Kongres XXI PMII dan Visi Keilmuan

Oleh Joko Priyono
11 Agustus 2024, 11:45 WIB

Kongres XXI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dihelat mulai tanggal 9 Agustus 2024. Bagaimana kemungkinan demi kemungkinan yang akan terjadi? Ini tentu membawa kita semua pada keresahan bersama dalam penentuan nasib keberjalanan organisasi untuk satu periode mendatang. Betapapun kita tahu, telah 64 tahun PMII mengisi ruang dalam kanvas sejarah gerakan kepemudaan maupun mahasiswa.

Alangkah lebih baiknya kita mengingat atas apa yang pernah diungkapkan oleh Kiai Achmad Siddiq (Rais ‘Aam PBNU 1984 – 1991). Dalam salah satu karyanya yang berjudul Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama (1969), ia pernah menyampaikan: “Angkatan muda NU adalah kader, pewaris dan penerus perjuangan. Mereka adalah pemuda-pemuda yang terdiri dari para pemuda dan santri, para pelajar dan mahasiswa, dan para sarjana. Mereka adalah tenaga-tenaga pelaksana yang hidup dinamis dan kritis di masa kini serta harapan untuk tenaga di masa depan.”

Pernyataan itu jelas menegaskan bahwa terlepas dinamika yang kemudian terjadi, PMII dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Mereka para kader PMII adalah generasi muda yang berproses di perguruan tinggi dengan acuan bahwa keberadaannya senantiasa diharapkan menjadi pemimpin di masa depan, memiliki ide maupun gagasan perubahan yang lebih baik, serta memiliki kecakapan berpikir kritis dan kreatif. Keberadaannya juga menjadi bagian penting dalam mendampingi proses transformasi peradaban. Transformasi mendasar dilakukan oleh PMII adalah terdiri dari dua hal mendasar.

Pertama, tanggung jawab keislaman. Bahwa PMII terdiri dari kelompok mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi sadar akan misi keislaman yang diemban adalah mengacu pada Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sebagai kerangka berpikir dan bergerak. Hal tersebut memiliki korelasi bahwa Aswaja menjadi dasar untuk berperan dalam mewujudkan Islam Rahmatan Lil ’Alamin, dengan semangat menjuarakan prinsip moderat (tawasuth), berimbang (tawazun), netral dan adil (ta’adul), serta toleran (tasamuh).

Sementara itu, kedua adalah tanggung jawab keindonesiaan. Bahwa bagi PMII insyaf dan sadar akan fakta objektif yang ada di Indonesia. Fakta itu berupa kemajemukan dengan segenap latar belakang, baik suku, agama, ras, bahasa, dan budaya di Indonesia. Kesadaran itu menjadi penting sebagai manifestasi penghargaan akan perbedaan. Perbedaan yang ada tiada lain merupakan sumber sahih akan mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam menjalani relasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama.

Membaca Realitas

Tahun demi tahun berlalu. Transformasi gerakan PMII tentu membutuhkan kesinambungan dan ide kebaruan untuk peran aktif mengawal pembangunan bangsa. Di sinilah dibutuhkan metode berpikir dan bergerak akan bagaimana PMII perlu memosisikan diri di tengah berbagai dinamika kehidupan bangsa. Baik itu sosial, politik, hukum, kebudayaan, serta ilmu dan pengetahuan. Jika menilik pada gagasan bernegara, maka harus dikatakan bahwa Reformasi menjadi gerbang perhatian dalam meneroka masa depan.

Baca Juga: Adakan Pelatihan Kader Lanjut, PMII Kota Solo Optimis Menyambut Indonesia Emas 2045

Kendati demikian, kita tahu bersama bahwa hal itu tidak mudah dibaca dengan begitu saja. Ada dua kemungkinan yang menampakkan dilema bersama, yakni di antara berada di luar kekuasaan atau di dalam kekuasaan. Hanya saja, yang kita butuhkan hari ini bukan pada perdebatan di antara keduanya yang cenderung saling mengantitesis. Namun melainkan dari itu adalah bagaimana mewujudkan cara pandang yang mengakomodir masing-masing pilihan.

Reformasi telah berjalan dua puluh enam tahun. Masih tersisa riak-riak kecil perdebatan gerakan mahasiswa dalam pilihan kekuasaan. Menarik kiranya untuk menyimak esai dari cendekiawan Ariel Heryanto, “Mengapa Reformasi 1998 Mengecewakan” (Majalah Tempo edisi 28 Mei – 4 April 2023). Ia memberi pengisahan akan fakta bahwa setelah Reformasi 1998, terdapat pola perubahan di kalangan aktivis prodemokrasi dengan lambat laun menjadi bagian dari kekuasaan pasca-Orde Baru. Baginya, yang diperlukan adalah para aktivis perlu berbagi tugas baik di dalam maupun di luar kekuasaan.

