipan mengandung kritik pendidikan saat Tri merenung tidak naik kelas: “Sebenarnyalah kegagalan itu sudah aku ketahui, sebelum hari kenaikan kelas. Bayangkan saja, aku tidak masuk sekolah selama dua bulan karena menderita sakit. Kedua kakiku patah. Dan, waktu dua bulan bukanlah waktu yang pendek bagi sekolah kami. Karena sebenarnyalah sekolah kami banyak liburnya ketimbang hari masuknya. Pak Bunarto orangnya sedikit malas, mungkin beliau merasa kalau gajinya tidak mencukupi untuk menegakkan dapur mereka, hingga aku sering melihat beliau kalau hari Pon, menjual pakaian di Pasar Godean.”

Renungan murid kelas 1 SD tidak naik kelas. Kita curiga renungan itu berlebihan untuk anak. Pengarang mengabarkan bila anak-anak masa lalu itu sering terlambat masuk sekolah. Mereka tak dipastikan masuk SD saat berusia 7 atau 8 tahun. SD itu beralamat di desa, Sleman, Jogjakarta. Murid mengaku memiliki “kesalahan” berakibat tak sanggup mengikuti pelajaran secara penuh. Ia pun mengerti “kelemahan” dan “keterbatasan” guru dalam memenuhi tanggung jawab pengajaran di kelas. Di situ, kita membaca masalah mutu pendidikan dan gaji guru.

Siasat diwujudkan dalam menanggulangi malu. Tri diputuskan pindah ke SD di desa berbeda dengan harapan bisa menjadi murid kelas dua. Dulu, murid-murid tak naik kelas itu biasa. Di SD berbeda, ia melakukan pengamatan terhadap guru bernama Pak Marta: “Orangnya pendek, kukira tingginya tak lebih dari seratus lima puluh sentimeter, dan hidungnya kecil agak mancung. Orangnya berkulit hitam seperti kebanyakan orang-orang Jawa. Setiap murid yang pernah diasuhnya, pernah mendapat jeweran di telinganya, walaupun kesalahan itu hanya kecil saja.” Kita mendapat warisan cerita murid-murid masa lalu tentang beragam jenis hukuman di sekolah. Dulu, hukuman dianggap lazim dan dimengerti publik “demi mendidik” meski perlahan mendapat protes dan ralat berdasarkan hak asasi manusia atau hukum.

Cerita tak melulu menempatkan anak belajar di sekolah. Para pembaca menemukan babak-babak para anak suka bermain di alam, ikut pentas seni, berkelahi, dan lain-lain. Sekolah memang membuat hari-hari mereka “sibuk” belaja. Dunia mereka “dibentuk” dengan pelbagai mata pelajaran. Di luar sekolah, mereka memiliki petualangan dan tak mengenal lelah untuk bermain.

Tri terus naik kelas, bertumbuh menjadi remaja. Ia bercerita petualangan: “Di desaku, aku kembali dapat bermain-main ke gunung dengan Tumandi dan Jimin, mencari burung-burung atau ayam alas.” Hidup tak mau dihabiskan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Anak-anak memerlukan pengetahuan berbeda dan mewujudkan beragam keinginan. Bergaul bersama teman-teman atau mengikuti hasrat bermain di alam itu penting. Mereka membentuk identitas. Mereka tak sekadar murid.

Kita beralih ke buku berjudul Si Alui (1981) gubahan Fran R. Buku masuk kebijakan Inpres, dibeli pemerintah dan beredar di perpustakaan-perpustakaan SD. Cerita berlatar desa di pinggiran Banjarmasin. Para tokoh berstatus murid SD atau sekolah rakyat masa 1950-an.

Anak-anak di desa suka bermain sepak bola. Desa itu “kekurangan” tempat dan jenis hiburan. Desa dengan sedikit warga. Di keseharian, anak-anak biasa mencari ikan dan burung. Mereka bersaing untuk menjadi anak terkenal dalam memancing dan perburuan. Di permainan sepak bola, mereka berusaha menang dengan mengerti segala curang dan kesedihan akibat kalah.

Tokoh dalam cerita bernama Alui. Bocah memiliki keinginan, berani berhemat. Ia mengisahkan: “Setiap uang saku sekolahku selalu kumasukkan ke dalam celenganku.” Ia menginginkan bisa membeli sepatu kulit. Kita simak lagi: “Untuk pengisi perut sewaktu istirahat di sekolah, aku membawa buah rambai di kantongku. Pohon rambai banyak sekali tumbuh sepanjang sungai dan tak ada seorang pun yang memilikinya.”

Bocah suka bermain ketimbang belajar di kelas. Ia kadang mengetahui dan merasakan “neraka” saat di sekolah. Pengisahan agak lucu tentang perintah membaca bergantian di kelas: “Haris membaca dengan tersendat-sendat, tetapi masih bisa selesai. Mata Guru Kumis seperti mata elang memperhatikan kami. Yang dicarinya adalah yang kelihatannya takut-takut, berarti tidak belajar di rumah.” Alui pun ditunjuk guru.

Bocah memiliki seribu akal: “Aku, asalkan tahu halamannya, gambarnya, maka empat kalimat yang ada di halaman itu kubaca dengan lancar dan keras. Sebenarnya, aku masih sukar membaca, sedangkan lancarnya aku membaca karena hapal.” Dulu, murid-murid di kelas awal memang menghadapi hari-hari menegangkan dalam penguasaan baca-tulis.

Novel memuat mutu guru. Alui mendapat guru galak. Ia sadar murid-murid nakal dan bodoh tapi keseringan guru memberi hukuman menimbulkan perlawanan. Pada saat guru mencari murid bersalah: “Sampai tiga hari kami berdiri sepanjang jam pelajaran, tak seorang pun yang mengaku. Hari pertama, kami memang ketakutan. Hari kedua dan ketiga sudah jadi biasa dan bahkan kami bertaruh siapa yang bakal tak tahan berdiri. Anehnya, kami senang melakukan hukuman ini, sebab kami merasa sedang melawan kelaliman Guru Kumis. Hanya tiga hari, setelah itu Pak Kepala Sekolah yang menghentikan perlakuan Guru Kumis pada kami dan Guru Kumis malahan mendapat teguran dari Pak Kepala Sekolah. Guru Kumis yang merasa dikalahkan murid-muridnya sendiri menjadi semakin lalim.”

Dua buku cerita anak dari masa lalu. Kita membaca sambil membuat nostalgia, tak melupa mencatat sejarah pendidikan di Indonesia. Para guru mendapat kritik. Murid-murid tanpa kepastian rajin belajar dan paham beragam ilmu. Dua cerita berlatar desa. Kita memaklumi anak-anak memilih bermain ketimbang “tersiksa” belajar di sekolah. Mereka bertumbuh saat pemerintah berseru pemajuan pendidikan. Sekolah-sekolah di desa memang ikut memberi pengaruh dalam perubahan-perubahan nasib tapi memuat keprihatinan-keprihatinan. Kita sedang menikmati cerita di Sleman dan pinggiran Banjarmasin: mendapat keinsafan sejarah pendidikan tak selalu menghasilkan tepuk tangan dan pujian. Begitu.

Artikel Terkait