Memang Warung Madura kini menjadi fenomena baru. Di sejumlah tempat kata “warung” diganti dengan “toko”. Tapi, tetap jelas identitasnya bahwa toko atau warung itu milik orang Madura. Karena nama “Madura” selalu dicantumkan di situ. Maka terkenallah nomenklatur baru sebagai toko milik dan atau dikelola oleh orang Madura.
Namanya memang beragam. Mulai dari “Toko Madura” hingga “Warung Madura”. Lebih dari itu, biasanya ada diksi “sembako” yang disematkan pada warung itu. Bahkan, ada juga diksi lainnya, seperti “pulsa” dan “token”. Karena itu, Warung Madura atau Toko Madura tersebut juga sangat dikenal dengan toko kelontong Madura.
Fenomena Warung Madura memang belakangan mulai ramai merambah di banyak kota di Indonesia. Hampir di seluruh Jawa sudah mulai bermunculan. Lokasinya pun tak hanya di pusat kota. Melainkan juga menyasar hingga pinggiran kota. Bahkan masuk pula ke sudut-sudut pinggiran kompleks hunian di tengah masyarakat. Pendek kata, Warung Madura mulai mudah ditemukan. Di banyak tempat. Betul-betul kini Warung Madura menjadi pembicaraan. Di ruang publik. Karena Warung Madura kini sudah menjadi fenomena baru. Sebagai kekuatan ekonomi baru. Di sektor usaha ekonomi toko kelontong.
Mengapa Warung Madura menjadi sebuah fenomena baru? Distingtif, menandakan kondisi yang cenderung tak biasa ditemukan. Karena itu, pasti ada kelebihan yang bisa didapatkan. Pasti ada keistimewaan yang bisa dirasakan.
Terdapat tiga poin utama sebagai kelebihan dan keistimewaan Warung Madura, Pertama, Warung Madura selalu dikenal dengan layanan tak berbatas waktu. Selalu siap siaga. Karena buka hingga 24 jam. Sehingga cocok untuk sejumlah kelompok masyarakat. Di perdesaan pun, sebagai misal, kini mulai banyak kecenderungan hidup sejumlah individu yang menjadikan warung sebagai ruang publik.
Tradisi cangkrukan makin terfasilitasi. Oleh menjamurnya warung kopi. Hingga muncul guyonan: makin sering ngopi di warung berarti makin banyak masalah di rumah. Tak hanya di perdesaan, sebetulnya. Kebutuhan kepada layanan warung kelontong yang buka hingga larut dan bahkan sepanjang waktu lebih-lebih membesar di perkotaan. Aktivitas orang perkotaan yang bergerak sejak pagi hingga dini hari semakin memperkuat kebutuhan itu.
Tak bisa dielakkan, ada unsur persaingan usaha di balik diramaikannya keberadaan Warung Madura. Yang justru merasa banyak tersaingi, sejatinya, lebih-lebih para pelaku usaha ekonomi korporasi. Khususnya minimarket berjejaring nasional. Sebagai contoh, saat para pelaku usaha ekonomi korporasi dalam bentuk minimarket berjejaring nasional itu dibatasi jam operasionalnya, ada warung “tradisional” yang baru muncul namun bisa buka 24 jam. Namanya Warung Madura. Mau buka kapan aja, oke. Tidak buka rutin pun juga suka-suka. Walaupun faktanya, semua Warung Madura selalu buka melebihi jam buka warung pada umumnya. Bahkan bisa semalam suntuk.
Munculnya Warung Madura dengan berbagai variasi nama dan komoditas jualannya di berbagai daerah semakin memberi tekanan dan “ancaman” kepada para pelaku usaha ekonomi korporasi berbentuk minimarket. Sebab, banyaknya Warung Madura segera dipahami oleh mereka sebagai bentuk korporasi baru. Khususnya di bidang jualan yang beririsan dengan mereka. Yakni usaha kelontong. Untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, dalam pandangan konsumen, yang susah ditemukan di jenis usaha kelontong lain bisa ditemukan di Warung Madura.
Keresahan mungkin juga bisa berasal dari pelaku usaha ekonomi kelontong lokal. Namun resonansi keresahan mereka cenderung tidak kuat. Karena tidak bisa dibunyikan secara nasional atau meluas. Gara-gara tidak berjejaring nasional. Lebih-lebih mereka juga tidak terkena larangan jam buka sepanjang waktu. Seperti halnya larangan buka 24 jam kepada pelaku usaha ekonomi korporasi. Bagi sesama pelaku usaha warung kelontong, mau buka 24 jam atau tidak, hampir tak pernah jadi soal. Karena itu, waktu operasional layanan hingga 24 jam hanya identik dengan usaha ekonomi korporasi.
