Dunia masih bersedih, setiap hari. Situasi di Palestina membuat orang-orang murka dan berduka. Doa-doa untuk Palestina belum rampung. Di situasi berbeda, orang-orang dalam pertaruhan girang dan merana. Mereka menikmati pertandingan-pertandingan sepak bola di Eropa dan Amerika. Menang dan kalah menimbulkan dampak-dampak besar. Kita mengerti ada batas-batas memikirkan dunia merujuk Palestina dan sepak bola.
Di sela kesedihan dunia dan keramaian sepak bola, terbaca berita dari Vatikan. Kita mengutip olahan berita di Kompas, 18 Juni 2024. Judul berita “Paus Fransiskus: Dunia Butuh Komedi” cukup mengejutkan saat para pembaca di Indonesia terpecah perhatian dalam urusan haji, pemilihan kepala daerah, sepak bola, pertambangan, dan lain-lain. Di Indonesia, berita itu memberi peringatan agar hari-hari tak mutlak bergelimang duka, marah, kecewa, dan angkuh.
Di Istana Apostolik Vatican, 14 Juni 2024, Paus Fransiskus bertemu dengan 100 pelawak dari 15 negara. Pertemuan tak biasa. Di situ, Paus Fransiskus mengatakan: “Anda semua membuat orang-orang tersenyum, memberikan secercah kebahagiaan, meskipun sedang berada di masa-masa sulit. Kalian menyatukan dunia karena tertawa itu menular.” Dunia memang butuh komedi. Penjelasan dari tokoh agama dunia itu memberi derajat tinggi komedi. Ia menghormati para pelawak atau pemicu tawa di dunia dengan beragam bahasa. Paus Fransiskus mengakui komedi sanggup melawan tirani dan pongah kekuasaan.
Konon, pertemuan itu menginginkan keterjalinan Gereja Katolik dan kaum pelawak dalam menebar pesan-pesan perdamaian dan toleransi. Ikhtiar dengan tertawa. Komedi, humor, atau lelucon diperkenankan dalam agama. Paus Fransiskus menerangkan jika dalam berdoa ingin terberikan dan terberkati selera humor. Ia mengartikan humor membuat peka dan pengejawantahan empati.
Pengakuan dan penjelasan itu lekas mengingatkan kita dengan Abdurrahman Wahid. Di Indonesia, ia rajin mendakwahkan humor memiliki beragam misi. Peran sebagai tokoh dalam Nahdlatul Ulama, esais, dan presiden senantiasa mementingkan humor. Ia menanggapi masalah-masalah agama, demokrasi, perang, pendidikan, keluarga, hingga bisnis melalui humor-humor. Sosok berlimpah referensi. Pada suatu masa, ia menjadi referensi.
Gus Dur berkhotbah: “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.” Khotbah bijak mengenai humor. Ia mahir membuat kalimat tanpa membuat pembaca tertawa meski mengimajinasikan terjadi tawa.
Dakwah itu berlanjut: “Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.” Kita mengerti pengalaman dan studi humor dilakukan Gus Dur berlangsung lama. Ia memastikan dunia memang memerlukan humor. Dunia jangan absen tertawa bila tak ingin makin terpuruk dan remuk.
Kita membuka buku berjudul Humor Ala Yahudi (1987) susunan Ben Eliezer, Angus, dan Robertson. Humor berkaitan agama bisa memberi keinsafan. Kita mengutip utuh: “Pendeta mengumumkan bahwa khotbah minggu depan tentang ‘orang yang berbohong’. Selama seminggu ini, ia meminta para hadirin membaca bab tersebut dalam Kitab Suci, halaman 74. Seminggu kemudian, pendeta meminta agar setiap orang yang tidak membaca bab tentang ‘orang yang berbohong’ mengangkat tangannya. Tak seorang pun mengangkat tangan.” Cerita itu terbaca biasa, belum ada kejutan. Kita menemukan di bagian akhir: “Baiklah,” kata pendeta, “khotbah saya tentang ‘orang yang berbohong’ ternyata sangat cocok. Di halaman 74, tidak ada tentang hal tersebut.” Kita tertawa sebelum menunduk malu.
Ikhtiar dilakukan Paus Fransiskus dan pengalaman Gus Dur mendapat pembenaran. Humor membuat kita peka. Tertawa menimbulkan kesadaran. Kebutuhan hiburan terperoleh tapi telaah makna itu keharusan. Humor tak selalu bermaksud meremehkan atau merendahkan pihak lain. Humor justru menguak diri terlibat dalam situasi rumit dan menghendaki jawaban-jawaban tak mencekam. Tertawa memberi jawaban dan pembebasan.
Kita menilik lagi petuah-petuah Gus Dur: “Humor merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat, jika dengan itu warga masyarakat dapat menjaga jarak sehat dari keadaan yang dinilai tidak benar.” Humor bukan menjadikan orang dalam “kejatuhan” tapi pemulihan, kebangkitan, serta pertobatan. Tertawa menjadi patokan kewarasan. Kita berkodrat tertawa.
Di buku berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (1986) susunan Z Dolgopolova, kita tertawa akibat cerita: “Dalam sebuah konferensi internasional, para utusan mengelilingi sebuah meja panjang dan meneguk kopi. Tiba-tiba, seekor lalat mendarat di tiap cangkir. Orang Inggris langsung mengganti cangkirnya. Orang Prancis membuang lalat, dan meneguk kopinya. Orang Arab meneguk kopi, sekalian dengan lalatnya. Orang Yahudi mengumpulkan semua lalat, dan menjualnya kepada orang Arab.” Kita tertawa sambil mengenali karakter dan ulah orang-orang di pelbagai negara. Kita mufakat bila dunia butuh komedi atau humor. Begitu.[]
Bandung Mawardi – Esais. Kuncen di Bilik Literasi, Karanganganyar, Jawa Tengah. Penulis buku Berjalan di Novel (2024).