Bangunan Candi kerap meninggalkan pertanyaan bagi para pengunjungnya. Bagaimana nenek moyang kita membangunnya?
Pertanyaan itu muncul mengingat teknologi pada masa lalu belum secanggih masa kini. Cerita-cerita mistis pembangunan candi bahkan jauh lebih populer di tengah masyarakat, dibanding pengetahuan tentang bagaimana candi-candi dahulu dibangun.
Padahal candi-candi itu merupakan bukti bahwa peradaban nenek moyang kita sejak doeloe sudah memiliki pengetahuan budaya dan menguasai teknologi. Oleh karena itu, kali ini redaksi perlu mengangkat tulisan Shinta Dwi Prasasti, Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi adalah peninggalan sejarah dari masa kerajaan atau kerap dikenal sebagai masa klasik Hindu-Buddha di Indonesia. Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya karya arkeolog R. Cecep Eka Permana (2016) menjelaskan jika candi adalah istilah umum untuk menamakan semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia.
Bangunan tersebut banyak ragam rupanya, misalnya pemandian kuna, gapura atau gerbang kuna, maupun bangunan suci keagamaan. Istilah candi juga kerap digunakan di sejumlah tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Candi digunakan untuk menyebut suatu kelompok arca yang menjadi pundhen desa.
Pedoman Pembangunan Candi
Pembangunan candi di Jawa selama ini banyak ditafsirkan melalui data arkeologi. Sementara berdasarkan data pustaka yang ada, pembangunan candi atau kuil di India mengacu pada kitab Manasara Silpasastra. Kitab ini berisi tentang tata cara membangun candi mulai dari awal hingga akhir.
Pada masa Hindu-Buddha atau Jawa Kuno, kemungkinan kitab asal India ini telah digubah sesuai dengan versi Jawa Kuno. Versi ini nampaknya tidak sampai kepada kita, generasi sekarang.
Versi yang ada dan dikenal hingga saat ini adalah versi dari kebudayaan Hindu-Bali. Versi ini masih dikenal dan dijadikan sebagai suatu kitab tuntunan mendirikan bangunan suci bahkan bangunan hunian juga, yaitu Hasta Kosala-Kosali (Asta Kosala-kosali) dan Asta Bumi.
Agus Aris Munandar dalam Keistimewaan Candi-Candi Zaman Majapahit menyebut jika beberapa lontar Asta Kosala-kosali itu sampai sekarang masih bertahan dan secara tradisi tetap dijadikan acuan untuk pembangunan pura baru, perbaikan pura, dan bahkan pembangunan rumah tinggal yang sesuai dengan adat tradisi.
Berdasarkan kitab Manasara Silpasastra, tata cara pembangunan candi meliputi perencanaan bentuk candi, mencari lokasi untuk membangun candi, menguji tanah, menyiapkan tanah, pembuatan vastupurusamandala (denah suci), membuat denah dan menempatkannya sesuai rencana ruang pada mandala serta pengerjaan fisik, seperti penumpukan batu dan membuat ornamen.
Tahapan dari tata cara tersebut diperlukan, mengingat pentingnya fungsi Candi pada masa klasik. Candi adalah bangunan yang berfungsi untuk memuliakan dewata atau tokoh yang telah diperdewa.
Penentuan lokasi merupakan bagian yang penting. Lahan calon lokasi candi harus suci, keramat, tenang dan jauh dari keramaian. Lahan juga dipandang menyimpan kekuatan dewa, atau lokasi tempat kekuatan supernatural senang bersemayam.
Penentuan lahan ini memerlukan kajian yang mendalam oleh kaum brahmana. Lahan yang biasa digunakan untuk candi misalnya hutan yang lebat, lereng gunung, dekat rangkaian pegunungan, di tepian persawahan yang subur, atau juga dekat sumber-sumber air, seperti mata air, kolam, danau, sendang, sungai, dan pertemuan dua sungai. Candi di Jawa biasa ditemukan di lokasi-lokasi tersebut.
Proses Pembangunan Candi
Pada proses pembangunan candi, ada beberapa profesi yang terlibat. Mereka adalah Yajamana (orang yang mempunyai gagasan, bisa jadi seorang raja atau tokoh lainnya), Sthapaka (ketua pendeta, pendeta senior yang mahir dalam ilmu bangunan suci), Sthapati (arsitek-perencana), Sutragrahin (ahli perhitungan teknis), Taksaka (ahli pahat: relief dan arca), dan Wardhakin (ahli hiasan arsitektural ataupun ornamental).
Profesi inilah yang berperan mulai dari ide awal pembangunan hingga bangunan candi tegak berdiri. Figur Sthapaka adalah pilihan dari Yajamana.