Jelasnya: “Jadi yang bermasalah bukan adanya aktivis yang masuk lingkar kekuasaan atau gaya hidup mereka lebih mentereng, sedangkan tutur kata dan sikap mereka melunak. Masalah utamanya adalah selama ini tidak ada atau sangat kurang kerja sama terorganisasi yang strategis di antara mereka yang masuk lingkar kekuasaan dan mereka yang bergiat di luar serta meresapi kehidupan sehari-hari warga jelata. Yang sering terjadi, para aktivis berjalan sendiri-sendiri secara otonom, tanpa ikatan kerja yang terorganisasi dan strategi yang jelas. Akibatnya, sumbangan masing-masing di berbagai medan itu tidak saling terpantau, dipertanggungjawabkan, dan berpadu untuk menciptakan sinergi.”

Hal itu menegaskan akan pentingnya keberagaman kader. Kita mengingat atas apa yang pernah diungkapkan oleh Bung Mahbub Djunaidi dalam esai berjudul “PMII: Belajar dan Berpolitik” yang dijadikan sebagai pegantar dalam bunga rampai Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (Aula, 1991). Bung Mahbub menekankan: “Keberagaman kader yang diperlukan dalam rangka pembinaan bangsa dengan tegas telah digariskan dalam kesimpulan-kesimpulan pokok kader dalam pertemuan PMII di Ponorogo. Dari penjabaran itu, dengan tegas dinyatakan perlunya sikap nasionalisme yang ditunjang oleh ilmu dan keimanan serta sikap demokrasi yang cukup.”

Menggagas Masa Depan PMII

Berangkat dari sana, agaknya ada satu hal yang patut kita refleksikan bersama dalam momentum Kongres XXI PMII. Tiada lain dan tiada bukan adalah pentingnya gagasan yang didasarkan pada semangat kolaborasi. Peranan kader PMII dengan berbagai ruang berprosesnya sangat penting dan perlu dibuka selebar-lebarnya dalam ragam bidang. Ini tentu perlu menjadi spirit bersama bahwa PMII memiliki daya tawar besar dengan segenap potensi yang dimiliki oleh para kadernya.

Maka harus dikatakan, pangkal mendasar dari itu tentu saja adalah meletakkan visi keilmuan sebagaimana yang menjadi satu pembentuk sejarah berdirinya PMII. Visi keilmuan itu dimanifestasikan dalam prinsip “ilmu bukan untuk ilmu, namun ilmu untuk diamalkan”. Dalam sejarah, hal itu diperkuat melalui Deklarasi Tawangmangu (1961) dan Penegasan Yogyakarta (1963). Bahwa apapun keilmuan yang dikuasai kader, dalam prinsipnya menjadi hal yang diamalkan sebagai bentuk keperpihakan untuk kaum lemah dan tertindas.

Oleh sebab itu, dengan menimbang perjalanan abad XXI, visi keilmuan amatlah makin penting. Perkembangan ilmu yang makin cepat dengan kelahiran anak kandung bernama teknologi membawa kita pada bayang-bayang kecemasan akan tantangan yang ada. Artinya, menaruh keilmuan belumlah cukup. Namun di sana membutuhkan permenungan, tilikan batin, dan kemauan menyangsikan—untuk menggapai apa yang dinamakan kebenaran.

Kita tidak butuh ungkapan-ungkapan yang sebatas sloganistik belaka. Kita membutuhkan konsolidasi, penguatan ide, dan kolaborasi antar berbagai elemen jaringan yang ada di dalam PMII. Dalam dinamika sosial dan politik kebangsaan, keaktifan kader untuk bertualang dalam rimba pencarian kebenaran itu mutlak diperlukan. Ini sebagai tanggung jawab bersama bahwa di pundak kita bersama melekat beban dan tanggung jawab pada kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama.

Dengan begitu, satu kerangka mendasar ini membawa kesadaran bersama bahwa keilmuan menjadi hakikat yang wajib dilakukan. Pada proses yang kemudian terjadi, tiap kader membangun kesadaran dalam membuat pilihan-pilihan sebagai bentuk berbagi peran dengan kapasitas dan kecakapan yang dimiliki. Setiap pilihan yang ada memang selalu membawa pada konsekuensi. Namun, yang terpenting, di mana pun peran yang kita pilih, kita tidak akan lupa mengenai prinsip, nilai, dan tanggung jawab yang diajarkan oleh PMII.[]

Artikel Terkait