Suatu ketika, Tuan Biswas dengan keluarga kecilnya bersama orang tuanya. Gejolak dan persinggungan timbul beberapa kali. Tuan Biswas dan keluarga kecilnya cukup kesulitan untuk tinggal di satu rumah dengan mertuanya. Akalnya menggelitik agar bergiat lebih ulung. Menjadi makelar mobil, bangun sebelum fajar menyingsing untuk meraup uang sebanyak-banyaknya.
Begitu kiranya, secarik kisah novel gubahan V.S Naipaul berjudul Sepetak Rumah untuk Tuan Biswas (Penerbit Pendulum, 2000). Rumah menjadi pengharapan bagi siapapun. Melalui rumah sebuah keluarga kecil bukan hanya sekadar hidup, namun di rumah yang mereka miliki tersirat sebuah kisah sedih dan bahagia berjalan silih berganti.
Novel gubahan V.S Naipaul menggambarkan cukup teliti bagaimana kondisi keluarga kecil di dunia ketiga. Di tengah aras permodalan yang cukup santer, lahan-lahan semakin menyusut dialihkan oleh bangunan tinggi menjulang dan suara bising pabrik yang cukup menggelegar. Meski hidup ditengah deru aras permodalan yang cukup kencang, Tuan Biswas harus bertaruh untuk hidupnya merengkuh hak bernama rumah.
Sebuah aturan muncul membikin pekerja gigit jari. Pemerintah bergumam kemudian menjulurkan tangannya guna membantu kesulitan para pekerja untuk mendapatkan rumah. Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) diperkenalkan kepada pekerja. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, mengutus para pekerja menyisihkan tiga persen dari gajinya.
Dalam aturan itu, 2,5 persen gaji pekerja dipotong, perusahaan pun akan kena pungut 0,5 persen. Realitas ekonomi yang tak dapat diprediksi, pemerintah sedang bertaruh untuk membikin rakyatnya tetap sejahtera dengan rumah yang dapat mereka tinggali. Logika pemerintah nampaknya tidak selaras dengan para pekerja yang telah berjibaku dengan oli, keringat dan bertaruh dengan kesehatan mereka.
Namun, pengakuan dari Indah Anggoro Putri sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Indutrial (PHI) dan Jaminan Ketenagakerjaan (Jamsostekek) Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyampaikan bahwa aturan PP No. 21/2024 itu bukan sebagai iuran, tetapi sebagai tabungan bagi para pekerja untuk mendapatkan rumah yang mereka idamkan.
Tak hanya itu, keluh kesah para pekerja mengenai program tersebut ialah pukul rata untuk menyisihkan gaji sebesar tiga persen. Meski, beberapa kali kebijakan itu mendapatkan sentilan kritikan dari pihak pekerja, Indah Anggoro Putri akan tetap menyampaikan informasi ke seluruh stakeholeder juga mengedukasi bahwa program itu cukup penting. Indah menyampaikan bahwa hanya pekerja yang mendapatkan gaji diatas minimum yang kudu menyisihkan uangnya. Selain itu tidak diwajibkan.
Dari rezim ke rezim bergulat untuk membikin rakyatnya tetap sejahtera, minimal memiliki sepetak rumah. Meski jumlah penduduk yang semakin bertambah, pemerintah kudu optimis memikirkan resiko-resiko seperti ketersediaan rumah bagi rakyatnya.
Pada Majalah Tempo (29/03/1975) Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) Dirjen Ciptakarya Departemen PUTL, menghelat sebuah riset mengenai biaya pembikian rumah. Riset itu dibuat setelah rezim kepemimpinan zaman Soeharto menelurkan sebuah kebijakan menyoal rumah, bernama Perumnas pada tahun 1974.
Semen, batu bata dan kayu, tercatat di sebuah catatan kemudian digaris merah, masuk dalam kategori mahal. Laporan LPMB itu membuka wawasan, bahwa membukin rumah itu harganya tidaklah murah. Syahdan, beberapa terobosan seperti Perumnas hingga kredit rumah yang semakin membuka lebar pekerja untuk mendapatkan rumah.
Sebuah bunga rampai anggitan Siswono Yudohusodo (Menteri Negara Perumahan Rakyat), bersama Menteri Soetami dan Emil Salim membikin buku yang membicarakan mengenai rumah,rakyat dan Perumnas. Buku itu berjudul Rumah Untuk Seluruh Rakyat (Inkopol, 1991).
Meski rumah sering dianggap sebagai ruang bangunan untuk berteduh semata, bagi Siswono rumah merupakan sebuah fenomena sosio kultural yang membersamai seseorang atau kelompok tertentu dalam menentukan bentuk rumah. Bukan hanya membaca rumah dalam aspek esteteika, sosial, budaya dan ekonomi, namun menyiratkan juga tokoh-tokoh yang pernah merasakan kebijakan Perumnas.
Sutarno yang menikmati fasilitias Kaveling Siap Bangun (KSB) Perumnas cukup berbahagia mendapatkan fasilitas itu. Meski mencecap fasilitas seadanya, Sutarno dapat keluar dari ‘Pondok Indah Mertua’, untuk tinggal bersama keluarga kecilnya.
Beberapa data kuantitas terlampir cukup lengkap. Beton, semen, batu bata, pasir, genting, kayu jati dan batu-batu kerikil tertata cukup rapi dengan dilengkapi harga. Data-data itu bisa jadi panduan bagi seseorang yang akan membikin rumah. Syahdan, harga yang terus meningkat disamping kurs rupiah yang sering susut dan pasang seperti air laut, memberi tahu lebih jeli bagaimana membikin rumah juga perlu bersandar menyoal kondisi perekonomian.
Keberadaan KSB Perumnas tak semuanya sesuai dengan angan penghuni. Rumah yang bikinan Perumnas sering bermasalah bila menilik dari segi kualitas. Celetuk itu tersirat dalam buku Siswono dkk. Usia rumah yang lebih pendek dari usai kredit, sarana lingkungan yang kurang memadai, ditambah developer yang lari setelah rumah itu selesai dibangun atau laku.
Perjuangan untuk membikin rumah belum berhenti. Pemerintah sebelumnya membikin terobosan seperti keberadaan, Asabri hingga Jiwasraya. Namun keberjalanan pengadaan perumahan yang dipernah dihelat oleh Asabri juga Jiwasraya menyiratkan catatan buruk. Masyarakat mulai jeli atas tindak korupsi yang pernah terjadi di sela-sela silang-sengkarut pengadaan rumah itu. Mafhum, masyarakat mulai menanyakan bahkan skeptis, meski kebijakan baru untuk menyuluh pengadaan rumah itu digencarkan harus tetap berjalan.
Sebelum masuk dan menjalankan kebijakan menyoal mengenai rumah dan kesejahteraan rakyat. Adakalanya kita sebagai manusia Indonesia merefleksikan kembali karya Mochtar Lubis dengan Manusia Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, 2001). Ciri kedua yang menyiratkan bahwa manusia Indonesia jarang bertanggung jawab atas berbuatannya sering melakukan tindak kejahatan seperti korupsi dan para tender perumahan yang melarikan diri setelah mencecap wangi uang.
Kendati demikian, pekerja yang sudah bersusah payah memeras keringat yang membasahi pakaiannya, kemudian sebesar tiga persen penghasilannya dipotong dengan dalih Tapera. Kita hanya perlu berharap untuk para pekerja yang mulia itu, jangan sampai peribahasa ‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga’, mendera mereka. Sekian.[]