Soekmono dalam Candi Fungsi dan Pengertiannya menyebutkan bahwa Sthapaka haruslah seorang Brahmana yang memenuhi sejumlah syarat, di antaranya tahu benar akan sari serta makna kitab-kitab suci, selalu memperhatikan langkah lakunya sesuai dengan kasta dan tingkatan hidupnya. Sthapaka juga harus benar-benar mahir dalam ilmunya, mampu mempersatukan dirinya dengan pekerjaannya, dan percaya pada tuah dari tradisi pembangunan kuil tersebut.
Sementara profesi Sthapati, Sutragrahin, Taksaka, Wardhakin disebut juga sebagai Silpin (seniman). Keterlibatan profesi dan tahapan yang beragam menunjukkan jika pembangunan candi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pembangunan candi tidak akan rampung dalam semalam seperti legenda Roro Jonggrang.
Tulisan Shinta Dwi Prasasti ini memberi pencerahan bahwa pembangunan candi tidaklah semudah cerita legenda yang sering kita dengar. Pembangunan candi membutuhkan sumber daya manusia yang memang berkeahlian khusus.
Tahapannya juga harus sesuai pedoman kitab kuno Manasara Silpasastra. Maka generasi sekarang seharusnya lebih peduli pada candi. Generasi kita tidak pernah melalui tahapan tersebut. Generasi kita dan yang akan datang hanya harus rajin mengunjungi, melindungi dan melestarikannya.
Candi merupakan bangunan kuno yang terbuat dari batu, yang biasanya digunakan untuk beribadah atau tempat pendarmaan raja yang hidup di zaman Hindu Buddha. Menurut Soekmono, candi dapat difungsikan sebagai kuil pemujaan, dan apabila dikaitkan dengan makam raja, maka candi merupakan bangunan yang dibuat untuk memuliakan raja atau bangsawan yang sudah wafat. Raja yang sudah wafat biasanya didarmakan dengan bentuk arca dewa yang dianggap menyerupai sang raja tersebut.
Candi memiliki bentuk arsitektur yang berbeda dengan candi di India. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh lokal genius dibalik pembuatan candi yang megah di Indonesia. Arsitektur candi di Indonesia tidak semuanya sama. Terdapat perbedaan pada candi masa klasik tua dan candi masa klasik muda. Hal ini dapat terlihat dari bahan bangunannya, bentuk atap, gaya arca dan relief pada candi tersebut. Pernyataan di atas menghasilkan sebuah pertanyaan baru, yakni bagaimanakah cara membuat candi? Apa saja tata cara dalam pembuatan candi.
Pembuatan candi didasarkan pada kitab manasara silpasasatra. Kitab ini digunakan oleh sthapati (ahli pembuat candi) dan silpin sebagai pedoman dalam pembuatan candi atau arca. Tahap pembuatan candi dimulai dengan perencanaan bentuk candi, pencarian lokasi, pengujian tanah, penyiapan tanah, pembuatan vastupurusamandala, pembuatan denah, dan pengerjaan fisik.
Perencaan bentuk candi dilakukan untuk menentukan ukuran candi, bentuk, hiasan, dan lain sebagainya. Kemudian pencarian lokasi dilakukan dengan melihat ketentuan yang ada pada kitab manasara, seperti terletak di tempat tinggi dan dekat dengan sumber air (lebih baik jika pertemuan dua sungai). Setelah menentukan lokasinya, selanjutnya dilakukan pengujian tanah. Pengujian tanah dilakukan untuk mengetahui kesuburan tanah dan daya serap tanah. Setelah diuji, tanah kemudian disiapkan dengan diratakan, dibajak, dan disirami.
Langkah selanjutnya dalam pembuatan candi adalah pembuatan vastupurusamandala. Vastupurusamandala dapat diartikan sebagai denah suci (mandala) tempat tumbuhnya intisari (vastu) alam semesta (purusa). Legenda menceritakan dewa Brahma menciptakan sebuah makhluk kosmik yang besar bernama vastupurusa.
Lama kelamaan ia tumbuh teramat pesar dan melahap segala sesuatu di bumi hingga menciptakan gerhana permanen, sehingga para dewa terpaksa membunuhnya. Ketika akan dibunuh, vastupurusa meminta keringanan dan dewa Brahma mengatakan bahwa ia akan disembah oleh setiap makhluk yang membangun struktur di bumi. Mandala yang digambarkan berbentuk bujursangkar dianggap sebagai yantra (alat suci yang dapat menyerap ‘asas utama’).
Hal ini menyebabkan candi dianggap tidak berbeda dengan alam semesta, walau dalam bentuk kecil. Setelah pembuatan mandala, kemudian membuat denah sesuai rencana awal dan menempatkan sesuai rencana ruang pada mandala sebagai patokan ukuran. Setelah selesai semua, baru dimulai pengerjaan fisik seperti penumpukan batu perlapis, membuat hiasan, pagar, dan lain-lain.
