Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan isu mahalnya UKT mengungkap minimnya prioritas pemerintah dalam mengembangkan akses pendidikan tinggi. Ia mengecam pandangan pemerintah yang masih menganggap pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang bersifat tersier atau tidak wajib. Padahal untuk mencapai Indonesia Emas 2024 sebagaimana yang digadang-gadang pemerintah, diperlukan pembentukan generasi yang lebih cerdas.
Eliza juga menyesalkan minimnya alokasi anggaran untuk perguruan tinggi yang hanya 0,6 persen dari APBN. Angka tersebut masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebesar 2 persen dari APBN. Padahal di atas kertas, alokasi pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah 20 persen dari total APBN yang bersifat sebagai belanja wajib atau mandatory spending.
Menurut Eliza, setelah universitas di Indonesia diubah menjadi badan hukum, disebut Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), kampus harus mencari pendanaan sendiri. Akibatnya, kampus menanggung biaya operasional dan kebutuhan lainnya sendiri, yang berdampak pada kenaikan biaya UKT yang relatif lebih mahal bagi masyarakat.
Bahkan Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education atau bukan program wajib belajar. Ia mengatakan tidak seluruh lulusan SLTA-SMK itu wajib masuk perguruan tinggi karena sifatnya adalah pilihan.
Di tengah polemik tingginya biaya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN), Universitas Muhammadiyah Maumere (UM Maumere) di Nusa Tenggara Timur (NTT) menawarkan solusi yang menarik dan unik.
Universitas Muhammadiyah Maumere menyediakan opsi pembayaran kuliah menggunakan hasil bumi atau komoditas pertanian. Dengan cara ini, mahasiswa yang berasal dari keluarga petani atau nelayan yang mengalami kesulitan membayar biaya kuliah dapat menyerahkan hasil panen mereka sebagai bentuk pembayaran.
Pembayaran UKT menggunakan hasil panen tersebut sudah dilakukan pihak kampus sebelum pandemi Covid-19, yaitu sejak 2018.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id, universitas yang terletak di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur ini menawarkan opsi tersebut agar anak-anak petani, nelayan, dan profesi lain yang menghadapi kesulitan ekonomi tetap bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
“Itu (bayar kuliah dengan hasil bumi) sudah lama kami terapkan di Universitas Muhammadiyah Maumere,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Maumere, Erwin Prasetyo saat mengunjungi SMA PGRI Lewoleba, Kabupaten Lembata, Jumat, 8 Desember 2023.
Kampus ini pun memberikan opsi pembayaran uang kuliah dengan mencicil selama enam tahun atau 72 kali cicilan bulanan. “Cicilan itu tanpa bunga,” kata Erwin.
Erwin menyebutkan bahwa periode enam tahun ini dirancang untuk memudahkan mahasiswa membayar kuliah setelah lulus dalam empat tahun dan mulai bekerja. Namun, sebelum pembayaran lunas, universitas hanya menyediakan fotokopi ijazah untuk membantu alumni mencari pekerjaan.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Irwan Akib mengatakan bahwa pendidikan seyogyanya menjadi investasi masa depan Negeri.
“Bila ingin bangsa ini maju berdaulat maka pendidikan harus menjadi prioritas utama dan didesain sedemikian rupa agar hadir pendidikan yang holistik, integratif, humanis berkemajuan,” Irwan juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjadikan hari pendidikan Nasional sebagai momentum menata kembali pendidikan nasional agar menghadirkan luaran yang terbaik.
“Diharapkan pendidikan kita memiliki luaran yang memiliki kekuatan iman, kecerdasan intelektlual, keanggunan berakhlak, semangat nasionalisme dan kesigapan berkarya,” jelas Irwan.