Suatu ketika hujan rintik membikin perbincangan semakin hangat. Hujan membawa mereka kepada masa lalu. Lamat-lamat para pengunjung angkringan berbincang mengenai silam yang telah dilahap waktu. Pengunjung yang sudah berumur itu, alhasil nyeletuk. “Sekarang apa-apa mahal, dahulu uang sepuluh ribu bisa beli makan untuk satu RT. Sekarang untuk beli bensin eceran pun masih kurang.”
Zaman bergerak dan beralih menyiratkan sebuah cerita. Ingatan yang terekam dalam pikiran mereka, membikin kisah muncul di tengah pergumulan. Mereka menyinggung berbagai nama, Soeharto, Benny Moerdani dan para gali yang kelabakan. “Harga bahan pokok terjangkau, bonus kemanan tiada dua.” Salah satu pengunjung yang baru saja hadir, mengibaskan jaketnya yang basah, ikut membaur berbincang. Sontak perbincangannya hampir sama denga acara yang Karni Ilyas sebagai moderatornya, namun dalam kemasan berbeda.
Konon pada medio orde baru sarat dengan adem ayem. Harga bahan pokok yang terjangkau ditambah rezim yang juga memberi rasa aman. Walakin, rasa aman itu mempunyai arti dibaliknya. Bagi para tukang kritik adrenalinnya cukup diuji. Lain halnya, bagi yang gandrung dengan kecap adem-ayem, mereka akan menikmatinya dengan penuh senyum.
Sebuah laporan dari Majalah Tempo 18 Januari 1984, menyiratkan sebuah fakta. Galibnya, semua orang ingin menampik kejahatan, alhasil ingin hidup dengan damai. Kendati demikian, rezim membikin sebuah aturan. Adalah Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Melalui aturan itu, rezim melobi malaikat maut agar menyisihkan separuh tugasnya untuk OPK. Operasi itu cukup berhasil. Para jagoan dan gali yang meresahkan itu tunggang langgang, merangsek di sela-sela semak dan hutan Boyolali nan cukup wingit.
Para gali yang datang dari kota Semarang, Surakarta bahkan Jogja, sudah masuk dalam daftar OPK. Mereka ingin hidup seribu tahun lagi, namun lobi rezim orde baru cukup ampuh untuk menampik seluruh derap harap para gali. Berminggu-minggu para gali bersembunyi. Jangkrik dan seonggok jagung jadi saksi bisu bagaimana gelisah dan lapar terbesit dalam lamunan para gali di persembunyian.
Mereka bersembunyi di balik batu, semak yang menjulang dan sempalan kayu sengon yang rapuh. Gali-gali itu kurang dididik untuk hidup dialam bebas. Alhasil rumah warga jadi pengharapannya. Sebuah desa yang tak bersahabat dengan sunyi. Adalah desa Sukorame, marah betul daerahnya kemudian ramai lantaran desanya jadi tempat persembunyian para gali.
Mbok Kertosaren janda tua yang tinggal sebatang kara jadi saksi selain seonggok jagung dan bunga sedap malam yang merekah setiap mahrib itu. Mbok Kertosaren yang baik hati itu, sering di datangi oleh orang asing yang kelaparan. Mereka berwajah garang, tato yang menjalar di lengan dan dada tercambuk dengan rasa lapar. Nasi hangat di tambah garam ia berikan kepada para gali. Mereka makan cukup rakus sampai tersedak-sedak.
Para gali alhasil kecanduan. Mereka berdatangan bergonta-ganti dan menganggap rumah mbok Kertosaren itu sebagai basecamp di tengah pertempuran. Mbok Kertosaren yang janda dan serba pas-pas an itu, alhasil melapor ke Kepala Desa. Lantaran tingkah orang asing itu semakin tak ada batas. Sebuah nangka yang ranum dan cukup manis, digondol oleh para gali. Meski mbok Kertosaren memergoki, para gali itu juga pintar bersilat lidah, “Jangan khawatir saya tentara.” Mbok Kertosaren hanya mengangguk.
Seluruh komponen desa Sukorame dari pandai besi sampai penganggur, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjaga desa. Tersirat sebuah foto seorang pria memakai singlet berkelir putih sedang memasang barikade yang dibikin dari sebilah bambu. Barikade itu untuk menghalau gali yang merangsek tanpa permisi.
Para gali yang kelabakan itu tak hanya memilih Boyolali. Jajaran pegunungan dan hutan yang ada di Batang (Alas Roban), Kendal dan Sukabumi juga dipilih para gali untuk lari dari kejaran OPK. Situasi spasial yang mendukung dengan kondisi tetumbuhan ala hutan hujan tropis di tambah persediaan sumber daya hewani berupa ikan licing sampai gabus yang tersebar di sungai-sungainya itu untuk sumber daya protein hewani di tengah pelarian.
Gali itu bernasib naas. Mereka banyak yang mati kelaparan di dalam hutan dan situasinya serba terjepit. Bila ia keluar hutan bisa bertemu dengan malaikat maut lebih cepat, namun bila ia berlama-lama di dalam hutan badannya tak cukup kuat menghadapi rimba yang ganas.
Denga penuh percaya diri, OPK yang dibikin orde baru beberapa orang menyambut baik lantaran efek popularitas tangan besi yang ditampilkannya itu merengguh hati rakyat. The tyrant claims freedom to kill freedom and yet to keep it for himself. Kurang lebih seperti itu kala Rabindranath Tagore menyuluh mengenai kebebasan dan kemanusiaan dari kacamata pelaku (baca; sang tiran).
Buku gubahan Hendardi berjudul Penghilangan Paksa (Grasindo, 1998) memberi analisa dalam perspektif hukum. Baginya penghilangan paksa menyimpang dari Deklarasi Semesta Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 3 tersirat jelas; Everyone has the right to life, liberty, and security of person (seluruh manusia mendapatkan hak untuk hidup, kebebasan dan kemanannya). Tak hanya itu, aturan tersebut juga di tersirat dalam Covenant on Civil and Political Rights, pasal 6 ayat 1; Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrary deprived of his (or her) life, (Semua manusia punya hak hidup yang melekat. Hak itu harus dilindungi oleh hukum. Tak ada seorang pun boleh mencat nyawa seorang secara sembarangan.
Kemudian Benny Moerdani yang membawahi gerakan OPK penumpas gali menyampaikan pembelaan. OPK berfungsi untuk membasmi kriminalitas lantaran perang antar gang. David Bourchier (lihat Inteligence Agencies and Third World Militerization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989) menampik seluruh anggapan Benny dan kanca-kancannya itu. Para gali yang mati dan kelaparan itu adalah ulah rezim lantaranq rezim tak sanggup lagi mengendalikan mereka, yang pada mulanya digerakan untuk tujuan politik.