Candi merupakan bangunan kuno yang terbuat dari batu, yang biasanya digunakan untuk beribadah atau tempat pendarmaan raja yang hidup di zaman Hindu Buddha. Arsitektur candi di Indonesia berbeda dengan arsitektur candi yang berada di India. Bahkan di Indonesia arsitektur candi pun tidak semuanya sama, namun tata cara pembuatannya kurang lebih memiliki langkah yang serupa. langkah pembuatan candi dimulai dengan perencanaan bentuk candi, pencarian lokasi, pengujian tanah, penyiapan tanah, pembuatan vastupurusamandala, pembuatan denah, dan pengerjaan fisik.
Dengan mengetahui pentingnya dan kompleksnya pembuatan candi di masa lalu, diharapkan generasi sekarang dapat menjaga warisan-warisan nenek moyang yang masih dapat kita nikmati keindahannya hingga saat ini.
Sebagai contoh adalah Candi Borobudur. Kesepakatan atau konsensus para arkeolog dan ilmuwan itu dibuat lantaran memang tidak diketahui pasti kapan Candi Borobudur itu dibangun dan tidak ada catatan atau bukti tertulis yang memberikan keterangan siapa pendiri Candi Borobudur.
Banyak teori bertebaran soal asal-usul Candi Borobudur. Pendapat sejarawan JG de Casparis dari penelitian bentuk huruf Jawa Kuno yang dipakai menulis inskripsi pendek-pendek di atas panel relief candi, Borobudur berasal dari abad ke-9. Menurut Casparis, Candi Borobudur didirikan oleh seorang raja Sailendra, yaitu Raja Samaratungga yang memerintah tahun 782-812 beserta puterinya bernama Pramodhawarddhani. Pendapat ini didasarkan pada dua prasasti, yaitu prasasti Karangtengah/Kayumwungan tahun 824 M dan prasasti Sri Kahulunan bertahun 842 M.
Dengan demikian dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan dan diidentifikasi, teori yang kini luas diterima adalah Candi Borobudur dibangun pada Dinasti/Wangsa Sailendra.
Penemuan Candi Borobudur
Candi Borobudur ditemukan oleh pasukan Inggris tahun 1814 yang saat itu dibawahi oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjadi wali wilayah Indonesia.
Waktu itu Raffles mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan susunan batu bergambar. Kemudian, ia mengutus Cornelius seorang Belanda untuk membersihkannya. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman dan pekerjaan pembersihan kelar tahun 1835.
Fungsi Candi Borobudur
Fungsi Candi Borobudur menurut Prof Soekmono sebagai tempat ziarah untuk memuliakan agama Budha aliran Mahayana dan pemujaan nenek moyang.
Tempat ini berisi petunjuk agar manusia menjauhkan diri dari nafsu dunia dan menuju pencerahan dan kebijaksanaan menurut Buddha, demikian dilansir dari laman pengelola Candi Borobudur.
Cara Membangun Candi Borobudur
Menurut sejarawan-arkeolog-ilmuwan yang dimuat dalam buku Candi Indonesia: Seri Jawa yang ditulis EdiSedyawati,HasanDjafar dkk terbitanKemdikbud (2013),Borobudur adalah pengecualian dibanding semua candi yang ditemukan di Jawa lainnya.
Di Jawa, untuk membangun candi, tanah lokasi candi dipadatkan dengan pasir dan batu kerikil, kerakal, dan sebagainya. Ada pula yang dibuat lewat semacam ruangan dalam tanah, diisi batu gundul, pecahan bata, pasir dan setelah dipadatkan, didirikan fondasi candi.
Candi Borobudur dibuat berbeda fondasinya. Candi didirikan langsung di atas bukit, yang dibentuk sesuai bentuk candi yang dikehendaki.
Fondasi bagian candi terluar dibuat masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih satu meter tertumpang di atas lapisan batu karang, sedangkan bangunan di atasnya tertumpang di atas beberapa lapis batu.
Para ilmuwan menilai teknologi yang dipakai dalam membangun Candi Borobudur luar biasa canggih dan maju pada zamannya. Candi ini dibangun tanpa diawali candi-candi lain yang dapat dianggap sebagai prototipenya, jadi tiba-tiba saja nenek moyang Nusantara dapat membangun Candi Borobudur yang demikian megah dan arsitekturnya unik. Bentuknya pun lain daripada yang lain, tidak dapat dibandingkan dengan candi-candi lainnya manapun juga.