Persaingan usaha itu semakin menguat oleh unsur etnisitas. Ada kata “Madura” dalam usaha ekonomi warung kelontong itu. Berarti ada unsur etnis di situ. Karena itu, pasti ada unsur etnis tertentu di situ. Sementara, pada koroporasi kelontong berjejaring nasional, pemiliknya pasti nasional. Minimal, pemegang saham utamanya nasional. Bahkan juga internasional. Maka, sebetulnya, perbincangan ramai soal Warung Madura di antaranya juga dipicu karena sentimen etinisitas. Suka tidak suka begitu. Lalu, etinisitas itu semakin memperburuk isu persaingan usaha. Karena ada lapisan ragam beda etnisitas di balik persaingan usaha itu.
Kedua, Warung Madura dikenal dengan etos kerjanya yang tinggi. Distingsi kedua ini sejatinya melengkapi nilai distingsi pertama. Hanya bedanya, nilai distingsi yang kedua ini lebih menunjuk ke semangat kerja pantang menyerah. Tak pernah mundur dalam bekerja. Tak mengenal kata surut dalam usaha ekonomi. Bahkan etos kerja itu digunakan pula sebagai tagline jam operasi atau jam buka.
Tagline “Tutup Kalau Sudah Kiamat (Tapi Masih Buka Setengah hari)” menandai tekad dan spirit kerja keras pantang menyerah itu. Jargon sebagai kata-kata atau ungkapan-ungkapan spesial yang digunakan oleh kelompok tertentu yang sukar dipahami oleh selainnya, karena itu, bisa dikutip dan digunakan juga sebagai konsep lain untuk menandai semangat kerja keras pantang menyerah ini. Mana ada usaha yang buka setengah hari sebelum datangnya kiamat sekalipun? Tentu ungkapan itu hanya untuk menandai kerja keras pelaku usaha Warung Madura. Dan ungkapan itu mengena sekali untuk sebuah jargon kerja keras.
(baca juga; Berapa Lama Usia Roti?)
Pengalaman sejumlah masyarakat di sejumlah kawasan di dunia menunjukkan, kerja keras membentuk kemajuan. Apa yang dikenal dengan istilah spirit of capitalism yang menjadi fenomena global, sebagai misal, menunjuk ke tiga kata kunci: seperangkat nilai, semangat kerja keras, dan kemajuan. Begitu yang dikatakan Michael Shea (06 Oktober 2015) dalam tulisannya berjudul “The Protestant Ethic and the Language of Austerity” (lihat: https://archive.discoversociety.org/2015/10/06/the-protestant-ethic-and-the-language-of-austerity/).
Pernyataan Michael Shea ini sejatinya mengembangkan lebih lanjut argumen yang sebelumnya dibangun oleh Max Weber (1930/2001) dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber (2001:11) menunjuk kata kunci berikut: the spirit of hard work, of progress, or whatever else it may be called, the awakening of which one is inclined to ascribe to Protestantism. Artinya, dalam mendasari spirit of capitalism, Weber juga menyebut kata kunci: kerja keras, kemajuan, dan kebangkitan yang berbasis keyakinan agama tertentu.
Tanpa menyebut memiliki kesamaan dengan spirit of capitalism, etos kerja yang tinggi dari pelaku usaha Warung Madura menunjuk ke spirit kemajuan dan kebangkitan ekonomi. Etos kerja yang dipersyaratkan bagi kinerja ekonomi sudah dipertontonkan oleh pelaku usaha Warung Madura. Dan, spirit kerja keras itu menjadi modal besar bagi kemajuan dan kebangkitan ekonomi mereka. Nah, etos kerja yang tinggi inilah yang bisa memberi tekanan dan sekaligus “ancaman” kepada pelaku usaha apapun yang beririsan. Sebab, spirit ini menjadi separuh modal kesuksesan. Sisanya adalah strategi bisnis yang jempolan.
Ketiga, layanan Warung Madura bisa disebut prima. Menyusul jam buka hingga 24 jam seperti diuraikan di atas, pelayanan toko kelontong ini pun pasti menggunakan sistem shift. Namun, hebatnya, kualitas layanannya tak kalah dari pelayan pasar modern minimarket. Pelayan Warung Madura dikenal sigap. Pengalaman membuktikan, siapapun yang sedang bertugas menjadi penjaga toko kelontong itu, pasti bisa mengambilkan barang yang dibutuhkan oleh konsumen dari rak penyimpanannya. Termasuk juga menjelaskan harganya. Hampir tak pernah ditemui ada pelayan yang tidak tahu di mana unit barang dagangan disimpan. Juga hampir tak pernah ada pegawai yang bilang tidak tahu berapa harga barang dijual. Semua dalam pelayanan prima.