Piring berisi makanan, lalat beterbangan memilih tempat untuk hinggap, gemertak piring dan sendok bertalu, mulut bergoyang mengunyah makanan. Pukul dua belas adalah waktu yang bahagia bagi para pekerja. Mereka akan membikin pepat warung-warung di sekitar pabrik atau kantor untuk mengisi perut yang keroncongan.
Dendeng otak-otak bandeng, semur jengkol, dan ikan gurame tertata cukup rapi di piring-piring warung yang sengaja diletakan di dalam kaca bening agar siapapun yang melirik bakal langsung kepincut.
Setiap sendok diayunkan, disela-sela mulut yang asik menikmati hidangan, perbincangan kadang kali muncul. Mereka berbincang mengenai hidup di sela-sela mesin pabrik yang berisik, hingga angsuran yang terus membayangi. “Penghasilanku separuhnya habis buat mengangsur.”
Warung merekatkan para pekerja. Selama kurang lebih delapan jam bergelut dengan obeng, deru suara mesin dan waktu, di warung para pekerja berbincang dan bercengkrama. Letih di bagian pinggang dan kaos yang basah kuyup oleh keringat terbayar oleh hidangan dan perbincangan. Waktu yang cukup panjang itu tak terasa ia lalui. Warung memberi sejenis suplemen untuk melebur keletihan.
Novel gubahan Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta (Pustaka Jaya, 1970) cukup gamblang menceritakan warung dan pekerja. Itam dan Saimun buruh serabutan kuli sampah yang selalu menelusuri pepat ruwat jalanan Jakarta, mengharapkan warung untuk bertahan hidup. Pekerjaannya yang buram dibandingkan pekerja pada umumnya, membuat mereka mengikat kuat perutnya yang lapar. Warung jadi pengharapan bagi mereka.
Uang yang serba pas untuk membeli rokok dan sepiring nasi, beberapa kali mereka harus berhutang. Ia terus berhutang membikin Ibu Yom pemilik warung cukup berang. Belum saja lunas membayar hutang, Saimun dan Itam menambah hutang, sehingga terlihat seperti gali lubang tutup lubang.
Mochtar Lubis memberikan gambaran mengenai kehidupan di Jakarta yang dapat dilirik cukup senjang. Itam dan Saimun saban hari harus berjibaku dengan bau busuk, terpaan sinar matari dan tidur di ruangan sempit yang mereka sewa secara patungan. Beda halnya dengan Suryono atau Husin Limbara, seorang yang cukup beruntung diselimuti oleh kekayaan.
Perbadaan itu memberi pengaruh antara keduanya yang bernasib cukup berbeda dalam memilih warung. Itam dan Saimun memilih warung yang seadanya untuk membayar rasa lapar. Sedangkan, Husin Limbara yang cukup kaya itu, untuk membayar rasa laparnya tidak cukup dengan makanan murah. Ia harus berkunjung ke warung yang cukup mahal.
“Raden Kaslan memesan makanan tanpa melihat lagi lebih dulu ke daftar harga-harga di sebelah nama-nama makanan dan minuman . . .”(Hlm.70). Raden Kaslan memilih restoran untuk memuaskan rasa laparnya. Warung jadi saksi untuk menilik status sosial.
Warung menaruh harap bagi siapapun. Baik itu yang miskin atau kaya. Namun, keberadaan warung mengalami perkembangan. Warung-warung berbenah disesuaikan dengan peminatnya. Warung berpenampilan menyesuaikan siapa yang akan disambut, seperti Raden Kaslan atau Itam dan Saimun, warung menentukan perannya.
Kamus Umum Bahasa Indonesia anggitan W.J.S Poerwadarminta (1952) menjelaskan warung itu sebagai kedai. Adapaun mengenai kedai yang terlampir dalam kamus tersebut adalah rumah tempat berjual (barang-barang, makanan, dsb). Warung menyediakan apapun untuk dijual. Para pembeli memilih sesuai dengan kebutuhannya tak terbatasi oleh waktu.
Walakin, kiwari kita digegerkan oleh fenomena warung yang menembus ruang dan waktu. Warung itu berbeda dengan warung-warung yang dipilih oleh Saimun atau Raden Kaslan. Warung itu resmi berkomitmen untuk membuka gerainya tak berpatok pada tergelincirnya atau mencuatnya matari. Adalah warung kelontong dua puluh empat jam.
Warung itu memiliki banyak sebutan; Warung Madura, atau Batak. Konon sebutan itu didapatkan dari kebanyakan penjualnya yang berasal dari Madura atau Batak. Kegigihan dan keberanian nampak pada air mukanya. Mereka bertaruh dengan siang dan malam menanti rupiah agar menghampirinya.
Marshal Berman melihat aras modernitas yang sarat akan mekanisme perekonomian tak hanya ditandai oleh dialektika kebaruan, akan tetapi juga oleh dialektika kecepatan. Kiwari kita dituntut serba cepat. Waktu yang bergerak cukup cepat ditambah aras informasi yang tak kalah santer, membuat siapapun harus memepersiapkan ancang-ancang untuk menghadapinya.
Berbicara kecepatan teringat buku gubahan Yasraf Amir Piliang dalam Dunia Yang Dilipat (Penerbit Matahari, 2011). Yasraf menguliti silang sengkarut perekonomian yang sarat akan kecepatan. Nalar ekonomi benar-benar serius menerapkan ‘waktu adalah uang.’ Sejangkal langkah yang berderap sama dengan nilai yang dapat menghasilkan karya ataupun uang. Timbulah perpacuan antara waktu dan bisnis yang bergerak menembus waktu. Bagi the haven (baca; pemodal), mereka akan meliuk dengan kencang dan cepat. Sedangkan bagi mereka yang pas-pasan, harus mencecap rasa letih bertarung agar tak dilibas oleh raksasa bisnis dan waktu.
Pada awal abad ke-19 Frederick Von Wieser menyadari pentingnya nilai dan waktu. Setiap jengkal langkah memiliki kausalitas yang membikin nilai dan uang. Adalah opportunity cost. Kendati demikian, setiap detik hidup manusia memiliki nilai ekonomis agar dapat menghasilkan uang.
Bagi beberapa penilik konsep itu cukup menyedihkan. Kita dituntut untuk mengukur cukup serius detik demi detik yang akan kita lalui berdasarkan analisa uang. Bila saja kerabat dekat atau kawan itu mampir untuk menyapa atau mencecap kopi, maka para penganut Von Weiser itu, air mukanya akan cukup tertekan. Waktu yang seharusnya diperbuat untuk mendulang rupiah, malah lenyap dengan percakapan yang menjauhi aroma unik dari uang.
Realitas ekonomi pasar yang serba cepat melibas siapapun yang tak sigap. Warung-warung menyeruak bertahan hidup dari kota ke kota. Mereka tidak memiliki modal yang cukup gemuk untuk bertaruh di pasar nasional yang banyak dikuasai oleh juragan ekonomi parlente mewah. Alhasil mereka bertaruh menjunjung nasibnya sendiri, di tengah sumpah serapah yang menyindir keberanian mereka untuk membuktikan diri merek benar-benar ulet.