Batu Andesit Penyusun Candi Borobudur
Batu penyusun Candi Borobudur menggunakan batu andesit, jenis batuan beku vulkanik yang umumnya ditemukan pada lingkungan subduksi tektonik di wilayah perbatasan lautan seperti di pantai barat Amerika Selatan atau daerah-daerah dengan aktivitas vulkanik yang tinggi seperti Indonesia.
Nama andesit berasal dari nama Pegunungan Andes yang berarti batuan keras.
Dari situs Kemdikbud, disebutkan batu candi yang berwarna gelap memiliki memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan batu candi yang berwarna cerah karena kandungan kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi. Selain itu, batu candi yang berwarna gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan batu candi yang berwarna cerah.
Batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki kepadatan yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak ditumbuhi lumut. Kandungan silika pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini dikarenakan proses pelapukan yang terjadi menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu. Selain itu, kandungan kalium pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut karena kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut.
Teknik Sambung Batu Candi Borobudur
Dari situs Kemdikbud dan buku Candi Indonesia: Seri Jawa yang ditulis Edi Sedyawati, Hasan Djafar dkk terbitan Kemdikbud, ada 4 teknik sambung batu pembangunan Candi Borobudur, bukan melekatkannya dengan putih telur ayam.
Candi Borobudur tersusun atas batuan andesit yang disusun dengan pola arah horizontal. Ukuran batu yang dipakai berkisar antara panjang 40-50 cm, lebar 30-40 cm, dan tinggi 20-25 cm.
Berikut teknik sambung batunya:
- Tipe Ekor Burung
Ditemukan pada hampir setiap batu dinding.
- Tipe Takikan
Teknik sambung batu ini dapat ditemukan pada kala, doorpel, relung dan gapura.
- Tipe Alur dan Lidah
Teknik sambung batu tipe alur lidah ini dapat ditemukan pada pagar langkan selasar dan batu ornamen makara di kanan-kiri tangga undag dan selasar.
- Tipe Purus dan Lubang
Teknik sambung batu tipe purus dan lubang ini dapat ditemukan pada batu antefil dan kemuncak pagar langgan.
Pembagian Bangunan Candi Borobudur
- Kamadhatu adalah bagian tingkat pertama hingga tingkat ketiga dari candi Borobudur. Bagian Kamadhatu memiliki relief karmawibhangga yang menggambarkan hukum pada umat manusia.
- Rupadhatu adalah bagian tingkat keempat hingga keenam candi yang memiliki relief Lalitavistara dan Jatakamala yang menggambarkan kisah hidup sang Buddha.
- Arupadhatu atau bagian atap candi tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Pada bagian ini tidak ada relief namun memiliki banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia.
Dilansir dari TWC: Indonesian Heritage Management dalam artikel berjudul “Java Construction Technology in Borobudur Relief” (2017), menyebut bahwa orang Jawa kuno memiliki spesialis yang ahli dalam teknik bangunan candi dan rumah.
Dalam relief itu digambarkan bahwa berbagai macam alat khusus digunakan untuk pertukangan, seperti halnya berbagai kapak. “Pertukangan tampaknya berkembang sangat baik di Jawa kuno,” imbuh responden TWC.
Orang-orang Jawa Kuno membangun rumah mereka dari berbagai bahan, mulai dari bambu hingga kayu. Banyak jenis rumah kayu dan bangunan lainnya yang digambarkan pada pahatan relief Candi Borobudur.
“Sumber dari data tentang kemampuan orang Jawa kuno dalam teknologi bangunan hanya dapat dipelajari melalui relief pada Candi Borobudur karena (artefak) bangunannya sendiri sudah tidak eksis lagi,” tambahnya.
Seperti yang ada saat ini, bambu adalah tanaman yang tumbuh subur di Jawa. Bambu juga digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan bangunan karena kayu merupakan bahan yang lebih mahal.
Tempat diambilnya sumber bahan bambu dapat dilihat dari nama suatu daerah, seperti Desa Gunungpring (hutan bambu) di dekat Borobudur.
Menariknya, ada sebuah prasasti yang berasal dari abad ke-9 yang terhubung dengan Candi Mendut di dekat Borobudur. Prasati itu merujuk pada sebuah tempat bernama Venu Vana, berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna hutan bambu.
Ilmuwan Belanda, F.D.K Bosch menguatkan pendapat bahwa masyarakat Jawa Kuno sangat terampil dalam membangun candi-candi kuat dan megah yang masih bertahan hingga hari ini.
Dwi Budi Harto dalam jurnal Imajinasi berjudul “Tata Cara Pendirian Candi: Perspektif Negarakertagama” (2005), menyebut bahwa masyarakat Jawa Kuno telah memiliki pedoman khusus dalam membangun candi, sehingga bisa disaksikan kemegahannya oleh generasi sekarang.