Dalam Muhammadiyah, ukhuwah insaniyah bukan hanya slogan, melainkan juga sudah menjadi kepribadian warga persyarikatan secara otentik. Semua struktur Muhammadiyah yang hidup di bawah atap Persyarikatan mengejawantahkan slogan ini di dalam bentuk kepribadian. Karena telah menjadi kepribadian yang melekat, Muhammadiyah merawat ukhuwah tidak hanya sebatas kepada non-muslim tetapi juga terhadap sesama muslim. Bentuk itu salah satunya berupa toleransi.
Ketika sebagian kelompok Islam banyak berteori dan berdebat tentang hakikat dan batas-batas toleransi antar umat beragama, Muhammadiyah telah jauh melangkah dari debat itu sejak era KH. Ahmad Dahlan. Sikap toleransi antar umat beragama yang dilakukan Muhammadiyah tidak terfokus pada hal-hal yang bersifat narsistik, seperti memakai topi Sinterklas atau ikut-ikutan merayakan natal di gereja. Dalam alam pikiran Muhammadiyah, membangun pelayanan sosial merupakan toleransi yang paling nyata, berkelas, dan tidak berbelit-belit.
Moda toleransi yang dibangun oleh Muhammadiyah bertumpu pada teologi amal. Teologi amal ini memiliki preseden yang sangat kuat dalam kisah KH. Ahmad Dahlan mengajarkan QS. al-Maun yang masyhur itu. Daripada fokus ke hal-hal yang simbolik semata, hal-hal yang kulit dan malah jatuhnya kontroversial, lebih baik fokus ke amal yang berdampak nyata.
Bila para sejarawan sering memuji-muji Magna Charta sebagai dokumen fundamental peletakan HAM di dunia, maka umat Islam pada abad keenam telah memiliki Piagam Madinah. Pada zamannya, Piagam Madinah telah melakukan lompatan kuantum terhadap praktik yang sarat dengan tribalisme Arab Jahiliyyah.
Contoh nyata sikap toleransi antar umat beragama yang dilakukan Muhammadiyah terjadi di salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah, kisah seorang mahasiswi Kristen yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) viral di media sosial. Cerita tersebut pertama kali dilansir oleh IBTimes.ID dengan judul “Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah,” ditulis oleh Muhammad Saleh. Tulisan ini juga ramai diperbincangkan di Instagram IBTimes.ID dengan judul “Mahasiswi Kristen Ini Ngerasa Nyaman Banget Ngampus di Muhammadiyah.”
Pengalaman
Juliananta Putri Atmadja, yang akrab disapa Lily, adalah mahasiswi program studi Ilmu Hukum di UMS. Saat diwawancarai, Lily membagikan pengalamannya yang menyenangkan selama kuliah di kampus tersebut.
“Kalau dari pertemanan di UMS asik-asik aja, jadi mereka tidak pernah membeda-bedakan. Awalnya saya mengira nanti gimana ya pas kuliah, tapi ternyata mereka baik-baik semua,” ujar Lily pada Kamis (18/7). Ia juga menambahkan bahwa dosen-dosen di UMS sangat perhatian dan tidak pernah mendiskriminasi mahasiswanya.
Lily menceritakan pengalaman yang sangat berkesan baginya. “Pernah pas dulu itu ada hari raya sama cuti, waktu cuti itu saya sudah kuliah. Malah ditanya kok Lily sudah masuk kuliah. Jujur pas itu saya merasa terharu, dosen masih mengingat itu,” papar Lily. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kuatnya toleransi di UMS.
Baca Juga: Belajar dari Muhammadiyah dan Bank BSI
Lily juga mengungkapkan bahwa meskipun awalnya ia khawatir tentang nilai akademik, ternyata nilainya bagus sesuai dengan kemampuan dan usaha belajarnya. Selain itu, di UMS ia merasa berkembang dalam hal menjadi konten kreator. “Dari dulu saya memang suka buat video-video. Awalnya dulu random, tapi pas masuk UMS jadi lebih tertata,” kata Lily.
Di UMS, Lily belajar menghargai perbedaan. “Dalam hal pakaian, UMS tidak mewajibkan mahasiswa non-Islam untuk menggunakan hijab, yang penting bebas rapi dan sopan. Seru banget merasakan suasana berburu takjil di sekitar kampus saat bulan Ramadan,” terangnya.
Tabligh Akbar
Lily juga mengikuti Tabligh Akbar di Masjid Sudalmiyah Rais. Menurutnya, materi yang disampaikan dalam Tabligh Akbar tersebut mengajarkan kebaikan yang sama. “Kalau masalah merayakan, keluarga saya ada yang Muslim, ada yang non-Muslim jadi tidak kaget,” tambahnya.
Sebagai mahasiswi Prodi Hukum, Lily berharap bisa mengembangkan soft skill, berorganisasi, dan menjadi konten kreator yang berprestasi. Ia juga berharap UMS lebih banyak memberikan informasi terkait mahasiswa non-Muslim agar tidak bingung dalam memilih kampus.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Ihwan Susila, menyampaikan bahwa UMS sangat terbuka dalam bidang pendidikan tanpa membeda-bedakan. “Dalam Muhammadiyah itu ada namanya amar ma’ruf nahi munkar. Jadi siapapun yang masuk UMS, saya kira akan menikmati bagaimana Islam itu diterapkan di kampus kita tercinta ini,” paparnya.
Ihwan menekankan bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang menjadi bagian dari peradaban global. “Hal tersebut dapat dilihat dari keragaman mahasiswa UMS yang memiliki berbagai agama dan negara yang berbeda-beda,” tegasnya.
Berdasarkan data, saat ini di UMS terdapat 31.519 mahasiswa Islam, 43 mahasiswa Katolik, 8 mahasiswa Protestan, 1 mahasiswa Buddha, dan 22 mahasiswa Hindu.[]