Mahasiswa, Intelektual, dan Kebangsaan

Oleh Joko Priyono
18 Agustus 2024, 15:33 WIB

Beberapa hari terakhir, tak sedikit kalangan anak muda lulusan sekolah menengah atas dan sederajat menaruh harapan untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Dari beberapa jenis seleksi masuk ke pendidikan tinggi telah diumumkan. Mereka yang keterima kemudian menyandang sematan “mahasiswa”. Sematan tersebut memang dalam beberapa tahun terakhir terasa biasa, namun bila mengingat sejarah panjang akan keberadaan mahasiswa—keberadaannya sangat memendam arti dan makna yang luas.

Kita diingatkan oleh sebuah puisi gubahan WS. Rendra berjudul “Sajak Anak Muda”. Puisi yang termaktub dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi (Pustaka Jaya, 1993) tersebut dibuat Rendra pada tanggal 23 Juni 1977. Betapa penting untuk diingat kembali akan bagaimana pengharapan dan kekhawatiran keberadaan mahasiswa dan perkembangan pendidikan. Dalam larik demi larik, kita memaknai kritik yang dituliskan oleh Rendra:

Kita adalah angkatan gagap/ yang diperanakkan oleh angkatan takabur./ Kita kurang pendidikan resmi/ di dalam hal keadilan,/ karena tidak diajarkan berpolitik,/ dan tidak diajar dasar ilmu hukum.// Kita melihat kabur pribadi orang,/ karena tidak tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.// Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,/ karena tidak diajar filsafat atau logika.// Apakah kita tidak dimaksud/ untuk mengerti itu semua?/ Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?//

Puisi yang dibuat 47 tahun tersebut, tentu saja menarik dikontekstualisasikan di tengah kondisi negara dan bangsa Indonesia dengan sederet permasalahan yang dihadapi. Betapa pun, kalangan anak muda yang berkesempatan menapaki pendidikan tinggi adalah sebuah privilese. Mereka memiliki peluang dan kesempatan lebih luas dalam memberikan andil terhadap visi kebangsaan. Mahasiswa perlu memahami jati dirinya sebagai penyambung lidah pada masyarakat untuk mewujudkan keintelektualan, keadilan, serta keberpihakan.

Intelektualitas

Kendati demikian, patut kita sadari pula, bahwa tantangan yang berlangsung hari ini semakin bertambah seiring perubahan yang terjadi dalam tatapan perubahan zaman. Saat Orde Lama dan Orde Baru, salah satu peran di dalam dinamika tersebut adalah perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa. Reformasi mengubah itu semua secara radikal. Keberadaan mahasiswa kadang tidak memiliki visi yang jelas dalam gegap gempita kehidupan demokrasi. Terdapat pengaburan makna akan mahasiswa.

Akhirnya, yang terjadi adalah apa yang dikhawatirkan oleh Rendra—kita pada kenyataannya hanya menjadi alat. Di sana tentu perlu diuraikan lebih lanjut. Keberjalanan pemerintah membutuhkan keberadaan kritik dengan dibekali analisis kritis dalam mewujudkan sistem ideal. Reformasi mengidealkan keberadaan mahasiswa sebagai bagian warga akademik tidak hanya berfokus pada penganggapan akan kemapanan sistem demokrasi. Namun, melainkan dari itu, kehadiran mahasiswa selalu dinantikan kiprahnya akan ide maupun gagasan bagi kebangsaan.

Intelektualitas dengan tujuan melatih pemikiran kritis harus ditumbuhkan di perguruan tinggi. Mahasiswa tentu menjadi bagian dari gerakan yang mengawal jaringan prodemokrasi. Ariel Heryanto (2023) menyebutkan, hal itu tidak mudah, bahkan bagi yang memiliki kesadaran, keterampilan, dan komitmen kuat. Kenyataan itu ditengarai pembacaan keberadaan mahasiswa dalam tinjauan sejarah acapkali hanya berpusar pada romantisme. Dalam kontekstualisasi perubahan pendidikan tinggi hari ini, naga-naganya tantangannya makin berat.

Baca Juga: Teknik yang Bertransformasi

Sulistyowati Irianto (Kompas, 18 Juni 2024), menyebutkan adanya pengabaian terhadap kebebasan akademis dari regulasi yang muncul di perguruan tinggi. Dampaknya adalah kegiatan-kegiatan riset, publikasi, dan pengabdian masyarakat yang dilakukan para dosen hanya disadari pada kepentingan administrasi. Bukan pada konteks kemaslahatan bagi masyarakat luas. Cara pandang itu tentu memiliki kemungkinan dalam habitus keberadaan mahasiswa.

Cita-Cita Bersama

Di sanalah pentingnya mahasiswa membangun forum intelektual di luar rutinitas ruang kuliah sebagai sarana menyemai dialog dan membangun diskursus. Tiada lain sebagai perwujudan pendidikan sebagaimana mestinya. Pendidikan yang senantiasa mau mengutamakan pikiran ilmiah, menghargai proses, dan mengedepankan kebebasan akademik. Di mana penghadiran itu juga mengedepankan keterbukaan bagi siapa saja tanpa terkecuali. Proses demi proses itu memiliki kepentingan akan kebermanfaatan bagi banyak orang.

Pendidikan kita seharusnya menegaskan dan memperkaya kemampuan memikir kritis dan logis, menganalisis argumen (dan kontra-argumen), belajar dan mengingat, melihat analogi keadaan dan kejadian, baik yang metaforik maupun yang riil, serta memilah fakta dari pendapat. Ini adalah etos yang hendak dikembangkan dan dihormati serta diakomodasi baik oleh sivitas akademika maupun mahasiwa (Bambang Hidayat, 2022).

Watak

Tak salah kalau kita mengingat Bung Hatta menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Menuju Negara Hukum” tatkala dianugerahi gelar Honoris Causa dari Universitas Indonesia pada 30 Agustus 1975. Ada pernyataan menarik yang diungkapnya: “Kepada para pemuda terpelajar, tidak saja di Universitas ini, tetapi di seluruh Indonesia, perlu saya tekankan bahwa disiplin, pembinaan watak dan pembinaan rasa pengabdian kepada Tanah Air adalah kunci dari segala tantagan untuk mewujudkan kebesaran bangsa. Karena tidak ada suatu perjuangan tanpa rintangan untuk mencapai tujuan esok hari, untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, maka pemuda perlu benar-benar sadar akan peranannya sekarang untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya memimpin dan mengabdi kepada negara.”

Sejarah berlalu, kaum muda dan intelektual turut serta membangun visi kebangsaan dan keadaban akan sebuah negeri yang dicita-citakan bersama. Hal yang sama menjadi harapan pada tiap zaman yang sedang berjalan—dengan kehadiran kaum muda yang memiliki komitmen dan integritas kuat untuk melanjutkan perjuangan. Kini, kita telah memperingati 79 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Kita masih terus meraba untuk terus membangun Indonesia. Di benak para kaum muda yang berposes di pendidikan tinggi, nasib bangsa ke depan senantiasa dititipkan.[]

 

*Tulisan ini disampaikan sebagai materi dalam acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Raden Mas Said Surakarta pada 19 Agustus 2024.

Artikel Terkait